Kamis, 27 Agustus 2009

Tersedot kloset


Pesawat Boeing 767 Sydney – Jakarta yang saat itu mengangkut 165 penumpang terbang dengan mulusnya. Siang itu udara cerah. Awan putih berada jauh di bawah pesawat.

Penerbangan selama 7 jam nonstop itu terasa membosankan karena film yang ditayangkan di layar tengah kurang menarik. Majalah yang terletak di bagian seat di depanku sudah kulihat berulang kali. Aku sudah bolak-balik sebanyak 2 kali ke Toilet yang berada di tengah pesawat. Ukuran Toilet yang hemat tempat ini, sangat bermanfaat bagi para penumpang. Jumlah Toilet ada 6 buah, 3 di tengah pesawat dan 3 dibelakang pesawat.

Setelah santap siang disajikan para penumpang sibuk dengan masing-masing aktifitas. Ada yang melihat film, ada yang mendengarkan siaran radio FM melalui headset ada yang melihat majalah, ada yang melamun, ada yang ngobrol sesama teman seperjalanan dan bayak pula yang tertidur.

Aku yang mendapat seat dekat Toilet di tengah pesawat tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari salah satu Toilet tersebut. Terdengar suara “Help, help”. Pintu Toilet sedikit terbuka.
Salah satu Pramugari menghampiri Toilet dan bertanya “What happen, Sir” kepada seorang Bule yang berada di dalam Toilet itu.
“Your Toilet bite me. I can’t stand up. Help me please” kata orang Bule setengah baya itu.
2 orang Pramugara berusaha membantu mengangkat orang itu yang dalam posisi duduk. Usaha mereka tidak berhasil.

Rupanya kejadian seperti itu bukan yang pertama kalinya terjadi. Setelah buang air besar dan kecil serta membersihkan diri dengan kertas Tissue yang banyak tersedia, pengguna Toliet seharusnya berdiri terlebih dahulu, menutup Toliet dengan penutup Toilet, kemudian menekan tombol Flush. Tenaga mesin jet pesawat akan menyedot semua kotoran yang ada di dalam Toliet. Rupanya pria tadi setelah membersihkan diri, dalam posisi masih duduk, ia sudah menekan tombol Flush. Dengan demikian kedua bokongnya tersedot hisapan mesin dan sulit dilepaskan.

Seorang Parmugari berkata kepada salah seorang rekannya “Give him some Bir.”
Pria itu disuruh minum Bir sebanyak-banyaknya sampai ia mabuk. Dalam keadaan mabuk, usaha mengangkat badan pria itu dilakukan lagi. Dengan sudah payah, akhirnya badan pria itu dapat terlepas dari Toilet. Pria itu tidak terasa kesakitan akibat ia sedang mabuk berat.

Oleh Pramugara, pria itu diantar kembali ke seatnya. Isterinya yang menduduki seat di sebelahnya rupanya tertidur ketika peristiwa yang menghebohkan itu terjadi dan terbangun ketika sang suami di dudukkan oleh Pramugara. Melihat suaminya tertidur, iapun melanjutkan tidurnya tanpa mengetahui bahwa sang suami telah mengalami kecelakaan kecil di dalam Toilet pesawat.-



Terlambat Haid



Tiga minggu yang lalu aku kehilangan salah satu anggota keluargaku. Ibundaku meninggal dunia pada usia 77 tahun. Sebelum meninggalkan kami, Ibunda tidak mengalami sakit yang serius, beliau pergi ketika kami hendak membangunkan solat subuh. Beliau tidak bereaksi dan tubuhnya dingin. Ibundaku telah pergi tanpa pesan apa-apa. Aku menangis di samping Ibundaku.

Aku, suamiku dan putra kami, Yusuf tinggal bersama Ibundaku menempati rumah peninggalan Ayahandaku. Ayahandaku telah mendahului Ibundaku sejak lima tahun yang lalu. Aku merasa kehilangan sekali, aku sedih, aku stres berat. Aku sekarang yatim piatu. Kalau mendapat masalah aku selalu meminta pendapat kepada Ibundaku. Beliau mau mendengarkan segala keluh kesahku dan dapat menghiburku. Sekarang tidak ada lagi orang yang dapat dimintai pendapatnya bila aku mendapat masalah.

Hubungan dengan suamiku kurang baik akhir-akhir ini. Pekerjaan di kantornya banyak dan sering kali membawa masalah kantor ke dalam rumah kami. Di kantor tempat aku bekerja sebagai juru tik tidak ada masalah. Beban kerjaku tidak terlalu berat dan tidak pernah membawa masalah Kantorku ke dalam rumah kami.

Yusuf, putra kami yang duduk di kelas 3 S.D. baik-baik saja. Prestasi belajarnya cukup baik, di atas rata-rata teman sekelasnya. Berangkat dan pulang sekolah ia tidak perlu diantar lagi karena Ia dapat berjalan dengan temannya ke gedung SD yang hanya berjarak 200 meter dari rumah kami. Sekarang kami tinggal berempat. Saya, suamiku, Yusuf dan Marisa. Marisa adalah kakak perempuanku yang tertua tetapi tidak mempunyai suami. Kepada Marisa-lah kami menitipkan Yusuf ketika kami bekerja di Kantor.
----

“Mas aku terlambat Haid” aku berkata kepada suamiku, pagi hari sebelum ia berangkat ke Kantornya.
Kami tidak menggunakan salah satu cara KB, kami ingin Yusuf mempunyai adik.

“Sudah berapa hari?” suamiku bertanya.
“Sudah hampir 2 minggu ini” aku menjawab.
“Kok, baru sekarang kamu bilang” suamiku mulai menyalahkan aku.
“Aku kan sedang stres setelah Ibundaku meninggal. Aku kurang memperhatikan lagi siklus Haidku pada bulan ini” kataku
“Apa, kamu tidak nyeleweng dengan laki-laki lain?” suamiku menuduhku seenaknya.
“Mas, ingat Mas, aku sejak kawin denganmu tidak pernah bergaul erat dengan laki-laki manapun. Kok sekarang Mas menuduhku yang bukan-bukan” aku membela diri.
“Ya siapa tahu” suamiku tidak mempercayaiku.
“Ya Tuhan, setan mana yang telah merasuki suamiku ini?” mukaku pucat, badanku dingin, aku ingin menangis dan mengadu kepada Ibundaku, tetapi beliau sudah pergi meninggalkan aku. Aku tidak dapat curhat kepada beliau lagi. O Tuhan kuatkanlah hatiku, aku memohon kepadaNya.

Suamiku pergi ke Kantor, setelah berkata “Pergilah ke Dokter secepatnya.”
Di Kantorku, aku curhat kepada temanku Siti.
“Jangan panik dulu, Ani. Berkonsultasilah dengan Dokter. Saya antar ya nanti sore” perkatakan Siti menyejukkan hatiku, seharusnya suamiku yang berkata seperti itu.
“Tidak usah repot-repot Ti, aku akan minta suamiku mengantar ke Dokter agar jawaban Dokter dapat didengar juga oleh suamiku juga. Aku tidak berhubungan dengan lelaki lain selain dengan suamiku dan sejak 3 minggu ini kami tidak berhubungan su-is karena kesibukan Kantor kami masing-masing” aku menolak ajakan Siti temanku.

“Mas, sore ini antarlah aku ke Dokter Stefen” aku meminta kepada suamiku.
“Baik, aku akan mengantarmu, kebetulan tidak ada pekerjaan Kantor yang harus diselesaikan di rumah pada sore ini” jawab suamiku. Kadang kala suamiku temperamennya lembut, kadang kala temperannya kasar. Apakah ia juga mengalami Stres di Kantornya? Aku belum sempat bertanya kepada suamiku tentang hal ini.
----

“Silahkan duduk Ibu dan Bapak. Ada masalah apa?” kata Dokter Stefen dengan ramahnya.
Kami sudah sejak lama mengenal Dokter Stefen. Beliau sudah menjadi Dokter Keluarga kami. Aku menceritakan bahwa aku sudah 2 minggu terlambat Haid, dan sejak 3 minggu yang lalu kami tidak berhubungan su-is dan 3 minggu yang lalu Ibundaku meninggal dunia. Aku sedih berat.
 “Baik, saya periksa duku ya” kata Dokter Stefen.
Beliau memeriksa tekanan darahku, meraba perutku di bawah Pusar dan lain-lain pemeriksaan rutin.
“Rahim Ibu tidak membesar, lain-lain baik. Begini saja, Ibu periksa Urine dulu di Laboratorium Klinik di sebelah tempat praktek saya dan nanti hasilnya dibawa kemari” Dokter Stefen memberi advisnya.

Setelah hasil pemeriksaan Kehamilanku dibaca oleh Dokter Stefen, beliau berkata “Hasil Tes Kehamilannya Negatip, berarti Ibu tidak sedang Hamil saat ini.”
“Tidak hamil, Dok” suamiku bertanya.
“Benar. Kalau Hamil maka hasil tes-nya akan Positip, Pak. Tenang….” kata Dokter Stefen.

Suamiku bertanya lagi “Kalau tidak Hamil, lalu mengapa Isteri saya terlambat Haidnya, Dok?”
“Tidak datangnya Haid, bila seorang wanita tidak Hamil, disebabkan karena ada ketidakseimbangan hormon Estrogen dan Progesteron didalam tubuhnya.” Dokter Stefen menjelaskan dengan sabar.
“Apa penyebab ketidakseimbangan hormon tadi, Dok “ suamiku terus bertanya.
“Stres yang berat misalnya kehilangan suami, isteri, ayah. ibu, anak dsb” 
Dokter Stefen melanjutkan “Apakah Ibu pernah mengalami Strres berat dalam kurun waktu 3 minggu ini?
“Benar, Dok. Ibundaku meninggal dunia 3 minggu yang lalu. Aku merasa kehilangan sekali atas kepergian beliau” jawabku kepada Dokter.
“Cocok. Haid bagi seorang wanita itu unik. Kalau datang diomelin, tetapi kalau terlambat datang diminta datang. Emang sifat manusia begitu, tidak pernah puas apa yang didapatnya” kata Dokter.

“Lalu bagaimana solusinya, Dok” suamiku bertanya lagi dengan tidak sabar.
“Ya dipancing, agar Haidnya datang. Saya akan tuliskan resep untuk Ibu. Sehari 1 tablet selama dua hari berturut-turut. Tunggu 7 – 10 hari. Haid Ibu akan datang. Itulah Plan A.” jawab Dokter.
“Kalau tidak datang Haid setelah 10 hari bagaimana Dok “ kata suamiku masih penasaran.
“Kita lakukan Plan B” jawab Dokter Stefen singkat.

Kami tidak sempat bertanya apa yang dimaksud dengan Plan B itu, karena Dokter Stefen segera mempersilahkan kami keluar untuk memeriksa pasien berikutnya.

Lima hari kemudian ketika aku bangun tidur, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres pada CD-ku. Ada bercak merah di CD-ku. Haidku datang. Terima kasih Tuhan. Memang Dokter Stefen adalah seorang Dokter yang pintar. Kami merasa beruntung mempunyai seorang Dokter seperti Dokter Stefen. Tanpa melakukan Plan B, yang kami belum tahu apakah itu, Haidku sudah datang. Aku mencium kening suamiku yang masih tidur di sisiku.
 




Rabu, 26 Agustus 2009

Sering kecelakaan


Aku merasa heran terhadap Pak Iwan, tetangga sebelah rumahku. Dalam setahun ini ia mengalami kecelakaan sebanyak 5 kali sejak awal tahun. Meskipun tidak sampai fatal tetapi Pak Iwan mesti mengalam rawat inap atau rawat jalan di Rumah sakit Umum di kotaku.

Suatu malam kami mendapat giliran jaga Siskamling di kampung kami. Aku sempat ngobrol dengan pak Iwan di Gardu jaga di dekat perempatan salah satu Gang. Sudah lama aku mengenal pak Iwan sejak kepindahan keluarganya ke sebelah rumahku. Oleh Pimpinan Kantornya Pak Iwan yang berasal dari kota lain, dipindahkan ke kotaku. Pak Iwan bersifat agresif kalau berbicara dengan orang lain, tidak peduli orang lain belum selesai bicara, ia sudah berbicara lebih banyak. Ia tidak mau menerima saran orang-orang sekitarnya. Akibatnya ia sering bertengkar dengan teman sekantor atau teman sekampungnya.

“Bulan Januari tahun ini aku masuk Rumah Sakit di kota dimana Kantor Pusat kami” kata Pak Iwan mengawali obrolan kami sambil mengisap rokoknya.
“Mengapa Bapak Masuk Rumah Sakit” aku bertanya.

“Aku mengalami kecelakaan lalu lintas ketika aku mengendarai mobil dinasku. Ada sebuah Minibus Suzuki yang mendahului mobil dinasku dengan tidak membunyikan klakson terlebih dulu. Setelah mobil itu berada di depan mobilku. Aku tanjap gas lagi untuk mendahului mobil itu. Dahulu mendahului terjadi sebanyak 3 kali. Yang terakhir kali perhitunganku meleset. Ketika akau ingin mendahuui mobil tadi, mendadak aku melihat ada Bus dari arah yang berlawanan. Aku banting setir kekiri persis di belakang mobil yang akan aku kejar. Mobilku menabrak sisi jembatan, kakiku patah, aku masuk Rumah Sakit selama 1 bulan.
Bertutur-turut aku megalami kecelekaaan lain yang lebih ringan”

“Bulan Maret ketika aku sedang menaiki tangga ketika akan memperbaiki genteng rumah kami yang bocor, aku terjatuh dari ketinggian 2 meter. Aku kurang hati-hati memasang tangga di atas selokan air. Salah satu kaki tangga masuk ke selokan air dan tangga itu miring sehingga kesimbanganku terganggu dan aku terjatuh. Untung aku tidak luka-luka. Padahal sebelumnya isteriku sudah memperingatiku, katanya lebih baik penggil orang untuk memperbaiki genteng yang bocor itu, tetapi aku bilang genteng itu hanya melorot sedikit saja. Mudah digeser sedikit gentengnya, pasti tidak bocor lagi. Saat itu aku tidak menerima anjuran isteriku dan aku harus menanggung akibatnya” kata Pak Iwan.

“Bulan April tangan kananku terbakar. Setelah membersihkan tanganku dengan lap yang dibasahi bensin sehabis membersihkan mesin mobil dinas, aku ingin merokok. Ketika korek api itu menyala, api langsung menjilat tanganku yang masih basah oleh bensin. Aku kaget dan secara refleks aku memasukkan tangan kananku ke dalam ember yang berisi air bekas mencuci mobil itu” Pak Iwan melanjutkan kisahnya.
“Bagaimana selanjutnya Pak Iwan?” aku dan teman-teman Siskamling makin asik mendengarkan kisah pak Iwan. Malam makin larut dan turun hujan gerimis.

