Jumat, 31 Juli 2009

Penipuan canggih

Sebagai seorang supir, aku bekerja di keluarga Pak Amir sejak 2 tahun yang lalu. Pak Amir berjualan barang kelontong disebuah pasar tradisionil di kota kami. Pak Amir dengan dibantu isterinya, Ibu Aminah setiap hari sibuk dengan urusan dagang. Mereka mempunyai putra satu-satunya, Umar yang sekarang ingin melanjutkan ke salah satu Perguruan Tinggi di kota Jakarta.
Biaya pendidikan di Perguruan Tinggi, apalagi di Jakarta memerlukan biaya yang cukup besar. Sebagai seorang supir, aku tidak mungkin menyekolahkan putra kami di Jakarta.
Suatu hari Pak Amir berkata kepadaku “Udin, kau antarlah Ibu ke Agent pemasangan iklan di jalan Asia. Kami ingin menjual mobil Kijang untuk membiayai sekolah si Umar. Biar nanti kami membeli mobil yang lebih murah harganya.”
Selesai mengantar Ibu Aminah memasang iklan di koran lokal, aku bertanya kepada Ibu Aminah “Bu, setelah Kijang ini laku terjual, bagaimana tugas saya. Apakah saya berhenti sebagai supir Ibu?”
“Jangan takut Din, sebelum kami mendapatkan mobil yang lain Paman si Umar akan memberi pinjaman mobil Kijang yang lain. Kamu tetap menjadi supir kami” jawab Ibu Aminah.
Seminggu kemudian datanglah 3 orang laki-laki ke rumah pak Amir. Mereka bermaksud membeli mobil Kijang yang diklankan pada koran lokal. Rupanya setelah tawar menawar harga mobil, memeriksa keadaan mobil dan surat-surat mobil, transaksi penjualanpun terjadi. Harga yang disepakati sebesar 60 juta rupiah. Mereka berjanji akan datang kembali keesokan harinya.
Dengan mengendarai mobil sedan warna putih bernomer polisi D, ketiga laki-laki itu mendatangi rumah Pak Amir. Setelah terjadi pembicaraan, tak lama kemudian Pak Amir meminta aku untuk mengantarkan Ibu Aminah bersama ketiga laki-laki itu ke salah satu Bank swasta papan atas di jalan Mawar. Aku melihat Ibu memasukkan Buku Tabungan Banknya ke dalam tasnya. Pak Amir tidak mengantar isterinya karena harus segera ke toko kelontongnya.
Rupanya Pak Amir dan Ibu Aminah menghendaki agar uang 60 juta hasil penjualan Kijangnya disetorkan langsung ke Rekening Tabungan Ibu Aminah. Permintaan Ibu Aminah ini telah disetujui oleh laki-laki berkumis, salah satu dari ketiga laki-laki itu. Mereka semuanya berperilaku sopan kepada Ibu Aminah.
Saat itu Bank banyak dikunjungi para nasabahnya. Memang Bank tersebut paling laris di kota kami. Laki-laki berkumis itu berkata kepada Ibu Aminah “Ibu tunggu saja, duduk di kursi, kami akan menyetorkan uangnya ke dalam Tabungan Ibu. Mari Bu, Buku Tabungannya.”
Ibu Aminah tanpa curiga sedikitpun menyerahkan Buku Tabungannya.
 Laki-laki berkumis itu segera mengambil antrian yang cukup panjang. Kawannya tak lama kemudian mendatangi laki-laki berkumis itu, mengadakan pembicaraan singkat, kemudian pergi meniggalkan ruangan Bank. Kawannya yang satu lagi tidak ikut masuk ke dalam Bank, rupanya menunggu di dalam sedan mereka. Sekitar sepuluh menit kemudian salah seorang kawanan ini mendatangi laki-laki berkumis yang sedang antri. Mereka berbicara sebentar dan tampak ada sesuatu yang diberikan kepada laki-laki berkumis tadi.
 Hampir satu jam kemudian, setelah mendapat gilirannya laki-laki berkumis itu mendatangi Ibu Aminah dan aku yang duduk di deretan kursi tunggu.
“Ini Bu, Buku Tabungannya. Sudah saya setorkan 60 juta atas nama Ibu.” sambil menyerahkan Buku tadi ke tangan Ibu Aminah.
Segera Ibu Aminah membuka helai demi helai dan mencari tanda cetakan Bank pada Buku Tabungannya.
“Benar sudah masuk 60 juta. Jadi saldo saya ada 64 juta rupiah” kata Ibu Aminah gembira.
“Mana surat-surat dan kunci mobil Kijangnya Bu. Kami akan kembali ke Bandung” kata laki-laki berkumis tadi.
Aku melihat Ibu Aminah menyerahkan semua apa yang diminta laki-laki berkumis itu. Aku sedih, mulai saat itu aku tidak dapat membawa mobil Kijang Ibu Aminah yang sudah terjual yang sudah aku rawat selama 2 tahun.