“Bulan Juni, aku kena musibah lagi. Suatu saat aku dan temanku pergi ke suatu tempat dalam rangka survey lapangan. Saat istirahat kami masuk ke sebuah Rumah Makan. Perut kami sudah lapar dan aku memasukkan Nasi ke dalam mulutku, tanpa minum terlebih dahulu. Tiba-tiba akau tidak dapat nafas dan Nasi itu nyangkut di tenggorokanku. Aku panik dan temanku panik juag. Ia minta tolong kepada seorang lelaki yang duduk di meja sebelah kami.
“Pak, tolong teman saya. Tampaknya ia keselek makanan” kata teman sejawatku.
“Laki-laki itu segera mendekatiku dan tanpa ragu-ragu, ia menepuk pundak dekat leherku dengan satu tepukan yang agak keras. Nasi itu keluar dari mulutku dan hampir mengenai wajah teman sejawatku. Aku segera minum air teh yang tersedia. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak yang tidak kami kenal sebelumnya. Ternyata ia seorang perawat sebuah Rumah Sakit yang sedang dalam perjalanan bersama keluarganya dan makan di Rumah Makan itu. Wah aku malu juga atas kejadian itu” kata Pak Iwan.

“Mengapa pak Iwan sebelum makan tidak minum dahulu, agar tenggorokan basah dan makanan mudah masuk ke lambung Pak Iwan?’ kata aku yang pernah mengalami hal yang sama. Untung saja dengan dorongan air minum, nasi di dalam tenggorokanku dapat segera terdorong masuk ke lambungku.

“Bulan Agustus, aku mendapat kecelakaan lagi. Hampir saja wajahku tersiram air panas” Pak Iwan melanjutkan kisahnya.
“Air panas, Pak?” Didin bertanya kepada Pak Iwan.
“Iya air panas” Pak Iwan menegaskan dengan bersemangat.
“Minum dulu Kopinya Pak” aku mempersilahkan pak Iwan minum kopi.
Setengah gelas Kopi masuk ke dalam perut Pak Iwan.

“Ketika itu, dalam sebuah perjalanan ke luar kota mesin mobil dinas kami ngadat. Mobil tidak dapat dipacu lebih cepat. Aku melihat alat pengukur suhu mesin di dashboard, Ternyata panasnya melebihi angka yang ditetapkan. Mesin mobil kami panas sekali. Mungkin Radiatornya bocor atau Karet Radiatornya sudah aus sehingga air Radiator menguap dari sana.” Kata Pak Iwan sambil menghisap trokok kreteknya.

“Aku parkir mobil itu di pinggir jalan, lalu membuka kap mesinnya. Meskipun teman seperjalananku mengatakan bahwa sebaiknya mesin mobil itu didiamkan saja dahulu agar suhunya menurun dengan sendirinya, aku tidak mendengarkannya. Kalau menunggu berarti kami akan tiba di tempat tujuan lebih lama. Kemudian aku dengan menggunakan kain lap aku mencoba membuka tutup Radiator mobil itu. Seketika itu juga uap panas munrat ke atas. Secara refleks aku memalingkan wajahku ke kanan, tetapi terlambat tangan kananku tersembur uap panas itu. Temanku segera mengambil botol air minum kami dan segera menyiram tangan kananku dengan air minum. Meskipun tertolong tetapi tangan kananku sempat melepuh juga. Temanku menyalahkan aku yang tidak mendengar sarannya agar mesin mobil jangan diutak-utik dulu sebelum suhu mesin menurun. Aku menyesal, tetapi menyesal kemudian tidak ada gunanya. Lihatlah ada bekas luka bakar di tangan kananku. Rupanya air di Radiator itu sudah neyusut banyak sehingga mesti diisi air tambahan agar sistim pendingin mesin bekerja dengan baik.

“Oleh keluargaku, aku dilihat oleh orang pintar. Katanya musibah yang beruntun ini akibat aku diganggu mahluk halus. Aku sudah diruwat, dimandikan dengan air kembang tujuh rupa, tetapi rasanya di dalam pekerjaanku aku selalu cenderung mengalami kecelakaan. Barangkali ada diantara saudara-saudara ada yang mempunyai saran?” Pak Iwan bertanya kepada kami yang sedang jaga Siskamling.
“Kalau upaya paranormal tidak berdaya guna, mungkin lebih baik bila Pak Iwan berkonsultasi dengan Dokter Stefen. Ia dokter umum dan merupakan dokter keluarga kami. Tempat prakteknya di dekat kampung kami Pak” kata Pak Saleh kepada Pak Iwan.
“Kalau ke dokter aku malu” kata Pak Iwan
“Kok malu Pak. Bapak kan tidak menderita penyakit menular. Aku mau mengantar Pak Iwan ke Dokter Stefen” kataku, karena Pak Iwan tetangga paling dekat dengan rumahku.
“Baiklah, kalau Pak Junaedi mau mengantar aku, besok sore kita kesana ya” kata Pak Iwan gembira.
---

Setelah Dokter Stefen bertanya riwayat penyakit dan memeriksa Pak Iwan, beliau berkata “Badan Pak Iwan baik-baik saja, tidak ada kelainan fisik. Kecelakaan yang Pak Iwan alami itu namanya Accident prone atau kecenderungan mengalami kecelakaan lebih banyak dari orang biasa. Kepribadian Pak Iwanlah yang menyebabkan kecelakaan itu dan bukan karena gangguan mahluk halus.”

“Kepribadian saya biasa-biasa saja Dok, saya juga sudah beristeri dan mempunyai 2 orang anak” kata Pak Iwan yang tidak mau dianggap mempunyai gangguan kepribadian.

“Bukan itu masalahnya. Coba diingat-ingat: apakah Pak Iwan bersifat agresif kalau melihat ada orang yang sedang berbicara atau selalu ingin mendahului mobil lain yang telah mendahului mobil Pak Iwan. Juga apakah Pak Iwan mau mendengarkan saran atau advis orang lain termasuk isteri pak Iwan sendiri?” kata Dokter Stefen.

Kepala Pak Iwan mengangguk-angguk seperti kepala ayam mematuk butiran padi di tanah. Ia teringat bahwa kecelakaan yang dialaminya kebanyakan akibat ia bersifat agresif, tak mau menerima saran atau tidak mau mendengar nasehat temannya atau isterinya sehingga ia terjatuh dari tangga pada bulan yang lalu.

“Pak Iwan mesti merubah, sikap mental Pak Iwan agar mau lebih banyak mengalah dan menerima saran orang lain. Lain kali Bapak datang lagi kesini untuk bicara soal kepribadian, ya” kata Dokter Stefen sambil membukakan pintu ruang prakteknya.




Minggu, 23 Agustus 2009

Mercedes antik


Sekitar tahun 1992, kami sekeluarga dari kota Cirebon dengan menggunakan sedan Mercedes warna Kuning kecoklatan, produksi 1976 menuju kota Jakarta. Liburan sekolah pura/i kami isi dengan berlibur pergi ke Jakarta, kerumah Kakek dan Nenek mereka. Mengendari sedan bermesin 2800 CC dan berpower streering pada kemudinya ini cukup nyaman. Sedan melaju dengan mantap dengan kecepatan 70 – 80 Km per jam. Terasa keempat ban sedan menggigit aspal jalan raya.
 
Kami bangun dan berangkat pagi hari karena akan menempuh jarak jauh. Ketika mobil kami tiba di daerah Sukra, Kabupaten Indramayu, isteriku yang duduk di jok sebelah saya selaku pengemudi dan kedua putra/i kami yang duduk dijok belakang tertidur. Nyamannya duduk di sedan yang nyaman ini, sering kali membuat para penumpang ngantuk dan tertidur. Saya sebagai pengemudi berusaha sekuat mungkin agar saya tidak ngantuk.
 
Disuatu tempat, saya melihat jalan raya masih sepi pada pukul 06.30. Sekitar 100 meter di depan mobil kami, saya melihat seekor Kerbau Hitam berdiri di sisi kiri jalan yang akan dilalui sedan kami. Aku merasa tenang, karena Kerbau itu diam di tempat. Aku sedikit mengurangi kecepatan karena ada beberapa lubang kecil dijalan. Kwalitas jalan raya disitu pada saat itu kurang baik.
 
Pada posisi 50 meter dari Kerbau berdiri, aku masih melihat ia masih diam di tempatnya. Pada posisi 10 meter, aku melihat tiba-tiba Kerbau itu sudah berada di tengah jalan raya dan diam disana.
 
Aku menjerit “Ya Tuhan, tolong kami”
Aku tetap memegang kemudi dengan panik dan pedal rem aku injak habis, bunyi ban menggesek aspal terdengar dari dalam sedan kami. Kemudi sedan tidak aku banting ke kanan, karena akan mengambil jalan kendaran lain dari arah yang berlawanan. Aku tidak membanting kemudi ke arah kiri karena jalan raya diatas tanah tepian jalan, ada semacam jarak yang cukup besar. Kemudi aku pegang erat, tetap ke arah depan. Aku mengira jarak 10 meter tidak akan cukup untuk menghentikan sedan kami tanpa menabrak Kerbau Hitam itu. Aku makin dalam menginjak pedal rem dengan mata tertutup. 

Aku membayangkan sedan kami akan menabrak sang Kerbau dan sedan kami akan terlempar, kami akan mengalami luka-luka atau patah tulang. Sedan berhenti tepat 10 Cm di depan Kerbau. Sedan kami tidak bergeming. Arahnya tetap ke depan, tidak ke kiri atau ke kanan.

“Puji Tuhan, kami selamat. Terima kasih Tuhan” aku membatin.
Mulut kerbau komat-kamit mengunyah makanannya, ia cuek saja. Padahal nyawanya akan melayang bila sedan kami menabrak badannya. Ia segera berlari setelah penggembalanya, seorang bicah menyuruh ia berjalan menyebrangi jalan yang akan kami lalui.

“Ada apa? isteriku terbangun, karena sedan berhenti.
“Ada kerbau melintasi jalan dan aku menginjak Rem mobil. Aku tidak berkata apa yang terjadi sebelumnya. Putra/i kami tidak terbangun dari tidur mereka.
“O… kirain ada ada apa” isteriku melanjutkan tidurnya dan aku melanjutkan tugas mengemudikan sedan kami ke kota Jakarta.
 
Setelah lima menit sedan kami meninggalkan tempat kejadian itu, aku menarik nafas dalam dan sangat bersyukur kalau kami mengendari sedan Mercy yang stabil dan Tuhan sudah menyelamatkan kami. Kalau sedan made in Japan aku tidak dapat membayangkan apakah kami akan selamat dari kejadian yang berlangsung sangat cepat itu, hanya sekian detik.
 
Beberapa tahun kemudian Sedan yang bersejarah itu kami jual dan kami mendapatkan gantinya produksi tahun 1985, warna Merah Dunhill. Mobil antik dengan merek yang sama juga. Mobil ini banyak menghasilkan uang, karena sering disewa oleh banyak pasangan Pengantin yang ingin duduk di Sedan dengan merk yang antik di hari yang bahagia mereka.
 
Saat ini kami tidak mempunyai sedan Mercy lagi akibat harga sparepart dan bahan bakar yang tinggi. Sebagai pensiunan, aku tidak sanggup lagi memelihara mereka. Kami bersyukur kami telah mencicipi dan memelihara Sedan Mercy selama hampir 15 tahun.-



Jumat, 21 Agustus 2009

M i m p i


“Pak Edi, harap dikeluarkan uang sebanyak Rp. 500 juta untuk keperluanku” kata atasanku.
“Tapi, Pak” aku menjawab perintah beliau.
“Tidak ada tapi-tapian, aku sedang membutuhkannya” kata atasanku lagi.
Aku tahu ia sedang mengincar wanita yang ketiga, padahal beliau sudah mempunyai 2 isteri.

Ketika aku meminta tanda tangannya di dalam surat pengeluaran uang, ia tidak mau menanda-tangainya.
“Pak Edi atur saja urusan itu” jawabnya
Kok enak benar ambil uang Kantor lalu orang lain yang harus bertanggung jawab. Kalau sudah kepepet butuh uang, maka segala cara dihalalkan.

Dengan makin aktipnya gerakan anti Korupsi, salah satu LSM mencium ketidak beresan keuangan Kantor pemerintah dimana kami bekerja.
Aku masuk tahan Polisi dan atasanku sebagai biang Korupsi menemaniku di dalam tahanan. Pak Samad keesokan harinya bisa keluar atas jaminan keluarganya yang mengusahakan tahanan rumah. Dia yang makan uangnya, aku juga yang kena hukumannya. Dunia tidak adil.

Uang, rokok, makanan kiriman keluargaku yang membesuk aku habis diminta teman sekamar tahanan. Bila tidak diberi mereka akan memaki-maki aku.
“Dasar koruptor, tidak mau bagi-bagi kepada orang lain” teriak mereka kepadaku.

Suatu malam aku tidak dapat tidur. Banyak nyamuk beterbangan disekitar kami. Bau pengap akibat kami jarang mandi menambah penderitaanku.
Aku berdoa “ O..Tuhan, lindungilah aku. Berilah kekuatan kepadaku yang tidak bersalah ini.”

Hujan yang turun deras di musim hujan ini menambah penderitaan kami. Banyak atap kamar tahanan yang bocor dan membasahi badan kami. Tiba-tiba aku mendengar suara menggelegar, suara petir. Sekejap kemudian atap kamar tahanan kami runtuh. Petir menyambar atap itu. Kakiku tertimpa atap yang runtuh. Aku mengerang kesakitan. Penderitaanku bertambah lagi. Kaki banyak mengeluarkan darah.

Ketika aku siuman, aku berada diatas sebuah bed di rumah sakit. Tangan kananku terikat pada ranjang besi dengan sebuah borgol. Kakiku hancur dan tidak dapat diselamatkan lagi. Besok kaki kananku akan diamputasi setinggai lutut. Aku berontak. Aku protes mengapa aku yang mendererita, mengapa bukan atasanku yang berbaring di bed ini? Tidak ada yang mau mendengar suara seorang koruptor miskin seperti aku ini. Aku hanya menjadi pelengkap penderita akibat ulah orang lain yang menikmati uang hasil kejahatannya.