 Keesokan harinya Ibu Aminah dan aku kembali mendatangi Bak tersebut dengan maksud untuk mentranser uang sebanyak 10 juta untuk pembayaran uang masuk Perguruan Tinggi di Jakarta bagi putra, Umar. Setelah mengisi slip transver uang, Ibu Aminah mengikuti antrian yang pada saat itu tidak terlalu banyak nasabah. Sepuluh menit kemudian aku terkejut, ada teriakan dari arah loket penyetoran uang.
“Ya Tuhan. Aku tertipu. Aku tertipu.” teriak Ibu Aminah dengan histeris. Ibu Aminah terjatuh tak sadarkan diri. Ramailah suasana di ruangan Bank tadi. Beberapa Satpam segera menolong Ibu Aminah dan membaringkan Ibu Aminah di deretan kursi tunggu. Lima menit kemudian Ibu Aminah sadar dan minta diantar olehku menuju Loket transver uang.
Ibu Aminah bertanya kepada petugas Loket “Bagaimana ini bisa terjadi. Kemarin saya menjual Kijang dan uangnya sudah masuk ke Rekening Tabungan saya. Sekarang kok dikatakan uangnya tidak cukup?”
“Ibu ingin mentransver sejumlah sepuluh juta rupiah, tetapi Saldo Ibu yang terakhir di komputer kami hanya tinggal empat juta rupiah. Jadi tidak cukup untuk dana transver Ibu yang sepuluh juta rupiah ” kata petugas Bank.
“Tetapi menurut cetakan Buku Tabunghan saya Saldo saya ada enam puluh empat juta rupiah.”
“Cetakan ini dapat dari mana Bu, kok kodenya berbeda dengan kode Bank kami”.
“Kemarin saya menyerahkan kepada pembeli mobil Kijang kami untuk dicetakkan hasil setoran mereka sebesar enam puluh juta rupiah.”
“Wah Ibu sudah kena tipu. Rupanya mereka mencetak setoran itu dengan mesin cetak yang bukan milik Bank kami.”
Aku teringat kemarin salah satu laki-laki kawanan itu bolak-balik menghampiri laki-laki berkumis. Mungkin ia mengambil Buku Tabungan Ibu Aminah, mencetak hasil setoran 60 juta dan saldo terakhir 64 juta rupiah di dalam sedan putih mereka dan segera mengembalikan kepada laki-laki berkumis itu. Dilihat sepintas lalu, sepertinya laki-laki berkumis itu benar telah menyetorkan uang itu ke dalam Rekening Tabungan Ibu Aminah.
“Jadi bagaimana ini urusannya” kata Ibu Aminah kepada petugas loket
“Sebaiknya Ibu melaporkan kejadian ini kepada Polisi.”
 Kami pulang dengan lemes. Ibu Aminah lemes akibat tertipu, mobil hilang dan uang hasil penjualan mobil tidak ada. Aku lemes karena Ibu Aminah tidak dapat membeli mobil lain yang akan aku rawat. Aku akan menjadi pengangguran lagi. 



Pantai Jimbaran



Don’t die, before see Bali Island. Jangan mati, sebelum melihat Pulau Bali.
Begitu slogan orang Barat yang berbau promosi. Bahkan bagi sebagian orang Australia, Bali adalah tanah air nereka yang kedua. Bali dan Australia masing-masing mempunyai pantai yang indah, tetapi mengapa orang Australia saat liburan lebih suka pergi ke Bali yang dapat dijangkau selama 5 jam penerbangan pesawat? 
Bali mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak heran bila ada kesempatan, orang akan berusaha pergi melihat Pulau Bali, Pulau Kayangan. Wisman mancanegara menganggap pesiar di Bali lebih murah dari pada di negaranya sendiri. Shooping di Bali dirasa lebih murah bila memakai dolar ( USA / Australia ) untuk membeli produk dengan harga IDR ( Indonesian Rupiah ). Hal ini bertentangan denagn kemampuan wisman dalam negeri yang membeli produk disana dengan IDR mereka sebab kebanyakan produk telah dihargai dengan Dolar. Saya pernah melihat harga sepasang sandal jepit biasa US$8.0, di salah satu counter di Ngurah-Rai Airport, Denpasar pada tahun 2000. Kurs saat itu sekitar Rp. 7.000,- an. Dengan uang sebanyak itu berapa pasang sandal jepit kalau kita membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta? Bagi mereka US$8.0, no problem.
Sayang promosi yang gencar dilakukan oleh banyak pihak, tidak berdampak positip akibat ulah para teroris yang telah melakukan pemboman di Bali sampai dua kali. Hancurlah dunia pariwisata Bali, jumlah kunjungan yang merosot tajam, hotel-hotel menjadi sepi, bisnis para pedagang sekitar pantai menurun tajam, makin sulit penduduk lokal mencari nafkah. Pendapatan daerah asli pulau ini sebagian besar mengharapkan dari sektor pariwisata. Lebih parah lagi adanya travel warning oleh pemerintah USA dan Australia bagi warganegaranya untuk lebih berhati-hati bila ingin bepergian ke Bali.