Aku sedih kaki kananku sebagian hilang. Aku akan menjadi cadad seumur hidupku. Setelah aku dapat menguasai diriku, aku berdoa kepada Tuhan agar aku diberi ampun atas segala perbuatan jahatku, dan mohon agar kaki kananku segera sembuh dari luka operasi.

Tiba-tiba aku melihat sinar putih yang menyilaukan mata. Bayangan mahluk mirip orang berjalan menghampiri bed. Aku melihat sebuah kaki dari ujung kaki sampai sebatas lutut melayang bersama sinar putih itu menuju tubuhku. Suatu sentakan yang mengejutkan membuat aku merasakan ada gerakan di kaki kananku. Kaki kananku utuh kembali. Aku mengerak-gerakan kedua kakiku. Aku punya kaki yang lengkap. Aku bersorak kegirangan. Terima kasih Tuhan.

“Pak, pak bangun” isteriku mengoyang-goyangkan tubuhku.
“Mengapa berteriak-teriak begitu. Mimpi ya?” isteriku bertanya.
Aku terbangun, bajuku basah oleh keringat. Aku telah bermimpi. Aku bersyukur itu bukan realita. Aku sudah pensiun sejak tujuh tahun yang lalu. Tidak mungkin aku menjadi seorang Bendahara di Kantor Pemerintah lagi.-



Kamis, 20 Agustus 2009

Isteri kedua


Aku berteman dengan Ibu Elisa yang sehari-hari dipanggil dengan nama Lisa. Aku mengenalnya di sebuah arisan di rumah Ibu Siti yang sekarang sudah ditutup. Lisa tergolong wanita yang cukup cantik, dalam skala nol sampai sepuluh, Lisa mendapat nilai delapan setengah.

Ibu Lisa seorang wanita berumur sekitar 37 tahun. Ia pernah menikah dengan seorang lelaki yang dicintainya dan sudah mempunyai 2 putri yang sudah bekerja dan menikah. Suaminya meninggal 3 tahun yang lalu akibat Penyakit Darah Tingginya kumat. Ibu Lisa tinggal di sebuah rumah dan ditemani oleh seorang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja sejak suaminya masih hidup.

Saat ini Ibu Lisa mempunyai sebuah Toko Kelontong dekat pasar di kota kami. Toko yang peninggalan suaminya ini cukup laris. Di tokonya Ibu Lisa dibantu oleh beberapa karyawannya. Untuk membiayai hidupnya Ibu Lisa berkecukupan, karena kedua putrinya sudah menikah dan menjadi tanggungan suami mereka masing-masing.

Suatu hari Minggu aku berjumpa dengan Ibu Lisa di suatu Mall di kota kami.
“Eh.. Ibu Lisa, sedang memborong nih” aku menyapanya ketika kami berpapasan di depan sebuah Counter handphone.
“Ah tidak, Ibu Nur bisa aja. Saya hanya sekedar melihat-lihat. Saya bermaksud membeli hadiah ulang tahun putriku ynag bungsu” sahut Ibu Lisa.
“Ibu Nur, kita ngobrol-ngobrol yuk” ajak Ibu Lisa kepadaku.

Kami memasuki salah satu counter minuman. Kami memesan Es Kelapa muda.
“Nur, setelah dua tahun suamiku meninggal, aku berkenalan dengan salah seorang laki-laki. Ia menyenangiku dan aku juga. Anton sering berkunjung ke rumahku. Hubungan kami makin akrab. Menurut pengakuannya Anton mencintaiku.
Aku berkata kepada Mas Anton “Tapi Mas kan sudah berkeluarga. Masa mau sama aku?”
“Sungguh Lis, aku cinta padamu” begitulah Mas Anton mulai merayuku.
“Betul , Mas” aku tidak tercaya.
“Betul, Lis” kata Mas Anton sambil menunduk.
“Betul atau betul nih” aku menggodanya.

“Singkat cerita kami saling mencintai. Kami tidak menikah secara resmi” kata Ibu Lisa.
“Mas Anton memelihara Ayam jago aduan, ayam Bangkok. Karena isterinya tidak suka pelihara ayam, maka Mas Anton membawa ayam itu ke rumahku. Aku menaruh kurungan ayam di halaman belakang. Semula seekor, makin lama makin banyak, sampai sepuluh ekor ayam jago. Mula-mula aku yang memberi makan. Apa susahnya memberi makan ayam. Tetapi kadang-kadang aku lupa memberi makan ayam-ayam itu. Aku telepon dari Toko kepada pembantuku agar ayam-ayam mas Anton diberi makan. Akhirnya yang memberi makan ayam-ayam itu adalah pembantu rumah tanggaku. Ketika Mas Anton mengetahui hal ini, ia marah dan menampar pipiku” Ibu Lisa berkisah.

“Kalau kamu tidak memberi makan ayam-ayamku, berarti kamu tidak sayang kepadaku lagi” Mas Anton marah kepadaku.
“Setiap hari ayam-ayam itu tidak kelaparan, pembantuku selalu memberi makan, meskipun Mas tidak memberi uang pembeli makanan ayam-ayam itu. Aku kurang apa?” aku menjawab dengan marah pula.
“Mas Anton makin marah dan berkata kubunuh kau kalau besok ayam-ayamku tidak engkau sendiri yang memberi makan.”

Aku memotong kisah Lisa itu “Apakah Ibu Lisa tidak mengadukan perlakuan Anton kepada Kakak atau adik Ibu Lisa?”
“Nur, aku di kota ini tidak punya saudara, aku anak tunggal dari orang tuaku yang sekarang sudah almarhum. Aku takut kalau benar Mas Anton itu akan membunuhku” sahut Ibu Lisa.

Wah gawat nih. Laki-laki macam apa dia itu, Ibu Lisa sudah memberikan segalanya kepada dia, tetapi apa balasannya kepada Ibu Lisa. Ibu Lisa sudah memberikan cintanya, tubuhnya, uangnya, waktunya dan yang diterima hanyalah tamparan, ancaman dan kedengkian. Kualat kau Anton. Aku tak habis pikir mengapa Ibu Lisa ini mau dengan laki-laki macam itu. Oh….kasihan Ibu Lisa. Aku membatin.

“Lalu bagaimana selanjutnya?” kau bertanya kepada Ibu Lisa.
“Nur, suatu saat aku ingin pergi ke Gereja seperti ketika suamiku yang pertama masih hidup. Lalu aku minta agar Mas Anton mau mengantar aku pergi ke Gereja. Ia tidak mau dan katanya tidak usah kau pergi ke Gereja, nanti disana engkau melihat laki-laki lain” kata Ibu Lisa sambil menitikkan air matanya.

“Beribadah kan hak azasi manusia. Masak aku tidak boleh beribadah? “ kata Ibu Lisa.
Ibu Lisa melanjutkan kisahnya “Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan, agar Mas Anton disadarkan dari segala perbuatannya. Mata hatinya yang tertutup agar terbuka dan mau menerima Firman Tuhan”

“Hubungan kami makin lama makin merosot. Sudah jarang Mas Anton mengunjungiku lagi. Suatu hari ayam-ayamnya diambil orang suruhannya. Kata orang itu pula, Mas Anton kalah taruhan. Semua ayamnya dijadikan taruhannya.”

“Kehidupanku kembali seperti semula. Hidup sendirian dan hanya ditemani oleh pembantuku yang masih setia, Bibi Iyem” kata Ibu Lisa kepada ku.
“Selanjutnya bagaimana dengan Mas Antonmu itu? Aku bertanya.
“Beberapa minggu kemudian, aku mendengar ia mendapat kecelakaan. Mobil yang dikemudikannya menabrak mobil lain. Mas Anton mati seketika” jawab Ibu Lisa dengan sedihnya.-



Ikan Louhan

“Selamat pagi, Amir” kata temanku Bambang suatu pagi.
“Masuklah Bang, tumben ini sudah lama tidak ke rumahku kepada Bambang.
“Maklumlah, Mir aku sibuk dengan kerjaanku. Order cetakan sedang banyak. Amir adalah pembuat Kartu Cetakan Pernikahan, Kartu nama dan lain-lain dengan sisim Sablon. Hasil kerjanya bagus sehingga tidak heran banyak langganannya.
 
Bambang melihat ke 4 pohon buah Srikaya di halaman rumah kami. Kebetulan sedang berbuah banyak. Bambang nyeletuk” Mir, Srikayanya banyak tuh, tinggal memetik. Kalau terlambat dipetik, biasanya malam hari dimakan Kelelawar.” Ia masuk ke dalam rumahku. 
 
“Punya berapa akuarium, Mir” kata Bambang sambil memperhatikan ikan-ikan yang ada di dalam 2 akuariumku di ruang tamu. Saat ini aku hanya memelihara beberapa jenis ikan hias seperti ikan Koki merah dalam satu akuarium dan di dalam akuarium yang kedua disana ada ikan Black ghost yang hitam, panjang, gerakannya lucu, ikan Sumatra yang kuning belang-belang hitam yang gerakannya lincah, Manfish yang bentuk tubuhnya seperti ikan Bawal di laut, ikan Blackmoly yang berwarna hitam pekat, ikan Pedang yang berwarna merah dan berpedang bagi yang jantan. Mereka hidup rukun di akuarum berukuran 75 Cm kali 40 Cm dan tinggi 40 Cm. Tidak sulit memberikan mereka makan, cukup sehari 2 kali pagi dan sore, diberi cacing kering yang mudah dibeli di kios pedagang Ikan dekat pasar tradisionil kota kami dengan harga terjangkau.
 
Ketika anjing Blasteran kami beranak 5 ekor puppies, pernah Bambang mampir ke rumah kami dan kami tawari agar ia mau mengambil dan memelihara anakan anjing, ia menolak karena isterinya takut anjing.
 
Setelah menyeruput Teh hangat, Bambang berkata “Wah Mir, rumahku diberkati Tuhan.”
Aku heran, temanku itu berkata demikian “Kenapa Bang, apa ada yang aneh di rumah kami?”
“Konon bila di halaman rumah yang ditanam pohon buah-buahan banyak buahnya, pelihara hewan dan mereka beranak di rumah itu. Itu menandakan rumah itu bagus untuk berkembang biak mahluk hidup dan berarti rumah itu mendapat berkat. Kalau kamu sekarang pelihara ikan di dalam akuarium dan bisa berkembang biak, itu petanda bagus Mir.”
“Hebat, Mir. Kamu dapat dari mana teori itu?” aku bertanya.

“Ini bukan teori Mir, tetapi kenyataan. Percayalah kepadaku” kata Bambang sok jagoan.
“Iya sudah aku percaya. Minumlah Teh dan Pisang Gorengnya. Kami tidak punya apa-apa lagi nih.” Aku berkata kepada Bambang.
“Wah nikmatnya nyruput Teh hangat ditemani Pisang Goreng” kata Bambang.
Aku tahu ia penggemar berat Pisang Goreng.
Mendengar teori Bambang ini, aku teringat ketika 2 tahun yang lalu, kami memelihara Ikan Louhan yang sedang ngetop. Kami mendapat kiriman 4 ekor Louhan umur sembilan bulanan. Dari adik iparku di Jakarta. Aku masih belum mengetahui mana yang Jantan dan mana yang Betina. 2 ekor Louhan diberikan kepada familiku yang datang ke rumah kami. Kami hanya pelihaya 2 ekor Louhan yang kami beri makan cacing hidup dan pelet Louhan.
 
Khawatir Louhan itu bertengkar maka akuarium kami yang saat itu hanya ada satu, saya bagi dua dengan sekat kaca yang dapt digeser-geser. Ke 2 Louhan itu tumbuh besar dan saling mencumbu meskipun terhalang oleh sekat kaca yang transparan. Saya membeli Buku tentang Louhan yang dijual di sebuah toko buku di kotaku untuk mempelajari segala sesuatu tentang ikan ini. Louhan yang bagus harganya bisa jutaan. Bahkan sampai diperlombakan sepetrti Burung Perkutut, Burung Berkicau, Anjing Ras dan lain-lain. Ikan Louhan yang menang kontes, akan segera ditawar oleh para penonton yang akan dijadikan Indukan Louhan. Bila beranak maka ini merupakan sumber penghasilan yang lumayan. Bisa bebas pajak penghasilan lagi.
 
Louhan yang saya perkirakan Betina karena warnanya tidak sebagus Louhan yang disebelahnya dan bentuk badannya yang agak bundar, perutnya makin lama makin membesar. Mungkin ia akan bertelur. Selang 2 hari kemudian ia berada ditengah akuarium sebelah kanan tempat ia selama ini. Di bawah badannya ada sekumpulan benda bundar, berwarna kekuning-kuningan. Louhan itu rupanya sudah bertelur. Telur-telurnya dijaga oleh Induknya.
 
Segera saya lepaskan sekat kaca pembatas akuarium. Louhan yang saya perkirakan Jantan itu, karena bentuk badannya lebih panjang dan warnya lebih cerah, segera mencumbu Louhan Betina yang sudah ia kenal beberapa waktu lamanya. Aku mengetahui bahwa telur Louhan ini akan dibuahi oleh sel-sel mani Louhan Jantan yang di keluarkan dari tubuhnya.
 
Sekitar 3 jam kemudian, aku segera memisahkan Louhan Jantan ke sebuah bak air yang tidak terpakai. Aku khawatir Louhan yang Jantan akan menyerang Betinanya. Louhan Betina menjagai telur-telurnya. Hari demi hari aku memperhatikan perkembangan telur-telur Louhan itu. 
 
Pada hari ke 4 dan seterusnya secara bertahap, mulai tampak bintik-bintik hitam ( yang merupakan mata Louhan anakan ) dan bagian lainnya bergerak-gerak, tanda suatu kehidupan. Akhirnya semua telur menetas menjadi anakan Louhan. Segera Induk Louhan itu saya masukkan ke dalam akuarium lain yang kubeli di toko akuarium. Aku khawatir anak-anaknya akan disantapnya bila ia lapar. Setelah menetas, anakan Louhan tidak perlu perlindungan Induknya karena mereka berada di dalam akuarium yang bebas dari predator.

Selama 3 hari, kuning telur yang masih berada di dalam tubuh anakan ini cukup untuk sumber makanan bagi mereka. Hari ke 4 dan selanjutnya aku memberi kutu air yang kubeli dari penjual kutu air, spesial untuk Louhan. Air akuarium berubah menjadi coklat seperti air lumpur. Jutaan kutu air berada di dalam akuariumku itu.
Anakan Louhan itu cepat membesar sampai sepanjang 5 mm. Minggu berikutnya aku lupa memberi makan dan akibatnya setiap pagi aku melihat banyak anakan Louhan yang terapung dipermukaan iar, mati!