Masih ada masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri yang tetap mengunjungi Bali, meskipun situasinya dianggap kurang aman. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan, kalau kita berbuat baik, kenapa mesti takut. Begitu alasan mereka.
------
Aku mengikuti rombongan mantan siswa SMA Negeri angkatan tahun 1966 di kota kami. Sejak 3 bulan sebelum keberangkatan rombongan yang berjumlah 44 orang ini telah mengadakan persiapan yang matang. Rombongan ini terdiri dari dari Ibu dan Bapak yang berusia diatas 55 tahun. Rombongan menggunakan sebuah Bus Pariwisata dari kota Bandung. Bus yang mewah ini berangkat dari depan Mesjid At Taqwa kota Cirebon pada pukul 05.00 WIB tanggal 21 September 2005. Direncanakan kami akan kembali di kota kami kembali pada tanggal 26 Desember 2005 sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 2005.
 Bus melintasi Pantai Utara Pulau Jawa, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan tiba di Surabaya sekitar pukul 01.30 dini hari akibat padatnya lalu lintas di Pantura, kami datang lebih lama dari perkiraan waktu tiba. Kami beristirahat di rumah Ibu Yati, isteri seorang mantan seorang Kapolres di daerah Surabaya.
Ketua rombonga kami, Pak Wihara mengadakan kontak melalui telepon genggam bahwa kami akan tiba di rumah Ibu Yati pada tengah malam, meskipun kami berjanji akan tiba sekitar pukul 19.00 untuk menghadiri resepsi pernikahan salah seorang putrinya.
“Selamat datang teman-temanku” Ibu Yati menyambut kedatangan kami.
“Sudah tiga puluh sembilan tahun kita tidak berjumpa sejak tahun 1966, tetapi teman-teman masih ingat kepadaku. Mari masuk, makan, minum sepuasnya dan beristirahatlah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Denpasar” Ibu Yati menerima kami dengan ramahnya. Maklum teman lama. Kami saling melepas kangen dan mengambil beberapa foto bersama.
 
Satu jam kemudian kami pamit kepada keluarga Ibu Yati dan bus menuju Pasir Putih dan tiba pagi hari sekitar jam 07.30 WIB. Bus kami berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam. Hanya berhenti bila mengisi Solar atau tiba di suatu tempat untuk makan atau buang air kecil yang biasanya salah satu pompa bensin. Dengan 2 orang Supir yang bertugas secara bergantian dan 3 orang awak bus Bus kami berjalan nonstop. Di salah satu Rumah Makan kami memanfaatkan fasilitas mandi dan toilet dengan bayaran Rp.2.000,-/orang. 
“Wah segernya mandi disini” aku berkata kepada Marku temanku.
“Betul Bud, airnya segar dan kita sudah 1 hari tidak mandi.he..he..” Marku menjawab.
 
Setelah sarapan rombongan menuju arah Timur menuju kota Ketapang, Banyuwangi, tempat yang paling Timur dari Pulau Jawa. Bus kami menyebrang dari Ketapang dengan menggunakan kapal feri melintas Selat Bali menuju kota Gilimanuk. Setiba di Gilimanuk, P. Bali, bus meluncur kearah utara P. Bali menuju Lovina Beach. Tengah hari kami tiba di pantai ini. Disini sebenarnya banyak ikan Lumba-lumba yang dapat kita lihat bila kita naik perahu motor ke tengah laut. Tidak seorangpun yang mau pergi ke tengah laut di tengah hari yang sangat panas. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Tengah, mengunjungi Danau Bedugul. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Selatan menuju Sanur. Kami bermalam dua malam di Hotel Abian Srama (*) untuk melepaskan lelah dan mandi sepuasnya.
 
Kesokan hari sebelum kami ramai-ramai berjalan kaki ke Pantai Sanur, setelah kami sarapan pagi di Hotel.
Marku temanku memesan secangkir kopi. Ketika ia akan membayar Kopinya ia terkejut karena disodori bon sebesar Rp. 10.000,- ( sekitar US$1.0 ).
“Kok mahal amat, harga Kopi di hotel ini. Di Pasar Sukowati ( pasar trdisionil diluar kota Denpasar), harganya hanya Rp.1.500,-”.
Aku menggodanya “Masih untung, kamu tidak ditagih US$4.0 harga normal secangkir Kopi di hotel ini. Mungkin itu sudah harga paket karena kita ini rombongan 44 orang yang nginap disini.”
Tampak kekesalan di wajah Marku, temanku.