“Jangan terlambat memberi makan anakan Louhan” demikian kata si penjual kutu air langgananku.
Aku rajin memberi makan anakan Louhan ini setiap 2 hari aku memasukkan sekantong kutu air ke dalam akurarium itu.
 
Tibalah saatnya memberikan makanan yang lebih besar dari kutu air, cincangan cacing rambut yang berwarna merah. Rakus benar mereka makan dalam sekejap cincangan cacing itu habis disantap mereka.
 
Akuarium kami ganti airnya karena air yang lama sudah terlalu kotor. Cukup merepotkan memelihara ikan Louhan ini. Isteriku turut membantu mengganti air akuarium.
“Mah, cobalah hitung berapa jumlah anakan Louhan ini sekarang. Rasanya kok banyak yuang mati” aku berkata kepada isteriku.
Dengan serok kecil, isteriku menghitungnya “ Satu, dua…. sambil memasukkan hasil hitungannya ke dalam sebuah ember yang terisi air bersih.
“Masih ada 66 ekor “kata isteriku gembira.
“Kalau seekor dihargai Rp. 10.000,- lumayan untuk ganti beli kutu air dan upah kerja merawat mereka” isteriku menghayal. Terbayang isi dompetnya akan bertambah banyak.
 
Suatu hari, isteriku brekata kepadaku “Pah, tadi saya bertemu dengan si Roni.”
“Siapa Roni itu?” aku bertanya.
“Roni adalah kenalanku yang pedagang ikan hias. Katanya ia mau memborong anakan Louhan kita.”
“Wah bagus, kalau ia mau memborongnya. Kita pilih saja beberapa ekor anakan yang besar dan bagus badannya untuk dipelihara” aku turut gembira.
 
Roni datang dan menaksir harganya. 
“Kalau Ibu minta Rp. 10.000,- per ekor, saya tidak berani. Saat ini Louhan sudah sulit dijualnya. Lagi pula ini masih anakan, tidak semua anakan dapat jadi Louhan yang bagus” seperti biasa seorang pembeli menjelek-jelekan barang yang mau dibelinya agar harganya bisa lebih murah.
“Saya berani Rp. 300.000,- kalau Ibu berikan, saya akan ambil uangnya sekarang” kata Roni.
Kami berunding sejenak dan isteriku bernegosiasi dengan Roni.
“Lima ratus ribu deh, Ron. Anakan ini sehat-sehat, kami tetaskan sendiri dari Induk yng sehat pula. Isteriku tidak kalah argumentasinya. Memang wanita pandai berdebat.
“Kalau Ibu setuju, saya naikan tawaran saya menjadi tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Boleh ya Bu.” Kata Roni sambil berjalan ke pintu ruang tengah kami.

Susah juga cari orang yang mau memborong semua anakan Louhan. Akhirnya kami merelakan anakan Louhan itu dengan harga terakhir yang diajukan Roni. 

Lumayan, ikan yang kami rawat bisa memberi uang kepada kami. Betul kata temanku Bambang, rumah ini diberkati Tuhan. Amin.




Rabu, 19 Agustus 2009

Histeria


Masa yang paling menyenangkan adalah masa ketika kami duduk di bangku SMU. Ak mempunyai banyak teman laki-laki dan wanita. Teman wanitaku yang paling dekat adalah Rini. Penampilan Rini biasa-biasa saja. Sebenarnya Rini enak diajak bicara. Tutur katanya lembut dan tidak sombong. Ada satu kekurangan pada diri Rini yang sangat mengganggu yaitu bau badannya yang tidak sedap.

Hari Selasa kemarin adalah hari Olah raga di kelas kami. Guru Olah raga kami, Pak Juanedi memberikan pelajaran Senam Lantai. Dan tersedia beberapa matras busa diatas lantai. Satu per satu, para murid kelasku dilatih salah satu Senam Lantai. Ketika giliran Rini, tiba-tiba ia terjatuh diatas matras. Tubuh Rini terbaring diatas matras cukup lama sehingga membuat panik Pak Junaedi dan teman-temanku. Segera kepala Rini diberi obat gosok, dan berangsur-angsur Rini sadar.

“Apakah yang kau rasakan Rin?” Pak Junaedi bertanya kepada Rini.
“Dadaku sakit, Pak” jawab Rini.
“Ya sudah, kamu istirahat saja di tepi” Pak Junaedi memberikan saran kepadanya.
Seusai pelajaran Olah raga, keadaan Rini sudah membaik dan dapat diajak bicara.
“Kamu kenapa sih Rin. Tidak biasanya kamu pingsan begitu” kataku kepada Rini.
“Aku tidak tahu, Nur. Mendadak aku sakit dada dan terjatuh diatas matras” jawab rini.
“Untung jatuhnya diatas matras, coba kalau diatas lantai. Kepalamu bisa benjol” aku menggodanya
“Ah kamu, Nur” wajah Rini merah. Ia tampak cantik.

---------

Acara kenaikan kelas telah tiba. Semua murid naik ke kelas III. Acara ini dirayakan oleh salah satu teman kami, Tuti di rumahnya yang besar. Keluarga Tuti tergolong keluarga kaya. Halaman rumahnya luas dan ruangan depan dan tengahnya telah di ubah menjadi ruang pesta kecil-kecilan. Tuti telah memanggil Pemain Organ Tunggal yang terkenal di kota kami. Wah pesta kami akan meriah. Aku dan teman-teman sudah berjanji dengan teman cowok kami sekelas akan menghadiri acara pesta kenaikan kelas kami di rumah Tuti.

Malam Minggu yang telah ditentukan telah tiba, kami berpasangan telah berkumpul di rumah Tuti. Rini seorang diri datang tepat ketika acara akan dimulai. Setelah kata sambutan dari Tuti selaku Nona rumah, acara santap malam dimulai diiringi musik Organ. Suara ketawa yang hadir di pesta itu terdengar di setiap sudut ruangan. Orang tua Tuti tidak hadir, kata Tuti ortunya sedang pergi ke Singapore.

Setelah santap malam kami ngobrol di halaman belakang yang merupakan sebuah Taman yang asri. Kami merasa betah duduk di taman ini, apalagi suasana malam itu santai dan semua yang hadir gembira karena naik kelas.

Acara melantaipun tiba, lampu di ruangan tengah dipadamkan sebagian sehingga tampak remang-remang. Kami akan melantai bersama pasangan masing-masing. Rini tidak mempunyai pasangan untuk melantai. Aku merasa kasihan kepadanya. Teman-teman cowokku enggan mendekatinya karena masalah B.O. Rini. Ketika aku melirik ke arah Tini, tubuh Rini terjatuh keatas sofa di salah satu sudut ruangan. Secara reflex aku lari ke arah Rini. Rizal, pasanganku mengikutiku dari arah belakang. 

Tampak Rini tidak sadar. Aku berdiskusi dengan Rizal dan Tuti. Apakah Tuti dibawa ke Rumah Sakit atau kami memanggil Dokter. Akhirnya kami memutuskan memanggil Dokter keluarga Tuti yaitu Dokter Stefen.

Beliau datang tak lama kemudian ketika beliau akan pulang ke rumah, terdengar dering telepon di Ruang prakteknya.
Dokter memeriksa Rini. Ketika akan memeriksa bunyi Jantung Rini, Dokter membuka kancing baju Rini dan tampak sekilas oleh Dokter salah satu kelopak mata Rini terbuka sedikit. Hal ini ditangkap oleh pandangan mata Dokter Stefen.
“Untuk saat ini baik, tak perlu kuatir, nanti juga pasien akan bangun kembali. Temani saja barang sebentar” kata Dokter Stefen. 

Tuti mengajak Dokter Syefen dan aku masuk ke sebuah ruangan baca keluarga Tuti.
“Dokter, sebenarnya apa penyakit Rini ini. Ia sering pingsan dan kami khawatir akan kesehatan teman kami yang satu ini?” Tuti bertanya kepada Dokter Stefen.
“Ketika kalian akan melantai, Rini merasa tidak mempunyai pasangan sehingga ia M.P.O.”

“Apa pula arti M.P.O. itu, Dok” sahut Tuti.
“Menarik Perhatian Orang, agar orang memperhatikannya dengan menjatuhkan tubuhnya. Ia mengambil suatu simbul untuk menyatakan keinginannya, misalnya ia mengatakan sakit dadanya atau anggota tubuh lainnya. Sakit dada itu merupakan simbul dari keinginan untuk dipeluk. Ketika saya membuka salah satu kancing bajunya, ia merasa senang dan ingin melihat siapa yang berbuat itu pada pakaian yang melekat di dadanya. Saya melihat sekilas kelopak mata kirinya terbuka. Sebenarnya ia tidak apa-apa, ia sadar. Ia berperilaku begitu agar orang lain memperhatikan dia. Kasus ini disebut Histeria yang biasa menghinggapi wanita-wanita umur pubertas. Cocok dengan usia Rini,” begitu Dokter Stefen menjelaskan panjang lebar tentang teman kami ini.

“Mengapa Rini selalu jatuh di tempat yang empuk, seperti matras atau sofa?” aku bertanya kepada dokter.
“Itulah bedanya dengan penyakit Epilesi ( Ayan ) pasien ini akan terjatuh ketika terjadi serangan Epilepsi, ia akan jatuh dimana saja oleh karena ia tidak sadar saat itu. Pada Histeria, ia selalu mencari tempat yang aman terlebih dulu seperti matras, kasur, sofa dan lain-lain. Ketika menjatuhkan diri ia sadar dan menginginkan ada orang yang memperhatikannya.

“Lalu bagimana mengatasinya, Dok. Ia mempunyai masalah dengan B.O. nya sehingga teman-teman cowoknya tidak mau mendekati Rini” aku bertanya.
“Kalau masalah B.O. kan bisa mengunakan Deodorant yang banyak di jual di Super Market. Wajahnya juga lumayan. Saya kira ia akan mendapatkan teman cowok dan Histeria-nya tidak akan timbul lagi. Aku pamit dulu” kata Dokter Stefen sambil melangkah ke luar ruangan.


Senin, 17 Agustus 2009

Cat Rambut


“Rina, sudah waktunya sekolah. Kok belum ganti pakaian?“ Ibu Rina dari Dapur bertanya kepada anak gadisnya, Rina 15 tahun.
“Aku tak mau sekolah, Bu” jawab Rina.
“Apakah hari ini libur?” Ibu Rina bertanya lagi.
“Hari ini tidak libur, Bu” jawab Rina.

Ibu Rina masuk ke Ruang Makan dan bertanya lagi “Kalau tidak libur mengapa kamu tidak mau ke sekolah?”
Ketika Ibu Rina melihat rambut dan wajah Rina, ia terkejut “Rina mengapa warna rambutmu berubah menjadi Coklat dan mengapa wajahmu bengkak. Ada apa nak?”

Rina diam tidak menjawab pertanyaan Ibunya.
Pak Abidin, ayah Rina masuk ke Ruang Makan hendak sarapan sebelum berangkat ke Kantor.
“Ada apa, Bu. Pagi-pagi kok sudah ramai begini?” kata Pak Abidin.
“Itu lho Rina tidak mau ke sekolah dan wajahnya bengkak?” sahut Ibu Rina.
“Astaga kau apakan rambutmu dan mengapa wajahmu bengkak, Rina?” Pak Abidin kaget. Kemarin warna rambut Rina masih Pink di sebelah kiri kepala Rina, sekarang rambutnya berubah menjadi Coklat semua.

Ibu Rina berkata “Rina telah mengubah warna rambutnya menjadi Coklat tanpa minta ijin kepadaku. Ia mencat rambutnya sendiri. Sekarang wajahnya juga berubah menjadi bengkak.”

Pak Abidin reda kagetnya dan berkata “Jaman sekarang warna rambut bisa berubah setiap hari seenaknya. Jaman dulu warna rambu manusia berubah hanya menjadi 3 warna seumur hidupnya: Hitam, Kelabu dan Putih.” Pak Abidin menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sarapan.
“Bu, kau antarlah Rina berobat ke Dokter Stefen” kata Pak Abidin kepada isterinya.

Setelah sarapan ibu Rina mengantar Rina berobat ke Dokter Stefen, tetangga di sebrang jalan.
“Mari masuk, Bu” kata Dokter Stefen.
“Siapa yang mau berobat?”
“Saya mengantar putri kami, Rina” sahut Ibu Rina.

Dokter Stefen melihat Rina dan berkata” Wajah dan kelopak mata kirimu bengkak. Kau apakan wajahmu Rin?”
“Kemarin Rina merubah warna rambutnya menjadi Coklat semua. Kemarin dulu warna rambutnya Hitam dan Pink di sebelah kiri. Ia mencat rambutnya sendiri, Dok” sahut Ibu Rina.

“Rina mencat sendiri? Mengapa tidak pergi ke Salon?” Dokter Stefen bertanya.
“Rina membeli cat rambut merk tertentu dan ia langsung mencat rambutnya di rumah” kata Ibu Rina.
“Mari, saya periksa dahulu” kata Dokter.

Setelah memeriksa rambut dan wajah Rina, Dokter berkata ”Ini Contact dermatitis.”
“Apa artinya , Dok? Tanya Ibu Rina.
“Rina menderita peradangan kulit akibat kulitnya bersentuhan atau kontak dengan sesuatu zat, dalam hal ini Cat rambut merk tertentu dan kulit Rina tidak tahan dengan Cat rambut merk itu “ sahut Dokter Stefen.
“Hati-hati Rin, kalau mencat Rambut. Kelopak mata kirimu juga bengkak dan beruntung mata kiri tidak apa-apa” kata Dokter Stefen.

“Kau dengar, Rin ucapan Dokter. Lain kali tak usahlah kau cat rambutmu. Kau sudah cantik tanpa merubah warna rambutmu.” Ibu Rina menasihati putrinya.
“Ah…Ibu, Rina kan ingin lebih menarik. Lagi ngetrend sih” sahut Rina dengan gaya anak muda.

“Ini resepnya, Bu. Saya beri Rina Krim kulit anti peradangan, oleskan di kulit wajah yang bengkak di pagi dan sore hari, setelah mandi dan ada 1 macam tablet anti peradangan yang harus diminum sehari 3 kali 1 tablet sehabis makan. Jangan menggunakan Cat rambut merk itu lagi, Rin” kata Dokter Stefen kepada Rina.

“Aku tak mau sekolah dulu, Bu. Aku malu kepada teman-temanku.”
“Baiklah, saya beri Surat Keterangan Sakit selama 2 hari” kata Dokter Stefen.

Dua hari kemudian bengkak di wajah dan kelopak mata kiri Rina menghilang dan wajah Rina cantik kembali. Rina kapok mencat Rambutnya lagi. Gara-gara ulahnya sendiri ia tidak masuk sekolah selama 2 hari dan itu menyebabkan Rina harus menyalin semua catatan mata pelajaran dari temannya ketika ia tidak sekolah.-




Sabtu, 15 Agustus 2009

AC tidak dingin


“Harun, oli Mesin dan air Radiatornya sudah kamu periksa?” isteriku bertanya kepada Supir Kantor tempat isteriku bekerja.
“Sudah, Bu. Masih cukup, tinggal beli Bensin saja sambil keluar Kantor” sahut Pak Harun.

Lima orang karyawan lain segera memasuki Minibus Kijang keluaran tahun 1997 itu. Mereka akan mengadakan kegiatan mobile unit yaitu mengambil darah donor darah di salah satu Bank di kota kami. Hari itu 3 tim mobile unit yang bergerak untuk mengambil darah donor di tempat yang berlainan.

“Run, nyalakan AC nya, panas nih “ isteriku memberikan perintah kepada sang Supir.
“Oh iya Bu, kelupaan” sahut Harun.
Selang tak lama kemudian ada suara dari arah jok belakang “ACnya sudah dinyalakan belum Pak Harun?”
“Sudah, untuk bagian belakang silahkan tombol Blower tengah di-On-kan.”

“Kok hanya udara hangat saja yang keluar” kata Ningsih yang duduk di jok tengah.
“Wah kalau begitu, mungkin gas Freon-nya sudah berkurang” sahut Harun sambil mengemudikan Kijang itu.
“Iya sudah besok ke bengkel AC, sekarang sabar saja dulu, sebentar lagi juga kita sudah tiba di Bank itu “ isteriku menengahi pembicaraan stafnya.
 
Keesokan harinya sepulang dari kantor isteriku melaporkan kepadaku bahwa kunci pintu belakang Kijang dinasnya sulit dibuka. Untuk memperbaiki sewaktu jam kantor sangat sulit karena mobilitas isteriku cukup tinggi. 
“Tolong kuncinya diperbaiki dan sekalian AC untuk bagian belakang Kijang itu minta diperiksa dan diperbaiki agar dingin” isteriku berkata kepadaku.
 
Aku membawa Kijnag Dinas itu ke sebuah toko variasi mobil langgananku. Aku melaporkan kepada temanku masalah Kijang tersebut.
Pak Beni segera memerintahkan seorang tehnisi untuk memperbaiki Pintu belakang dan seorang tehnisi untuk memeriksa AC.
 
Masalah pintu cepat diselesaikan, hanya ganjal rumah kunci pintu yang perlu diganti dengan yang lebih tebal. Masalah AC yang diperiksa oleh Pak Udin ini juga cepat selesai. Ia membuka kap mesin Kijang dan membuka Blower di di dalam Kijang bagian tengah
“Sudah Pak. Semua normal” kata Pak Udin.
“Normal? Tidak ada udara dingin kok normal sih!” aku protes.
“Semua normal, yang keluar udara hangat saja, hembusan fan blower. Tadi saya lihat di dalam blower itu tidak ada pipa-pipa gas Freon. Jadi yang keluar hanya udara hangat saja. Ternyata di dalam blower tidak ada unit pendinginnya, Pak. Di ruang mesin juga tidak ada pipa penyalur udara dingin ke Blower bagian tengah mobil. Jadi normal. Tidak ada unit pendingin ya tidak dingin udaranya” kata Pak Udin sambil tertawa.
 
Aku heran mengapa Blower terpasang tetapi di dalam Blower tidak ada pipa-pipa freon. Lalu untuk apa Blower itu dipasang di dalam Kijang itu.
“Mungkin tadinya ada Pak, tetapi karena rusak, maka tidak dipasang lagi. Hanya Fan yang bekerja menghembuskan udara hangat” kata Pak Udin.
“Jadi bagaimana solusinya Pak Udin?” aku bertanya kepadanya.
“Mesti di pasang satu unit blower dan pipa-pipa yang baru” sahut pak Udin.
“Berapa kira-kira harganya?” aku bertanya lagi.
“Sekitar satu setengah juta rupiah” sahut Pak Udin.
Wah cukup mahal, kataku di dalam hati. Tidak ada unit pendingin, ya tidak dingin udaranya. Suara itu masih teringat olehku.
 
Kejadian ini mirip dengan kisah seorang Ibu yang merasa mesin mobilnya hilang di sebuah halaman parkir.
---

“Tolong bantu Pak, aku mau mundur” kata seorang Ibu yang baru saja keluar dari suatu Mall kepada Tukang parkir.
“Baik, Bu” sahut Tukang parkir.
Beberapa menit kemudian tidak terdengar suara mesin VW kodok Ibu itu, meskipun Ibu tadi sudah duduk di dalam mobilnya.
“Kok mesinnya tidak mau hidup” katanya kepada Tukang parkir.

Tukang parkir bermaksud membantu Ibu tadi lalu berkata “Buka saja kap mesinnya, Bu” katanya sambil berjalan menuju bagian depan VW kodok itu. 
Ketika kap “mesin” itu terbuka, Tukang parkir berkata kepada Ibu itu “Ibu, disini tidak ada mesin mobil. Mesinnya hilang!”
Tergopoh-gopoh Ibu itu keluar dari dalam mobilnya. Ketika ia melihat di dalam kap “mesin” itu tidak ada apa-apa selain sebuah kain lap kumal, ia menangis dan berteriak “Mesin mobilku hilang. Mesin mobilku hilang. Bagaimana ini Tukang parkir tidak menjaga mobilku dengan baik. Siapa pencurinya, heh” ia memegang leher baju Tukang parkir.

“Saya tidak tahu, Bu. Bukan saya yang mengambilnya” sahut Tukang parkir dengan berteriak juga.
Keributan tadi menarik perhatian orang-orang disekitar halaman parkir itu.

“Sebenarnya ada apa?” kata seorang Bapak.
“Kata Ibu ini, mobilnya tidak dapat distater dan ketika kap “mesin” yang di depan mobil itu dibuka, mesin mobilnya tidak ada” kata Tukang parkir tadi menerangkan.

“Ya tentu saja mesinnya tidak ditemukan di situ” kata Bapak itu.
“Jadi mesin mobilku dimana?” tanya Ibu pemilik mobil VW tadi.
“Mesin mobil Ibu tidak hilang, memang tempatnya bukan di depan mobil tetapi terletak di belakang mobil. Cobalah tarik tombol ini untuk membuka kap mesin yang sesungguhnya” kata Bapak tadi.

Rupanya ia mempunyai mobil VW kodok juga.
Setelah terbuka kap mesin itu, ternyata mesin VW itu ada disana. Benar kata Bapak tadi, mesin VW ada dibelakang mobil, bukan di depan mobil. Mesin mobilnya tidak hilang.

Setelah diperiksa kenapa mesin tidak dapat distater, karena bensinnya habis. Tidak terkontrol dan Ibu pemilik VW itu lupa mengisi bensin sebelum berangkat ke Mall itu. Mesin dapat dihidupkan lagi setelah sepuluh liter bensin yang dibeli di pedagang bensin eceran di depan Mall, masuk ke dalam tangki bensin VW tadi.

“Terima kasih Pak, Bapak sudah menemukan mesin mobil saya.” kata Ibu pemilik VW tadi sambil menyalami tangan Bapak tadi.




Selasa, 04 Agustus 2009

TV antik


Delapan tahun yang lalu kami membeli sebuah TV mini berwarna. Ukuran layarnya sekitar 6 inchi yang membutuhkan tenaga listrik yang kecil. TV ini dilengkapi dengan Radio FM dan antene yang dapat ditarik keatas sepanjang 20 Cm. Di sisi kanannya pada bagian bawah TV terdapat sederet lubang untuk audio out put, video out put dan lain-lain. TV ini tidak mempunyai remote controle, dan untuk beralih ke channel TV berikutnya kita mesti memutar sebuah tombol seperti pada sebuah radio jaman dulu yaitu dengan memutar tombol yang bentuknya seperti kancing piyama. TV mini sangat praktis dibawa-bawa atau dipindah-indahkan letaknya. Gambarnya akan lebih tajam bila dihubungkan dengan antene TV yang terpasang diatas atap rumah
 
Ketika putri kami sekolah di salah satu SMU di Jakarta, TV mini ini selalu menemaninya dan diletakkan diatas meja belajarnya. Ia dapat mendengarkan siaran radio FM di Jakarta dan siaran TV swasta. Dengan demikian ia tidak usah pergi ke ruang tengah tempat kost dimana TV Ibu kos berada.
 TV mini ini kembali berpindah tempat ketika putri kami melanjutkan studynya ke luar negeri. TV itu diletakkan di sebuah meja ditempat praktek isteriku yang seorang dokter umum. Dengan setia ia menemani isteriku selama sekitar 1 tahun.
 
Banyak pasiennya yang merasa heran kok masih ada TV seperti itu. Banyak yang bertanya “Apakah Ibu merasa nyaman melihat TV mini ini dari jarak dua meteran. Apakah tidak terlalu kecil gambarnya?”
“Masih enak dan masih dapat menghibur saya” kata isteriku sekenanya.
 
Bulan berganti bulan dan dengan seringnya tombol pencari channel TV swasta di putar-putar menyebabkan sangat sulit kalau akan berpindah channel sebelum TV itu hidup untuk sekitar sepuluh menit. Makin panas TV makin mudah tombol channel bekerja. Bila sudah panas lebih mudah untuk berpindah channel TV. Berabe juga. Tombol volume suara yang berupa sebuah tombol geser di bagian depan TV juga sudah mulai ngadat. Tombol itu mesti diganjal lembaran kertas agar suaranya muncul. TV ini sebenarnya sudah waktunya masuk musium. Mencari orderdilnya juga pasti sangat sulit sebab TV mini ini sudah tidak beredar di pasaran.
 
Suatu sore ada seorang pasien langganan isteriku yang datang berobat. Untuk ke sekian kalinya ia memperhatikan TV mini di ruang praktek itu. Akhirnya ia mengajukan permohonan “Ibu dokter, TV itu sudah kuno dan layarnya terlalu kecil. Boleh tidak kalau saya beli saja?”
“Nanti ya saya bilang sama suamiku dulu” jawab isteriku, sebab TV ini mempunyai nilai kenangan, yang sudah lama menemani putri kami di tempat kosnya.
 
Setiap pak Joni datang berobat, pertanyaan dan jawaban itu selalu terulang kembali. Sampai akhirnya Pak Joni menawarkan barter antar TV mini kami dengan sebuah TV color 21 inchi yang pakai remote controle. Akhirnya kami menyetujui proses barter itu. Pak Joni sangat gembira ketika permintaannya dikabulkan isteriku.
 
Suatu malam ketika isteriku pulang praktek ia berkata “Tadi sore ia datang lagi dan saya bilang boleh Pak Joni barter TV itu. Kemudian Pak Joni pergi sebentar untuk membeli TV 21 inchi buatan RRC di toko TV milik kawannya dan datang kembali dengan membawa 1 Dus TV baru, lengkap dengan Nota pembelian dan Kartu garansinya” 
 
Keesokan harinya aku pergi melihat TV itu. Wah… layarnya cukup besar untuk dilihat dengan jarak 3 meter, suaranya stereo, pakai remote controle, mutu gambar dan suaranya oke punya. Aku puas dengan TV barteran ini. Aku bertanya kepada diriku sendiri “Mengapa Pak Joni mau menukar TV antik itu dengan TV yang baru dan ukuran layar yang jauh lebih besar? Untuk apa TV kuno itu sebenarnya”
 Isteriku tidak peduli lagi apa alasan Pak Joni mau membarter TV kami. Yang penting ia sekarang sudah punya TV baru yang lebih nyaman.
 
Bulan berikutnya kami bertemu dengan Pak Joni disuatu pernikahan relasi kami dan aku bertanya apa alasannya ia mau menukar TV antik dengan TV baru? 
Pak Joni menjawab “Untuk saya koleksi. Saya senang dengan TV yang antik.” 
Rupanya Pak Joni seorang kolektor TV antik. Aku tidak peduli lagi bila Pak Joni bisa menjual TV mini itu dengan harga yang jauh lebih mahal dari TV 21 inchi hasil barteran kami. Ya sudah win win solution saja.



Minggu, 02 Agustus 2009

Shok terapi


Suatu siang kami berpapasan dengan Agus, temanku di selasar Rumah sakit.  
“Gus, kamu masuk di bagian apa sekarang?” aku bertanya kepada Agus teman seangkatan, ketika kami sekolah Dokter di salah satu Universitas di Bandung. Ketika kami mengikuti tingkat akhir, pendidikan Koasistensi, kami belajar lebih banyak di lingkungan Rumah Sakit pendidikan kami dari pada di dalam Ruangan Kuliah di Kampus.
“Aku di bagian Pediatri ( I.Kesehatan Anak ). Malam ini kau kena jaga malam, Bud” Agus menjawab pertanyaanku.
“Sama, aku jaga malam juga di bagian Bedah” sahutku kepada Agus.

“Budi, siang ini ada Cito operasi di O.K. ( Operasi Kamar ) “ kata Lina rekanku di bagian Bedah.
“Emang giliran siapa yang mendampingi Dokter Singgih?”
“Menurut jadwal, kamu, Budi. Kamu bersiap-siaplah dan masuk O.K. sebelum Dokter Singgih cuci tangan. Kalau kamu terlambat, pasti kena marah” sahut Lina.
“Baiklah aku cuci tangan dulu, Lin” aku menjawab.
 Setelah mengikuti asistensi di O.K. aku menulis laporan kegiatan Bedah siang itu. Yono seorang lekaki, 35 tahun, mengalami Perforasi Appendicitis ( Radang Usus Buntu yang pecah ). Dibanding operasi Appendectomi biasa ( operasi pengangkatan Usus Buntu ), operasi tadi lebih lama karena Dokter Bedah harus membersihkan rongga perut dari segala kotoran yang keluar dari Usus Buntu yang pecah tadi. 
 Malam itu aku jaga malam bersama Dokter Maksum. Enak kalau jaga bersamanya. Para Dokter muda dibimbing dengan baik dalam Ilmu Bedah dan juga tindakan praktis di ruang Poliklinik Bedah Rumah Sakit pendidikan kami.