 Kami mengambil beberapa foto bersama di pantai Sanur ini. Keadaan berawan sehingga kami tidak dapat melihat Sunrise matahari terbit dan matahari tenggelam, Sunset di pantai Sanur yang indah ini. Sepanjang hari banyak para wisman dalam negeri dan luar negeri berjemur di pantai sanur ini.
 Rombongan mengunjungi objek-objek pariwisata lain seperti Benoa Beach. Di pantai ini kami tiba tengah hari. Ada 2 rombongan masing-masing 10 orang yang menyewa perahu motor dengan bayaran Rp. 10.000,- per orang untuk menuju ke suatu tempat penangkaran Penyu Bali. Di tengah perjalanan perahu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan para wisman ini melihat dasar laut yang dangkal melalui alas perahu yang terbuat dari fiber glass yang transparan sehingga kami dapat melihat rumput laut yang hijau bergoyang-goyang oleh arus air laut, ikan-ikan berwarna-warni. Tiba di tempat penangkaran Penyu Bali, kami melihat banyak Tukik ( anak Penyu ) dan kami berfoto bersama. Ada beberapa Ibu yang ingin berfoto ketika mereka dalam posisi menduduki salah satu Penyu yang terbesar. Wah kocaknya, karena sang Penyu ogah diduduki manusia. Ia bergerak-gerak dan penumpangnya berjatuhan. Wah heboh….Geerrr. tertawa semua. Udara panas dan disana ada penjual Kelapa muda. Kami minum masing-masing sebuah Kelapa muda yang dihargai Rp. 10.000,-/buah yang tidak dapat ditawar. 
“Lima ribu aja ya.” Nur menawar
“Tidak bisa Bu, kami juga membeli dari tempat lain dengan harga yang mahal” Ibu penjual Kelapa itu menolak tawaran Nur.
Ketika air Kelapa habis tersedot, kami minta Kelapa dibelah dengan golok besar dan tajam. Kami menikmati daging buah Kelapa muda yang kenyal dan nikmat itu.
Kami kembali ke Pantai dan banyak para turis yang bermain ski air yang ditarik kapal motor dengan kecepatan tinggi. Ada juga yang naik Parasut yang di tarik kapal motor sehingga parasut yang membawa seorang penumpang itu naik dan terbang tinggi di udara. Yang lain menaiki perahu karet, bertiga mereka ( dua penumpang dan satu instruktur pendamping ) yang ditarik oleh kapal motor dengan kecepatan sangat tinggi sehingga akhirnya perahu karet ini dapat naik ke udara, seperti ikan terbang, flying fish. Terdengar teriakan-terikan para penumpangnya yang kaget karena tiba-tiba perahu karet yang mereka tumpangi terbang diatas permukaan air laut Benoa beach.
Keesokan harinya kami pindah Hotel, kami menginap semalam di Hotel Ratna (*) di daerah Kuta. Setelah check-in kami ada acara bebas. Kesempatan ini aku dan beberapa teman berjalan kaki menuju Monoment Bom Bali I di daerah Legian, Kuta. Kami sempat mengambil foto-foto yang diambil secara bergantian. Kamera digital Nikon Coolpix7900-ku sangat bermanfaat untuk mengabadikan moment ini. Kami merasa sedih dan mengutuk keras para teroris yang telah melakukan pemboman di daerah ini. Banyak korban yang meninggal dan luka-luka, Bali makin sepi dikunjungi wisman. Nama-nama para korban diabadikan di di dinding Monomen ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Di dekat Hotel Ratna, ada sebuah Toko “Jogger” yang menjual pakaian, T-Shirt, gantungan kunci dan lain-lain produk. Mutu yang lebih bagus dari pada toko-toko lain, Jogger memasang tarif harga yang lebih mahal. Banyak kalimat-kalimat yang menggelitik yang melekat pada T-Shirt, gantungan kunci dll. Yang unik adalah jam buka toko yang semaunya saja. Toko seharusnya dibuka pada pukul 10.00, calon pembali sudah berkumpul banyak di depan pintu masuk. Eh….para petugas toko malah membiarkan mereka menunggu lama dan pada pukul 12.00 tengah hari barulah toko dibuka dan para calon pembeli saling berebut masuk. Mungkin mereka senang melihat para pengunjung berdesak-desakan berebut masuk ke toko mereka.
“Sialan bener nih toko. Kami disuruh menunggu berjam-jam untuk masuk” kata seorang Bapak sambil menuntun putra dan putrinya masuk ke toko Jogger.
“Siapa suruh mau datang ke toko ini”, seorang gadis di belakangnya berbisik kepada temannya. Mereka ketawa cekikian, mentertawai orang lain, padahal mereka sendiri pun sudah antri berjam-jam untuk sekedar membeli T-Shirt atau Jean yang ketat, kesukaan anak-anak muda.