-----

“Beri jalan, ada pasien.” begitu teriak petugas penerima pasien.
Seorang pemuda Amir, berusia sekitar 30 tahun mengalami kecelakaan lalu-lintas. Aku melihat Betisnya yang mengalami ekskoriasi ( luka lecet ). Bagian tubuh lainnya bersih, tak ada cedera, patah tulang dll. Semula di ruang depan Polikinik, ia dapat berbicara ketika ditanya identitas dirinya dan bahkan ingin menuntut seorang Bapak Toto, pengendara sepeda motor yang menabraknya. Toto mengatakan bahwa si Amir yang tidak hati-hati mengendari sepeda motornya sehingga terjadi tabrakan kedua sepeda motor. Pak Toto tidak mengalami luka dan pasien Amir hanya mengalami sedikit Eksoriasi di Betisnya.

“Siapa namanya?” aku bertanya kepada pasien Amir.
Dia diam saja dan kedua matanya tertutup rapat.
Aku memeriksa tekanan darah, denyut nadi, bunyi jantung dan pernafasan semuanya normal. Tidak ada luka lain atau tanda-tanda patah tulang.
Aku berpikir ia berpura-pura sakit berat dan kalau ia dirawat di R.S. maka ia dapat menuntut uang yang banyak dari Pak Toto yang dianggap penyebab dari lukanya.
Aku melaporkan hasil pemeriksaan pasien kepada Dokter Maksum dan mengatakan keadaan pasien yang ogah-ogahan menjawab semua pertanyaan.
Dokter Maksum berkata “Baik, kita lakukan Shok terapi ke satu saja.”
Aku bingung EST ( Electro Shock Therapy ) hanya dilakukan di bagian Psikiatry ( I. Kesehatan Jiwa ) untuk menenangkan pasien yang mengalami Schizophrenia ( gila ). Apakah di bagian Bedah ini biasa dilakukan EST juga?
Dokter Maksum meminta sebuah Pinset berkapas, dan ia mencelupkannya ke dalam larutan Yodium beralkohol, yang perih bila ditempelkan pada luka. Tanpa bilang apa-apa, Dokter Maksum mengoleskan kapas itu diatas luka lecet sang pasien.
“Aw…..perih…perih sekali” teriak sang pasien yang pura-pura pingsan itu. Ia duduk di atas bed pemeriksaan.
“Budi, pasienmu sudah bangun tuh” kata Dokter Maksum.
O… itu kah yang dinamakan Shok terapi ala Bagian Bedah?
 Akhir minggu kami jaga bersama lagi dengan Dokter Maksum. Sore ini datang seorang pasien lelaki, Abang Becak, umur sekitar 40 tahun. Menurut laporan dari Perawat yang bertugas, pasien terjatuh dari Becak yang dikemudikannya. Menurut pengendara sepeda motor, seorang pemuda 30 tahunan, ketika akan mendahului Becak itu, tiba-tiba dari arah yang berlawanan meluncur sebuah Minibus yang mengambil jalan agak ketengah. Untuk menghindari tubrukan, ia mengarahkan setir sepeda motornya ke kiri dan mengenai kaki si Abang Becak. Abang Becak turun dari Becaknya dan masih dapat berdiri, setelah ia melihat ada seorang sepeda motor yang menyenggol kakinya , ia tiba-tiba terduduk dan minta diantarkan ke Rumah Sakit terdekat yaitu tempat kami bertugas. Ia minta ganti rugi atas kejadian itu. Tidak ada luka atau patah tulang.
Aku bertanya kepada sang pasien yang sudah berada diatas bed pemeriksaan “Pak, dimana yang sakit?”
Abang Becak diam saja.
“Pak, namanya siapa dan dimana rumahnya?” aku bertanya lagi.
Masih diam, matanya tertutup. Wah ini kasus simulasi ( pura-pura ) lagi. Aku melapor kepada Dokter Maksum tentang status kesehatan pasien yang baru masuk ini.
Dokter Maksum berkata “Baik, kita lakukan Shok therapi ke 2.”
Aku bingung, emang ada berapa macam Shok terapi di bagian Bedah ini? Di textbook aku tidak pernah membaca istilah ini.
Dokter Maksum berkata kepada salah seorang Perawat yang bertugas “ Suster, siapkan kamar operasi saat ini juga. Kita harus membedah pasien ini!” dengan mengedipkan mata kanannya.

Mendengar kata Operasi, Abang Becak tadi tiba-tiba bangun dan hendak lari dari ruang Poliklinik Bedah. Para Perawat lainnya menenangkan sang pasien agar tenang dan duduk di kursi.
“Itulah Bud, shok therapi ke 2 bagi pasien yang main simulasi” Dokter Maksum sambil tersenyum dan keluar dari Ruangan Poli.
 Aku dan para perawat tertawa setelah Dokter keluar dari ruangan. Minggu itu aku mencatat ada 2 tipe Shok terapi yang manjur, bila menghadapi pasien yang main simulasi.



Penyakit Agogo


 Pagi itu Badrun berjalan melewati rumahku. Kami bertetangga dekat. Aku melihat ia berpakaian rapih dan wajahnya berseri-seri.
“Mau kemana hari ini, Drun?” aku menyapa Badrun.
“Aku mau ke Jakarta, mengantar bos” jawab Badrun
“Yo wis, selamat jalan Drun.” Aku memberi selamat kepadanya.
Badrun yang supir mobil pribadi bosnya Tn. Rahmat, sudah bekerja selama sekitar 2 tahun. Isterinya berjualan Rujak di rumahnya. Mereka mempunyai seorang putra berumur 1 tahun.
 Lima hari kemudian Badrun mendatangi rumahku untuk sekedar ngobrol.
“Ali, aku mau ngobrol. Kau ada waktu?” katanya kepadaku
“Boleh. Ada apa sih, tumben kau mau ngobrol dengan ku. Biasanya kau hanya lewat rumahku saja” aku meledeknya.
“Begini Li, aku ada masalah.” Kata Badrun.
“Masalah apa sih, sepertinya kau tak ada masalah. Kau sudah punya pekerjaan tetap, mau apa lagi?”
“Aku sakit kencing, Li.” Badrun memulai pembicaraanya.
“Kalau sakit, pergilah berobat ke dokter. Masa datang kepadaku” aku menjawab.
“Itulah yang aku mau tanyakan kepada kau. Ke dokter mana ya” sepertinya Badrun masih bingung.
“Di dekat sini kan ada Dokter Budi. Kau bisa berobat kepadanya” aku menjawab sekenanya.
“Emang kenapa kau sakit kencing?” aku bertanya kepada Badrun.
“Waktu aku mengantar bosku ke Jakarta, kami bermalam disuatu hotel. Ia memasukkan seorang wanita ke dalam kamarnya. Agar aku tidak melaporkan kepada isterinya, aku disuruh mengambil seorang wanitta yang tidak aku kenal. Bosku bilang wanita itu pandai memijit. Semula aku ragu, tetapi karena emang badanku pegel linu sehabis seharian berputar-putar kota Jakarta, akhirnya aku mau juga. Wanita itu masih muda dan tampak bersih. Kami masuk kamar khusus untuk para supir. Wanita itu Wati namanya, tampak seperti murid SMU. Pakaiannya bersih, tutur katanya halus dan pandai merayu. Begitu kami masuk kamar, ia langsung merayuku dan melepaskan celana panjangku. Selanjutnya aku main dengan Wati” tutur Badrun kepadaku.
“Astaga Drun kau tak ingat isterimu? Kok mau-maunya sih engkau bermain dengan wanita lain?” aku menyalahkan Badrun.
Badrun melanjutkan ceritanya “Tiga hari kemudian sepulang dari Jakarta, aku sakit ketika kencing dan celana dalamku ada bercak nanah warna kuning. Itulah ceritanya Li.”
---
Keesokan harinya kami bertemu lagi.
Badrun melaporkan kisah berobatnya kepada Dokter Budi kemarin sore.
“Apa kata dokter, Drun.”
Badrun menjawab “Kata Dokter aku sakit Agogo, Li. Aku tak paham Agogo itu apa? Setelah menyuntik bokongku, dokter memberi resep obat yang aku tebus di Apotik. Sekarang aku tidak sakit kencing lagi, tetapi aku masih harus menghabiskan obatku. Begitu kata dokter.”
“Kau tahu enggak sakit Agogo itu apa, Li” Badrun bertanya lagi.
Aku yang pernah membaca sebuah artikel kesehatan di sebuah majalah mengetahui bahwa Agogo itu suatu plesetan dari penyakit G.O., Gonorrhoe, Kencing nanah, penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin.
“Kau mengidap sakit Kencing nanah, Drun” aku menjawab.
“Hah…” Badrun terkejut mendengar jawabanku
“Wati itu tampaknya bersih, Li, kulitnya halus dan tidak kudisan. Masak aku kena penyakit begituan.” Badrun masih tidak percaya.
“Drun, kuman Agogo itu kecil, tak dapat dilihat dengan mata biasa. Kuman Agogo tidak sebesar bola tennis, sehingga kau tak dapat melihatnya pada diri Wati” aku menjawab, aku mendapat informasi ini dari artikel kesehatan yang pernah aku baca.
“Ya sudah, sekarang engkau sudah berobat. Kau sudah ditraktir oleh bosmu main dengan Wati, apakah bosmu mentraktitr juga biaya pengobatannya? aku bertanya kepada Badrun.
“Aku malu, Li minta penggantian ongkos berobat. Aku kapok main dengan wanita macam Wati itu. Sakit kencingnya itu lho, tak tertahankan” kata Badrun.
“Makanya Drun, jaman sekarang kita mesti eling lan waspodo. Jangan main tancap aja. Ingat isteri dan anak di rumah” aku menasihati Badrun temanku yang supir itu.



Jumat, 31 Juli 2009

Penipuan canggih

Sebagai seorang supir, aku bekerja di keluarga Pak Amir sejak 2 tahun yang lalu. Pak Amir berjualan barang kelontong disebuah pasar tradisionil di kota kami. Pak Amir dengan dibantu isterinya, Ibu Aminah setiap hari sibuk dengan urusan dagang. Mereka mempunyai putra satu-satunya, Umar yang sekarang ingin melanjutkan ke salah satu Perguruan Tinggi di kota Jakarta.
Biaya pendidikan di Perguruan Tinggi, apalagi di Jakarta memerlukan biaya yang cukup besar. Sebagai seorang supir, aku tidak mungkin menyekolahkan putra kami di Jakarta.
Suatu hari Pak Amir berkata kepadaku “Udin, kau antarlah Ibu ke Agent pemasangan iklan di jalan Asia. Kami ingin menjual mobil Kijang untuk membiayai sekolah si Umar. Biar nanti kami membeli mobil yang lebih murah harganya.”
Selesai mengantar Ibu Aminah memasang iklan di koran lokal, aku bertanya kepada Ibu Aminah “Bu, setelah Kijang ini laku terjual, bagaimana tugas saya. Apakah saya berhenti sebagai supir Ibu?”
“Jangan takut Din, sebelum kami mendapatkan mobil yang lain Paman si Umar akan memberi pinjaman mobil Kijang yang lain. Kamu tetap menjadi supir kami” jawab Ibu Aminah.
Seminggu kemudian datanglah 3 orang laki-laki ke rumah pak Amir. Mereka bermaksud membeli mobil Kijang yang diklankan pada koran lokal. Rupanya setelah tawar menawar harga mobil, memeriksa keadaan mobil dan surat-surat mobil, transaksi penjualanpun terjadi. Harga yang disepakati sebesar 60 juta rupiah. Mereka berjanji akan datang kembali keesokan harinya.
Dengan mengendarai mobil sedan warna putih bernomer polisi D, ketiga laki-laki itu mendatangi rumah Pak Amir. Setelah terjadi pembicaraan, tak lama kemudian Pak Amir meminta aku untuk mengantarkan Ibu Aminah bersama ketiga laki-laki itu ke salah satu Bank swasta papan atas di jalan Mawar. Aku melihat Ibu memasukkan Buku Tabungan Banknya ke dalam tasnya. Pak Amir tidak mengantar isterinya karena harus segera ke toko kelontongnya.
Rupanya Pak Amir dan Ibu Aminah menghendaki agar uang 60 juta hasil penjualan Kijangnya disetorkan langsung ke Rekening Tabungan Ibu Aminah. Permintaan Ibu Aminah ini telah disetujui oleh laki-laki berkumis, salah satu dari ketiga laki-laki itu. Mereka semuanya berperilaku sopan kepada Ibu Aminah.
Saat itu Bank banyak dikunjungi para nasabahnya. Memang Bank tersebut paling laris di kota kami. Laki-laki berkumis itu berkata kepada Ibu Aminah “Ibu tunggu saja, duduk di kursi, kami akan menyetorkan uangnya ke dalam Tabungan Ibu. Mari Bu, Buku Tabungannya.”
Ibu Aminah tanpa curiga sedikitpun menyerahkan Buku Tabungannya.
 Laki-laki berkumis itu segera mengambil antrian yang cukup panjang. Kawannya tak lama kemudian mendatangi laki-laki berkumis itu, mengadakan pembicaraan singkat, kemudian pergi meniggalkan ruangan Bank. Kawannya yang satu lagi tidak ikut masuk ke dalam Bank, rupanya menunggu di dalam sedan mereka. Sekitar sepuluh menit kemudian salah seorang kawanan ini mendatangi laki-laki berkumis yang sedang antri. Mereka berbicara sebentar dan tampak ada sesuatu yang diberikan kepada laki-laki berkumis tadi.
 Hampir satu jam kemudian, setelah mendapat gilirannya laki-laki berkumis itu mendatangi Ibu Aminah dan aku yang duduk di deretan kursi tunggu.
“Ini Bu, Buku Tabungannya. Sudah saya setorkan 60 juta atas nama Ibu.” sambil menyerahkan Buku tadi ke tangan Ibu Aminah.
Segera Ibu Aminah membuka helai demi helai dan mencari tanda cetakan Bank pada Buku Tabungannya.
“Benar sudah masuk 60 juta. Jadi saldo saya ada 64 juta rupiah” kata Ibu Aminah gembira.
“Mana surat-surat dan kunci mobil Kijangnya Bu. Kami akan kembali ke Bandung” kata laki-laki berkumis tadi.
Aku melihat Ibu Aminah menyerahkan semua apa yang diminta laki-laki berkumis itu. Aku sedih, mulai saat itu aku tidak dapat membawa mobil Kijang Ibu Aminah yang sudah terjual yang sudah aku rawat selama 2 tahun.
 Keesokan harinya Ibu Aminah dan aku kembali mendatangi Bak tersebut dengan maksud untuk mentranser uang sebanyak 10 juta untuk pembayaran uang masuk Perguruan Tinggi di Jakarta bagi putra, Umar. Setelah mengisi slip transver uang, Ibu Aminah mengikuti antrian yang pada saat itu tidak terlalu banyak nasabah. Sepuluh menit kemudian aku terkejut, ada teriakan dari arah loket penyetoran uang.
“Ya Tuhan. Aku tertipu. Aku tertipu.” teriak Ibu Aminah dengan histeris. Ibu Aminah terjatuh tak sadarkan diri. Ramailah suasana di ruangan Bank tadi. Beberapa Satpam segera menolong Ibu Aminah dan membaringkan Ibu Aminah di deretan kursi tunggu. Lima menit kemudian Ibu Aminah sadar dan minta diantar olehku menuju Loket transver uang.
Ibu Aminah bertanya kepada petugas Loket “Bagaimana ini bisa terjadi. Kemarin saya menjual Kijang dan uangnya sudah masuk ke Rekening Tabungan saya. Sekarang kok dikatakan uangnya tidak cukup?”
“Ibu ingin mentransver sejumlah sepuluh juta rupiah, tetapi Saldo Ibu yang terakhir di komputer kami hanya tinggal empat juta rupiah. Jadi tidak cukup untuk dana transver Ibu yang sepuluh juta rupiah ” kata petugas Bank.
“Tetapi menurut cetakan Buku Tabunghan saya Saldo saya ada enam puluh empat juta rupiah.”
“Cetakan ini dapat dari mana Bu, kok kodenya berbeda dengan kode Bank kami”.
“Kemarin saya menyerahkan kepada pembeli mobil Kijang kami untuk dicetakkan hasil setoran mereka sebesar enam puluh juta rupiah.”
“Wah Ibu sudah kena tipu. Rupanya mereka mencetak setoran itu dengan mesin cetak yang bukan milik Bank kami.”
Aku teringat kemarin salah satu laki-laki kawanan itu bolak-balik menghampiri laki-laki berkumis. Mungkin ia mengambil Buku Tabungan Ibu Aminah, mencetak hasil setoran 60 juta dan saldo terakhir 64 juta rupiah di dalam sedan putih mereka dan segera mengembalikan kepada laki-laki berkumis itu. Dilihat sepintas lalu, sepertinya laki-laki berkumis itu benar telah menyetorkan uang itu ke dalam Rekening Tabungan Ibu Aminah.
“Jadi bagaimana ini urusannya” kata Ibu Aminah kepada petugas loket
“Sebaiknya Ibu melaporkan kejadian ini kepada Polisi.”
 Kami pulang dengan lemes. Ibu Aminah lemes akibat tertipu, mobil hilang dan uang hasil penjualan mobil tidak ada. Aku lemes karena Ibu Aminah tidak dapat membeli mobil lain yang akan aku rawat. Aku akan menjadi pengangguran lagi. 



Pantai Jimbaran



Don’t die, before see Bali Island. Jangan mati, sebelum melihat Pulau Bali.
Begitu slogan orang Barat yang berbau promosi. Bahkan bagi sebagian orang Australia, Bali adalah tanah air nereka yang kedua. Bali dan Australia masing-masing mempunyai pantai yang indah, tetapi mengapa orang Australia saat liburan lebih suka pergi ke Bali yang dapat dijangkau selama 5 jam penerbangan pesawat? 
Bali mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak heran bila ada kesempatan, orang akan berusaha pergi melihat Pulau Bali, Pulau Kayangan. Wisman mancanegara menganggap pesiar di Bali lebih murah dari pada di negaranya sendiri. Shooping di Bali dirasa lebih murah bila memakai dolar ( USA / Australia ) untuk membeli produk dengan harga IDR ( Indonesian Rupiah ). Hal ini bertentangan denagn kemampuan wisman dalam negeri yang membeli produk disana dengan IDR mereka sebab kebanyakan produk telah dihargai dengan Dolar. Saya pernah melihat harga sepasang sandal jepit biasa US$8.0, di salah satu counter di Ngurah-Rai Airport, Denpasar pada tahun 2000. Kurs saat itu sekitar Rp. 7.000,- an. Dengan uang sebanyak itu berapa pasang sandal jepit kalau kita membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta? Bagi mereka US$8.0, no problem.
Sayang promosi yang gencar dilakukan oleh banyak pihak, tidak berdampak positip akibat ulah para teroris yang telah melakukan pemboman di Bali sampai dua kali. Hancurlah dunia pariwisata Bali, jumlah kunjungan yang merosot tajam, hotel-hotel menjadi sepi, bisnis para pedagang sekitar pantai menurun tajam, makin sulit penduduk lokal mencari nafkah. Pendapatan daerah asli pulau ini sebagian besar mengharapkan dari sektor pariwisata. Lebih parah lagi adanya travel warning oleh pemerintah USA dan Australia bagi warganegaranya untuk lebih berhati-hati bila ingin bepergian ke Bali.
Masih ada masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri yang tetap mengunjungi Bali, meskipun situasinya dianggap kurang aman. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan, kalau kita berbuat baik, kenapa mesti takut. Begitu alasan mereka.
------
Aku mengikuti rombongan mantan siswa SMA Negeri angkatan tahun 1966 di kota kami. Sejak 3 bulan sebelum keberangkatan rombongan yang berjumlah 44 orang ini telah mengadakan persiapan yang matang. Rombongan ini terdiri dari dari Ibu dan Bapak yang berusia diatas 55 tahun. Rombongan menggunakan sebuah Bus Pariwisata dari kota Bandung. Bus yang mewah ini berangkat dari depan Mesjid At Taqwa kota Cirebon pada pukul 05.00 WIB tanggal 21 September 2005. Direncanakan kami akan kembali di kota kami kembali pada tanggal 26 Desember 2005 sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 2005.
 Bus melintasi Pantai Utara Pulau Jawa, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan tiba di Surabaya sekitar pukul 01.30 dini hari akibat padatnya lalu lintas di Pantura, kami datang lebih lama dari perkiraan waktu tiba. Kami beristirahat di rumah Ibu Yati, isteri seorang mantan seorang Kapolres di daerah Surabaya.
Ketua rombonga kami, Pak Wihara mengadakan kontak melalui telepon genggam bahwa kami akan tiba di rumah Ibu Yati pada tengah malam, meskipun kami berjanji akan tiba sekitar pukul 19.00 untuk menghadiri resepsi pernikahan salah seorang putrinya.
“Selamat datang teman-temanku” Ibu Yati menyambut kedatangan kami.
“Sudah tiga puluh sembilan tahun kita tidak berjumpa sejak tahun 1966, tetapi teman-teman masih ingat kepadaku. Mari masuk, makan, minum sepuasnya dan beristirahatlah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Denpasar” Ibu Yati menerima kami dengan ramahnya. Maklum teman lama. Kami saling melepas kangen dan mengambil beberapa foto bersama.
 
Satu jam kemudian kami pamit kepada keluarga Ibu Yati dan bus menuju Pasir Putih dan tiba pagi hari sekitar jam 07.30 WIB. Bus kami berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam. Hanya berhenti bila mengisi Solar atau tiba di suatu tempat untuk makan atau buang air kecil yang biasanya salah satu pompa bensin. Dengan 2 orang Supir yang bertugas secara bergantian dan 3 orang awak bus Bus kami berjalan nonstop. Di salah satu Rumah Makan kami memanfaatkan fasilitas mandi dan toilet dengan bayaran Rp.2.000,-/orang. 
“Wah segernya mandi disini” aku berkata kepada Marku temanku.
“Betul Bud, airnya segar dan kita sudah 1 hari tidak mandi.he..he..” Marku menjawab.
 
Setelah sarapan rombongan menuju arah Timur menuju kota Ketapang, Banyuwangi, tempat yang paling Timur dari Pulau Jawa. Bus kami menyebrang dari Ketapang dengan menggunakan kapal feri melintas Selat Bali menuju kota Gilimanuk. Setiba di Gilimanuk, P. Bali, bus meluncur kearah utara P. Bali menuju Lovina Beach. Tengah hari kami tiba di pantai ini. Disini sebenarnya banyak ikan Lumba-lumba yang dapat kita lihat bila kita naik perahu motor ke tengah laut. Tidak seorangpun yang mau pergi ke tengah laut di tengah hari yang sangat panas. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Tengah, mengunjungi Danau Bedugul. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Selatan menuju Sanur. Kami bermalam dua malam di Hotel Abian Srama (*) untuk melepaskan lelah dan mandi sepuasnya.
 
Kesokan hari sebelum kami ramai-ramai berjalan kaki ke Pantai Sanur, setelah kami sarapan pagi di Hotel.
Marku temanku memesan secangkir kopi. Ketika ia akan membayar Kopinya ia terkejut karena disodori bon sebesar Rp. 10.000,- ( sekitar US$1.0 ).
“Kok mahal amat, harga Kopi di hotel ini. Di Pasar Sukowati ( pasar trdisionil diluar kota Denpasar), harganya hanya Rp.1.500,-”.
Aku menggodanya “Masih untung, kamu tidak ditagih US$4.0 harga normal secangkir Kopi di hotel ini. Mungkin itu sudah harga paket karena kita ini rombongan 44 orang yang nginap disini.”
Tampak kekesalan di wajah Marku, temanku.
 Kami mengambil beberapa foto bersama di pantai Sanur ini. Keadaan berawan sehingga kami tidak dapat melihat Sunrise matahari terbit dan matahari tenggelam, Sunset di pantai Sanur yang indah ini. Sepanjang hari banyak para wisman dalam negeri dan luar negeri berjemur di pantai sanur ini.
 Rombongan mengunjungi objek-objek pariwisata lain seperti Benoa Beach. Di pantai ini kami tiba tengah hari. Ada 2 rombongan masing-masing 10 orang yang menyewa perahu motor dengan bayaran Rp. 10.000,- per orang untuk menuju ke suatu tempat penangkaran Penyu Bali. Di tengah perjalanan perahu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan para wisman ini melihat dasar laut yang dangkal melalui alas perahu yang terbuat dari fiber glass yang transparan sehingga kami dapat melihat rumput laut yang hijau bergoyang-goyang oleh arus air laut, ikan-ikan berwarna-warni. Tiba di tempat penangkaran Penyu Bali, kami melihat banyak Tukik ( anak Penyu ) dan kami berfoto bersama. Ada beberapa Ibu yang ingin berfoto ketika mereka dalam posisi menduduki salah satu Penyu yang terbesar. Wah kocaknya, karena sang Penyu ogah diduduki manusia. Ia bergerak-gerak dan penumpangnya berjatuhan. Wah heboh….Geerrr. tertawa semua. Udara panas dan disana ada penjual Kelapa muda. Kami minum masing-masing sebuah Kelapa muda yang dihargai Rp. 10.000,-/buah yang tidak dapat ditawar. 
“Lima ribu aja ya.” Nur menawar
“Tidak bisa Bu, kami juga membeli dari tempat lain dengan harga yang mahal” Ibu penjual Kelapa itu menolak tawaran Nur.
Ketika air Kelapa habis tersedot, kami minta Kelapa dibelah dengan golok besar dan tajam. Kami menikmati daging buah Kelapa muda yang kenyal dan nikmat itu.
Kami kembali ke Pantai dan banyak para turis yang bermain ski air yang ditarik kapal motor dengan kecepatan tinggi. Ada juga yang naik Parasut yang di tarik kapal motor sehingga parasut yang membawa seorang penumpang itu naik dan terbang tinggi di udara. Yang lain menaiki perahu karet, bertiga mereka ( dua penumpang dan satu instruktur pendamping ) yang ditarik oleh kapal motor dengan kecepatan sangat tinggi sehingga akhirnya perahu karet ini dapat naik ke udara, seperti ikan terbang, flying fish. Terdengar teriakan-terikan para penumpangnya yang kaget karena tiba-tiba perahu karet yang mereka tumpangi terbang diatas permukaan air laut Benoa beach.
Keesokan harinya kami pindah Hotel, kami menginap semalam di Hotel Ratna (*) di daerah Kuta. Setelah check-in kami ada acara bebas. Kesempatan ini aku dan beberapa teman berjalan kaki menuju Monoment Bom Bali I di daerah Legian, Kuta. Kami sempat mengambil foto-foto yang diambil secara bergantian. Kamera digital Nikon Coolpix7900-ku sangat bermanfaat untuk mengabadikan moment ini. Kami merasa sedih dan mengutuk keras para teroris yang telah melakukan pemboman di daerah ini. Banyak korban yang meninggal dan luka-luka, Bali makin sepi dikunjungi wisman. Nama-nama para korban diabadikan di di dinding Monomen ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Di dekat Hotel Ratna, ada sebuah Toko “Jogger” yang menjual pakaian, T-Shirt, gantungan kunci dan lain-lain produk. Mutu yang lebih bagus dari pada toko-toko lain, Jogger memasang tarif harga yang lebih mahal. Banyak kalimat-kalimat yang menggelitik yang melekat pada T-Shirt, gantungan kunci dll. Yang unik adalah jam buka toko yang semaunya saja. Toko seharusnya dibuka pada pukul 10.00, calon pembali sudah berkumpul banyak di depan pintu masuk. Eh….para petugas toko malah membiarkan mereka menunggu lama dan pada pukul 12.00 tengah hari barulah toko dibuka dan para calon pembeli saling berebut masuk. Mungkin mereka senang melihat para pengunjung berdesak-desakan berebut masuk ke toko mereka.
“Sialan bener nih toko. Kami disuruh menunggu berjam-jam untuk masuk” kata seorang Bapak sambil menuntun putra dan putrinya masuk ke toko Jogger.
“Siapa suruh mau datang ke toko ini”, seorang gadis di belakangnya berbisik kepada temannya. Mereka ketawa cekikian, mentertawai orang lain, padahal mereka sendiri pun sudah antri berjam-jam untuk sekedar membeli T-Shirt atau Jean yang ketat, kesukaan anak-anak muda.
Juga ada ketentuan membeli produk mereka yang di beri label Jogger: setiap pembeli hanya diperbolehkan membeli sebanyak 6 buah untuk T-Shirt, 3 buah untuk produk lain, dll dengan tujuan agar pengunjung yang lain pun dapat membelinya. Jadi tidak diperkenankan memborong semua barang. Pembayaran dengan Kartu Kreditpun tidak ditolak. Ada Loket pembayaran yang khusus untuk pembayaran dengan Kartu Kredit ini. 
Makin dipermainkan, makin banyak pengunjung Toko Jogger ini. Inilah uniknya. Antri? Siapa takut! Aku yang masuk paling akhir hanya geleng-geleng kepala saja. Penasaran tidak kebagian T-shirt, aku membeli 2 buah untuk putriku, masing-masing seharga Rp. 59.900,-. Kalau di toko lain mungkin setengah harganya. Kalau di Pasar Sukowati tentu harganya paling murah, hanya sekitar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- dengan keterampilan pandai menawar seperti kaum Ibu belanja. Disini pembeli boleh memborong barang yang diinginkan asal cukup uang untuk membayarnya. Keunikan Pasar Sukowati adalah lokasinya yang dipinggir jalan keluar dari kota Denpasar menuju Negara dan Gilimanuk, tempat untuk menyebrang ke P. Jawa. Mau tidak mau setiap mobil / bus harus melewati pasar Sukowati. Pasar ini mirip pasar Tegalgubug, di daerah Arjawinangun, Kabupaten Cirebon yang konon pasar pakaian murah terbesar se Asean (?).
Kami mengunjungi GWK ( Garuda Wisnu Kencana ) di daerah Uluwatu. Tiba di tempat sekitar pukul 15.00 WITA ( WIB + 1jam ). Puluhan Bus pariwisata diparkir di pelataran parkir yang luas. Ketika kami tiba sudah banyak rombongan dari tempat lain antara lain dari suatu pabrik elektronik di Surabaya. Peserta rombongan puluhan Bus mereka disambut dengan Tari Barong dan lain-lain atraksi dan kamipun larut dengan iring-iringan mereka  
Kami menuju suatu bukit dimana terletak GWK. Suatu patung Dewa Wisnu yang terbuat dari lempengan logam. Konon dibuat oleh para seniman di Bandung. Patung ini masih perlu disempurnakan, karena masih belum selesai dan masih menunggu sponsor. Di bukit lain tampak patung seekor Burung Garuda. Disana dipamerkan suatu maket / contoh GWK dalam skala ukuran yang lebih kecil setinggi 1,5 meter. Meskipun belum selesai tetapi aku melihat tinggi patung Dewa Wisnu ini puluhan meter dari permukaan tanah. Dari bukit yang tinggi ini kami dapat melihat pemandangan yang indah disekitarnya. Pemilihan lokasi GWK ini rupanya sudah diteliti matang-matang oleh si pembuatnya.
Puas mengambil foto-foto, kami menuruni bukit untuk b.a.k, di toilet yang terjaga bersih, cukup air mengalir, berbau harum, free of charge alias gratis. Keluar dari toilet aku melihat banyak orang berkerumun di satu tempat. Ternyata itu adalah penjual Es Cendol kesukaanku.
“Berapa harganya segelas, pak?” aku bertanya.
“Opat ribu wae” jawab seorang pemuda sekitar 25 tahunan.
Kok pakai bahasa Sunda sih. Ternyata ia dan kawan-lawannya berasal dari kota Tasikmalaya.
Merasa bisa berbahasa Sunda, aku berkata “Nyuhunkeun deui esna sakedik.” ( minta esnya sedikit lagi ) kepada salah satu penjual.
Tanpa ragu sedikitpun ia memberikan es batu sebanyak yang aku mau, tanpa harga ekstra. Bila satu bahasa maka semuanya bisa diatur. KKN nih!
 