Juga ada ketentuan membeli produk mereka yang di beri label Jogger: setiap pembeli hanya diperbolehkan membeli sebanyak 6 buah untuk T-Shirt, 3 buah untuk produk lain, dll dengan tujuan agar pengunjung yang lain pun dapat membelinya. Jadi tidak diperkenankan memborong semua barang. Pembayaran dengan Kartu Kreditpun tidak ditolak. Ada Loket pembayaran yang khusus untuk pembayaran dengan Kartu Kredit ini. 
Makin dipermainkan, makin banyak pengunjung Toko Jogger ini. Inilah uniknya. Antri? Siapa takut! Aku yang masuk paling akhir hanya geleng-geleng kepala saja. Penasaran tidak kebagian T-shirt, aku membeli 2 buah untuk putriku, masing-masing seharga Rp. 59.900,-. Kalau di toko lain mungkin setengah harganya. Kalau di Pasar Sukowati tentu harganya paling murah, hanya sekitar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- dengan keterampilan pandai menawar seperti kaum Ibu belanja. Disini pembeli boleh memborong barang yang diinginkan asal cukup uang untuk membayarnya. Keunikan Pasar Sukowati adalah lokasinya yang dipinggir jalan keluar dari kota Denpasar menuju Negara dan Gilimanuk, tempat untuk menyebrang ke P. Jawa. Mau tidak mau setiap mobil / bus harus melewati pasar Sukowati. Pasar ini mirip pasar Tegalgubug, di daerah Arjawinangun, Kabupaten Cirebon yang konon pasar pakaian murah terbesar se Asean (?).
Kami mengunjungi GWK ( Garuda Wisnu Kencana ) di daerah Uluwatu. Tiba di tempat sekitar pukul 15.00 WITA ( WIB + 1jam ). Puluhan Bus pariwisata diparkir di pelataran parkir yang luas. Ketika kami tiba sudah banyak rombongan dari tempat lain antara lain dari suatu pabrik elektronik di Surabaya. Peserta rombongan puluhan Bus mereka disambut dengan Tari Barong dan lain-lain atraksi dan kamipun larut dengan iring-iringan mereka  
Kami menuju suatu bukit dimana terletak GWK. Suatu patung Dewa Wisnu yang terbuat dari lempengan logam. Konon dibuat oleh para seniman di Bandung. Patung ini masih perlu disempurnakan, karena masih belum selesai dan masih menunggu sponsor. Di bukit lain tampak patung seekor Burung Garuda. Disana dipamerkan suatu maket / contoh GWK dalam skala ukuran yang lebih kecil setinggi 1,5 meter. Meskipun belum selesai tetapi aku melihat tinggi patung Dewa Wisnu ini puluhan meter dari permukaan tanah. Dari bukit yang tinggi ini kami dapat melihat pemandangan yang indah disekitarnya. Pemilihan lokasi GWK ini rupanya sudah diteliti matang-matang oleh si pembuatnya.
Puas mengambil foto-foto, kami menuruni bukit untuk b.a.k, di toilet yang terjaga bersih, cukup air mengalir, berbau harum, free of charge alias gratis. Keluar dari toilet aku melihat banyak orang berkerumun di satu tempat. Ternyata itu adalah penjual Es Cendol kesukaanku.
“Berapa harganya segelas, pak?” aku bertanya.
“Opat ribu wae” jawab seorang pemuda sekitar 25 tahunan.
Kok pakai bahasa Sunda sih. Ternyata ia dan kawan-lawannya berasal dari kota Tasikmalaya.
Merasa bisa berbahasa Sunda, aku berkata “Nyuhunkeun deui esna sakedik.” ( minta esnya sedikit lagi ) kepada salah satu penjual.
Tanpa ragu sedikitpun ia memberikan es batu sebanyak yang aku mau, tanpa harga ekstra. Bila satu bahasa maka semuanya bisa diatur. KKN nih!
 
Kami juga mengujungi Tanah Lot, dimana ada Pura yang lokasinya ditepi Pantai. Semua objek pariwisata banyak pengunjuingnya. Banyak anak-anak muda seusia delapan - sepuluh tahunan mereka menjajakan Foto-foto Tanah Lot dan lain-lain dengan harga Rp. 15.000,- / untuk sepuluh foto ukuran Post card dan dengan mutu cetak yang bagus. Aku membelinya untuk kenang-kenangan. Kami tidak pernah melihat seorang pengemispun di Pulau Bali ini.
Nina, seorang guide tour lokal dari sebuah event organizer yang bekerja sama dengan pemilik Bus Pariwisata yang kami pergunakan, membawa kami ke sebuah rumah tempat menyewakan pakaian adat Bali dan berfoto secara perseorangan atau berkelompok. Rumah ini berada di suatu Gang di suatu jalan raya di kota Denpasar. Aku difoto ketika berpakaian adat Bali dari seorang Raja ( kata petugas yang membantuku berpakaian ). Foto-foto yang dibuat sudah tiba di Hotel kami tempat bermalam pada sore harinya. Suatu service cetakan yang baik.