Kami juga mengujungi Tanah Lot, dimana ada Pura yang lokasinya ditepi Pantai. Semua objek pariwisata banyak pengunjuingnya. Banyak anak-anak muda seusia delapan - sepuluh tahunan mereka menjajakan Foto-foto Tanah Lot dan lain-lain dengan harga Rp. 15.000,- / untuk sepuluh foto ukuran Post card dan dengan mutu cetak yang bagus. Aku membelinya untuk kenang-kenangan. Kami tidak pernah melihat seorang pengemispun di Pulau Bali ini.
Nina, seorang guide tour lokal dari sebuah event organizer yang bekerja sama dengan pemilik Bus Pariwisata yang kami pergunakan, membawa kami ke sebuah rumah tempat menyewakan pakaian adat Bali dan berfoto secara perseorangan atau berkelompok. Rumah ini berada di suatu Gang di suatu jalan raya di kota Denpasar. Aku difoto ketika berpakaian adat Bali dari seorang Raja ( kata petugas yang membantuku berpakaian ). Foto-foto yang dibuat sudah tiba di Hotel kami tempat bermalam pada sore harinya. Suatu service cetakan yang baik.
 Sepanjang perjalanan di Pulau Bali, rombongan kami banyak menemui upacara Odalan ( ulang tahun desa / keluarga ). Upacara bakar mayat ( Ngaben ) kami tidak menjumpai, kerena diadakan pada waktu tertentu mengingat biayanya sangat mahal. Begitu kata pak Wayan Wisnu, guide tour kami yang berdomisili di kota Denpasar.
 
Kami juga mengunjungi suatu tempat bernama Celuk, di daerah Sukowati. Kota ini terkenal dengan perhiasan Emas dan Perak murni. Di Toko Bali Gold, kami melihat-lihat. Saya sempat membeli sepasang Cincin Perak untuk isteriku dan aku sendiri dengan huruf initial name masing-masing di cincin Perak itu. Untuk hadiah ulang tahun putriku pada bulan Desember 2005 aku membeli sebuah Cincin mas 23 K yang bermata Mutiara sebesar butiran buah Jagung yang konon hasil produksi Mutiara di P. Lombok. Untuk putraku, aku sudah menyiapkan sebuah cincin bermata Batu Blue Safire yang aku beli dalam kunjungan kami setahun yang lalu ke P. Lombok. Semuanya itu kubayar dengan Kartu Kredit Visa. Cincin itu akan aku bawa dalam kunjungan kami ke Sydney, Australia, pada medio Desember 2005, ketika kami akan menghadiri Wisuda putra kami yang lulus sebagai Dokter di salah satu Universitas di kota Sydney.
 Istana Presiden Tampak Siring juga kami kunjungi. Ketika kami tiba disana sekitar pukul 16.00 WITA. Kami tidak diperkenankan masuk ke dalam halaman dalam Istana, hanya diperbolehkan masuk sampai di halaman depan. Kami sempat berfoto bersama dua orang Petugas Keamanan Istana. Dari kejauhan kami melihat banyak Rusa yang sedang merumput di halaman di depan bangunan Istana.
Suatu malam hari menjelang kepulangan kami kembali ke P. Jawa, kami makan malam bersama di Jimbaran Beach ( Pantai Jimbaran ). Dinner ini merupakan paket Pariwisata yang kami dapatkan dari trip kami ke P. Bali. Kami memasuki halaman belakang dari suatu Rumah Makan. Halaman ini langsung berada di tepi pantai Jimbaran. Ada banyak Rumah Makan sepanjang pantai ini. Ratusan bus dan mobil pribadi di parkir di halaman parkir. Jalan raya yang hanya dapat dilalui oleh 2 mobil kecil sehingga sukar bila 2 bus saling berpapasan. Salah satu Bus mesti mengalah memberi jalan bagi Bus lainnya.
Ketika kami datang sekitar pukul 18.15 WITA, suasana pantai belum beguitu ramai. Setengah jam kemudian seluruh kursi di seluruh Rumah makan sudah terisi. Sepertinya kami harus pesan tempat, bila ingin Dinner di pantai Jimbaran.
Kami mengharapkan sekali agar malam terakhir ini kami dapat menikmati Sunset di panatai Jimbaran. Lagi-lagi kami kecewa, karena awan hitam mendung banyak menghalangi sinar matahari yang akan masuk keperaduannya. Kami berfoto bersama ketika hidangan sudah berada di meja masing-masing. Satu meja untuk delapan orang. Nyala lilin-lilin menambah semaraknya suasana di pantai Jimbaran ini. Baru sekali itu aku menikmati Dinner di pantai Jimbaran. Sayang isteriku tidak berada disampingku, karena urusan kantornya tidak mengijinkan mengikuti Trip kami ini.
Hidangan yang kami nikmati malam itu berupa: sebakul Nasi putih hangat, Ikan-ikan bakar ukuran kecil, Kangkung Pelecing ( ca kangkung yang sedikit pedas yang konon sayur Kangkung ini di datangkan dari P. Lombok ), Tahu, Tempe goreng, Sambel Terasi dan segelas Es Sirop. Nikmat juga Dinner ini. Angin berhembus lembut di pantai Jimbaran. Gelak tertawa saling bersahutan. Terasa aman dan damai. Kami menikmati sekali moment itu.
“Kita belum tentu bisa Dinner bersama lagi dalam kondisi yang sama seperti malam ini, Wi” aku berkata kepada Wihara yang duduk di sampingku.
“Betul Bud, mungkin kita hanya sekali ini bisa makan bersama. Lain kali mungkin jumlah teman tidak selengkap malam ini” jawabnya.
 
Keesokan harinya kami setelah chec-out hotel Ratna menuju Pasar Sukowati. Semua teman Ibu dan Bapak turun dari Bus. Turun hujan cukup besar tidak menghalangi mereka masuk ke dalam Gedung Pasar yang besar ini. Banyak yang memborong pakaian atau sekedar gantungan kunci. Padahal di kota kami ada banyak barang yang dijual dengan mutu yang sama. Mereka rela bersusah payah untuk belanja, katanya untuk oleh-oleh bagi yang di rumah.
Marku, temanku yang pecandu Kopi, memesan segelas Kopi di salah satu warung dan menikmati Kopi dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga secangkir Kopi di Hotel berbintang satu. Wajahnya cerah, secerah sinar matahari yang muncul kemudian setelah hujan reda di Pasar Sukowati. Aku memesan Mie instan kuah hangat ditambah sebutir Telur Ayam yang dilahap nikmat pada saat udara dingin akibat turun hujan di daerah Sukowati ini.
Bus meluncur ke Gilimanuk untuk menyebrangi Selat Bali dan kembali ke P. Jawa setelah melewati Ketapang di ujung Timur P. Jawa. Kami berjalan melewati pantai Selatan P. Jawa. Kami menuju Jember, Lumajang dan Blitar. Di kota Blitar mobil kami di parkir di suatu tempat khusus parkir Bus. Kami mandi di rumah-rumah penduduk yang menyewakan kamar mandinya bagi para pejiarah makam Bung Karno. Dengan Tarif Rp.2.000,- kami dapat mandi sepuasnya. Makan pagi sekitar pukul 10.00 WIB berupa nasi Pecel, Rempeyek Kacang dan segelar air Teh hangat seharga Rp. 3.000,- sungguh nikmat. Badan segar sehabis mandi, perut kenyang, harga cukup terjangkau, kami bersiap-siap naik becak menuju Museum Bung Karno dan Makam Bung Karno.
Aku naik becak berdua dengan Marku, becak lain diisi isteri Marku dan anak gadisnya. Dengan tarif Rp. 10.000,- pulang pergi ke tempat asal, pelataran parkir Bus, kami mengunjungi Museum Bung Karno.
Musium Bung Karno sebagai Proklamator negera kita terletak di dalam sebuah rumah yang besar. Bangunan yang kuno ini mempunyai halaman yang luas dan dihuni oleh kerabat dekat Bung Karno. Semua ruangan bangunan diisi dengan perabot rumah tangga, lukisan dll barang. Kami dimintakan berfoto instan Polaroid dimana saja dengan membayar Rp. 10.000,- dan kami diperbolehkan untuk melihat-lihat musium Bung Karno sepuasnya.
Di halamanan belakang samping bangunan, diparkir sebuah mobil Mercedes warna hitam keluaran puluhan tahun yang lalu. Tampaknya mobil ini sudah tidak pernah dipergunakan lagi. Mobil yang mempunyai makna bersejarah ini tampak anggun dan aku sempat berfoto di samping Mercy hitam ini.
Kami menuju Makam Bung Karno dengan naik becak yang dengan setia menunggu kami. Kompleks Makam yang sedang dipugar ini cukup bagus. Di halaman depan tampak berdiri beberapa bangunan bergaya modern dan ada kolam air mancur yang belum selesai. Dibelakang bagunan ini tampak sebuah halaman yang luas. Ditengah halaman ini berdiri sebuah bangunan beratap gaya Jawa. Tampak ada 3 makam. Di tengah adalah Makam Bung Karno dan di sisi kiri dan kanan adalah Makam Ibunda dan Ayahanda Bung Karno. Makam ini terbuat dari bahan yang bagus, lantai makam berupa keramik yang licin mengkilap.
Setelah semua peserta berkumpul di dalam Bus, kami lenjutkan perjalanan pulang. Bus menuju kota Yogya kemudian kami tiba di kota kecil Wates pada pukul 18.30 WIB. Bus berhenti di Rumah Makan Ambarketawang, satu Rumah Makan yang besar. Kami sempat mandi dan Dinner makanan khas Jawa Tengah. Sistim pembayaran yang khas pula. Rp. 10.000,- makan prasmanan sepuasnya. Selesai Dinner, kami masuk ke Toko yang menjual bermacam-macam Snack di sebelah Rumah Makan ini. Beban Bus kami bertambah berat karena hampir semua penumpang memborong makanan / Snack yang dijual disini.
Bus melanjutkan perjalanan ke kota Gombong, Puwokerto, Prupuk, Ketanggungan, Losari dan masuk kota Cirebon. Jalan raya di daerah Selatan Jawa tidak sebaik jalan raya berhotmix di Pantai Utara Jawa. Kami tiba kembali di depan Mesjid At Taqwa Cirebon pada tanggal 26 September 2005 pukul 02.30 dini hari, tempat Start dan Finish Trip kami ke P. Bali. Seperti ketika Start, kami saat Finish bersama-sama memanjatkan doa dan bersyukur bahwa kami dapat selamat diperjalanan dan tiba kembali di kota kami dengan selamat pula, baik para penumpang, krew Bus dan Busnya sendiri yang tidak pernah mogok, meskipun selama perjalanan lebih banyak mesinnya hidup dari pada berhenti.
5 hari setelah kami tiba di Cirebon, kami mendengar melalui siaran TV bahwa pada tanggal 1 Oktober 2005 malam hari, terjadi ledakan Bom di Pantai Jimbaran dan Pantai Kuta ( Raja’s Bar & Restaurant, Kafe Menage dan Kafe Nyoman ). 22 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Kami telah dilindungiNya dan terhindari dari bencana maut itu. Kami baru saja meninggalkan Pantai Jimbaran. Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kepada Tuhan. Para peserta Trip ini saling berkirim SMS menyatakan puji syukur kepada Tuhan yang telah melindungi kami dari ledakan Bom Bali II dan mengutuk keras para pelakunya.-