 Sepanjang perjalanan di Pulau Bali, rombongan kami banyak menemui upacara Odalan ( ulang tahun desa / keluarga ). Upacara bakar mayat ( Ngaben ) kami tidak menjumpai, kerena diadakan pada waktu tertentu mengingat biayanya sangat mahal. Begitu kata pak Wayan Wisnu, guide tour kami yang berdomisili di kota Denpasar.
 
Kami juga mengunjungi suatu tempat bernama Celuk, di daerah Sukowati. Kota ini terkenal dengan perhiasan Emas dan Perak murni. Di Toko Bali Gold, kami melihat-lihat. Saya sempat membeli sepasang Cincin Perak untuk isteriku dan aku sendiri dengan huruf initial name masing-masing di cincin Perak itu. Untuk hadiah ulang tahun putriku pada bulan Desember 2005 aku membeli sebuah Cincin mas 23 K yang bermata Mutiara sebesar butiran buah Jagung yang konon hasil produksi Mutiara di P. Lombok. Untuk putraku, aku sudah menyiapkan sebuah cincin bermata Batu Blue Safire yang aku beli dalam kunjungan kami setahun yang lalu ke P. Lombok. Semuanya itu kubayar dengan Kartu Kredit Visa. Cincin itu akan aku bawa dalam kunjungan kami ke Sydney, Australia, pada medio Desember 2005, ketika kami akan menghadiri Wisuda putra kami yang lulus sebagai Dokter di salah satu Universitas di kota Sydney.
 Istana Presiden Tampak Siring juga kami kunjungi. Ketika kami tiba disana sekitar pukul 16.00 WITA. Kami tidak diperkenankan masuk ke dalam halaman dalam Istana, hanya diperbolehkan masuk sampai di halaman depan. Kami sempat berfoto bersama dua orang Petugas Keamanan Istana. Dari kejauhan kami melihat banyak Rusa yang sedang merumput di halaman di depan bangunan Istana.
Suatu malam hari menjelang kepulangan kami kembali ke P. Jawa, kami makan malam bersama di Jimbaran Beach ( Pantai Jimbaran ). Dinner ini merupakan paket Pariwisata yang kami dapatkan dari trip kami ke P. Bali. Kami memasuki halaman belakang dari suatu Rumah Makan. Halaman ini langsung berada di tepi pantai Jimbaran. Ada banyak Rumah Makan sepanjang pantai ini. Ratusan bus dan mobil pribadi di parkir di halaman parkir. Jalan raya yang hanya dapat dilalui oleh 2 mobil kecil sehingga sukar bila 2 bus saling berpapasan. Salah satu Bus mesti mengalah memberi jalan bagi Bus lainnya.
Ketika kami datang sekitar pukul 18.15 WITA, suasana pantai belum beguitu ramai. Setengah jam kemudian seluruh kursi di seluruh Rumah makan sudah terisi. Sepertinya kami harus pesan tempat, bila ingin Dinner di pantai Jimbaran.
Kami mengharapkan sekali agar malam terakhir ini kami dapat menikmati Sunset di panatai Jimbaran. Lagi-lagi kami kecewa, karena awan hitam mendung banyak menghalangi sinar matahari yang akan masuk keperaduannya. Kami berfoto bersama ketika hidangan sudah berada di meja masing-masing. Satu meja untuk delapan orang. Nyala lilin-lilin menambah semaraknya suasana di pantai Jimbaran ini. Baru sekali itu aku menikmati Dinner di pantai Jimbaran. Sayang isteriku tidak berada disampingku, karena urusan kantornya tidak mengijinkan mengikuti Trip kami ini.
Hidangan yang kami nikmati malam itu berupa: sebakul Nasi putih hangat, Ikan-ikan bakar ukuran kecil, Kangkung Pelecing ( ca kangkung yang sedikit pedas yang konon sayur Kangkung ini di datangkan dari P. Lombok ), Tahu, Tempe goreng, Sambel Terasi dan segelas Es Sirop. Nikmat juga Dinner ini. Angin berhembus lembut di pantai Jimbaran. Gelak tertawa saling bersahutan. Terasa aman dan damai. Kami menikmati sekali moment itu.
“Kita belum tentu bisa Dinner bersama lagi dalam kondisi yang sama seperti malam ini, Wi” aku berkata kepada Wihara yang duduk di sampingku.
“Betul Bud, mungkin kita hanya sekali ini bisa makan bersama. Lain kali mungkin jumlah teman tidak selengkap malam ini” jawabnya.
 
Keesokan harinya kami setelah chec-out hotel Ratna menuju Pasar Sukowati. Semua teman Ibu dan Bapak turun dari Bus. Turun hujan cukup besar tidak menghalangi mereka masuk ke dalam Gedung Pasar yang besar ini. Banyak yang memborong pakaian atau sekedar gantungan kunci. Padahal di kota kami ada banyak barang yang dijual dengan mutu yang sama. Mereka rela bersusah payah untuk belanja, katanya untuk oleh-oleh bagi yang di rumah.
Marku, temanku yang pecandu Kopi, memesan segelas Kopi di salah satu warung dan menikmati Kopi dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga secangkir Kopi di Hotel berbintang satu. Wajahnya cerah, secerah sinar matahari yang muncul kemudian setelah hujan reda di Pasar Sukowati. Aku memesan Mie instan kuah hangat ditambah sebutir Telur Ayam yang dilahap nikmat pada saat udara dingin akibat turun hujan di daerah Sukowati ini.
Bus meluncur ke Gilimanuk untuk menyebrangi Selat Bali dan kembali ke P. Jawa setelah melewati Ketapang di ujung Timur P. Jawa. Kami berjalan melewati pantai Selatan P. Jawa. Kami menuju Jember, Lumajang dan Blitar. Di kota Blitar mobil kami di parkir di suatu tempat khusus parkir Bus. Kami mandi di rumah-rumah penduduk yang menyewakan kamar mandinya bagi para pejiarah makam Bung Karno. Dengan Tarif Rp.2.000,- kami dapat mandi sepuasnya. Makan pagi sekitar pukul 10.00 WIB berupa nasi Pecel, Rempeyek Kacang dan segelar air Teh hangat seharga Rp. 3.000,- sungguh nikmat. Badan segar sehabis mandi, perut kenyang, harga cukup terjangkau, kami bersiap-siap naik becak menuju Museum Bung Karno dan Makam Bung Karno.
Aku naik becak berdua dengan Marku, becak lain diisi isteri Marku dan anak gadisnya. Dengan tarif Rp. 10.000,- pulang pergi ke tempat asal, pelataran parkir Bus, kami mengunjungi Museum Bung Karno.
Musium Bung Karno sebagai Proklamator negera kita terletak di dalam sebuah rumah yang besar. Bangunan yang kuno ini mempunyai halaman yang luas dan dihuni oleh kerabat dekat Bung Karno. Semua ruangan bangunan diisi dengan perabot rumah tangga, lukisan dll barang. Kami dimintakan berfoto instan Polaroid dimana saja dengan membayar Rp. 10.000,- dan kami diperbolehkan untuk melihat-lihat musium Bung Karno sepuasnya.
Di halamanan belakang samping bangunan, diparkir sebuah mobil Mercedes warna hitam keluaran puluhan tahun yang lalu. Tampaknya mobil ini sudah tidak pernah dipergunakan lagi. Mobil yang mempunyai makna bersejarah ini tampak anggun dan aku sempat berfoto di samping Mercy hitam ini.
Kami menuju Makam Bung Karno dengan naik becak yang dengan setia menunggu kami. Kompleks Makam yang sedang dipugar ini cukup bagus. Di halaman depan tampak berdiri beberapa bangunan bergaya modern dan ada kolam air mancur yang belum selesai. Dibelakang bagunan ini tampak sebuah halaman yang luas. Ditengah halaman ini berdiri sebuah bangunan beratap gaya Jawa. Tampak ada 3 makam. Di tengah adalah Makam Bung Karno dan di sisi kiri dan kanan adalah Makam Ibunda dan Ayahanda Bung Karno. Makam ini terbuat dari bahan yang bagus, lantai makam berupa keramik yang licin mengkilap.
Setelah semua peserta berkumpul di dalam Bus, kami lenjutkan perjalanan pulang. Bus menuju kota Yogya kemudian kami tiba di kota kecil Wates pada pukul 18.30 WIB. Bus berhenti di Rumah Makan Ambarketawang, satu Rumah Makan yang besar. Kami sempat mandi dan Dinner makanan khas Jawa Tengah. Sistim pembayaran yang khas pula. Rp. 10.000,- makan prasmanan sepuasnya. Selesai Dinner, kami masuk ke Toko yang menjual bermacam-macam Snack di sebelah Rumah Makan ini. Beban Bus kami bertambah berat karena hampir semua penumpang memborong makanan / Snack yang dijual disini.
Bus melanjutkan perjalanan ke kota Gombong, Puwokerto, Prupuk, Ketanggungan, Losari dan masuk kota Cirebon. Jalan raya di daerah Selatan Jawa tidak sebaik jalan raya berhotmix di Pantai Utara Jawa. Kami tiba kembali di depan Mesjid At Taqwa Cirebon pada tanggal 26 September 2005 pukul 02.30 dini hari, tempat Start dan Finish Trip kami ke P. Bali. Seperti ketika Start, kami saat Finish bersama-sama memanjatkan doa dan bersyukur bahwa kami dapat selamat diperjalanan dan tiba kembali di kota kami dengan selamat pula, baik para penumpang, krew Bus dan Busnya sendiri yang tidak pernah mogok, meskipun selama perjalanan lebih banyak mesinnya hidup dari pada berhenti.
5 hari setelah kami tiba di Cirebon, kami mendengar melalui siaran TV bahwa pada tanggal 1 Oktober 2005 malam hari, terjadi ledakan Bom di Pantai Jimbaran dan Pantai Kuta ( Raja’s Bar & Restaurant, Kafe Menage dan Kafe Nyoman ). 22 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Kami telah dilindungiNya dan terhindari dari bencana maut itu. Kami baru saja meninggalkan Pantai Jimbaran. Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kepada Tuhan. Para peserta Trip ini saling berkirim SMS menyatakan puji syukur kepada Tuhan yang telah melindungi kami dari ledakan Bom Bali II dan mengutuk keras para pelakunya.-



Rabu, 29 Juli 2009

Minta Sepeda motor


Kehidupan kami di suatu RT, Rukun Tetangga di kotaku tampak tenang. Kehidupan bertetangga dapat dikatakan baik. Tidak heran bila kami saling mengenal satu sama lainnya.
Tetangga di sebelah rumah kami adalah Pak Haryono. Bapak yang sudah setengah baya ini hidup dengan isterinya dan 2 orang anaknya. Anaknya yang sulung seorang putri, Nani telah menikah dan tinggal bersama dengan suaminya yang pegawai disalah satu kantor swasta. Anaknya yang bungsu, Suyono baru saja menyelesaikan pendidikan di salah satu SMU di kota kami dan saat ini melanjutkan di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta.
Pak Haryono mempunyai 20 becak yang disewakan kepada para tukang becak. Ia menerima Rp. 2.000,- utk setiap becaknya setiap 24 jam. Segala kerusakan becak ditanggung oleh si penyewa. Tidak semua becaknya itu dapat dipergunakan. Setiap hari ada saja becak yang diperbaiki. Hari ini ada 2 becak yang bannya kempes, hari lain ada 1 becak yang rantainya mesti diperbaiki dan lain lain kerusakan. Pak Haryono membantu para penyewa memperbaiki becak-becaknya. Kesibukan Pak Haryono setiap hari adalah mengurusi semua becaknya. Sebagai bandar becak Pak Haryono, hidupnya cukup tenang. Biaya hidup sehari-hari dipenuhi dari hasil menyewakan becak-becaknya. Biaya pendidikan Suyono di tanggung oleh kakaknya dan suaminya.
Dalam kehidupan bertetangga Pak Haryono cukup supel dan mau membantu tetangga yang minta bantuannya. Setiap hari ada saja tetangga yang meminjam pompa secara gratis untuk mengisi angin sepeda mereka terutama pada saat-saat berangkat ke sekolah.
Aku yang bekerja di salah satu Kantor Pemerintah, pada malam hari sering mengunjungi rumah Pak Haryono untuk sekedar ngobrol di rumah. Rumahku persis disebelah rumahnya. Suatu malam Pak Haryono berkata “Agus, aku ingin curhat kepadamu.”
“Ada masalah apa Pak?” aku bertanya.
“Beberapa hari yang lalu Suyono, anakku mengirim surat dari Jakarta.”
“Apa isi suratnya, Pak?” aku bertanya lagi.
“Ia minta disediakan uang sebanyak Rp. 8.000.000,- untuk membeli sepeda motor bekas” Pak Haryono melanjutkan.
“Sepeda motor Pak?” aku bertanya lagi.
“Betul sepeda motor. Padahal jarak rumah kos ke sekolahnya hanya 10 menit berjalan kaki. Katanya ia malu kalau setiap hari ia berjalan kaki ke sekolahnya. Hampir semua temannya naik sepeda motor atau mobil pemberian orang tuanya.”
“Sudah bisa sekolah saja sudah bagus ya Pak. Lagi pula jarak ke sekolahnya tidak terlalu jauh dan anggap saja berolah raga setiap hari.” Aku memberi alasan yang membesarkan hati Pak Haryono.
“Itulah Gus, masalahku sekarang ini.”
“Lalu apa Bapak sudah ada uangnya?” aku bertanya lagi
“Belum, aku bermaksud menjual 4 Becak. Kalau masing-masing 2 juta rupiah maka pas menjadi 8 juta rupiah, tetapi aku perlu waktu untuk mencari pembelinya. Tak ada tukang beca yang mau membelinya, mereka cukup sewa 2 ribu rupiah setiap hari, mereka sudah dapat menghidupi keluarganya. Aku harus mencari bandar becak yang lain, tetapi kalau borongan becakku hanya ditawar 6 juta untuk 4 becakku. Aku bingung, Gus.” Kata Pak Haryono

Aku merasa iba kepada tetanggaku ini.
“Lalu apa jawab Bapak kepada Suyono?”
“Aku bilang coba tunggu sampai bulan depan. Kalau tak ada pilihan lain maka 6 becakku akan kujual kepada bandar becak yang menawar becakku. Ini berarti penghasilanku setiap hari akan berkurang banyak. Kami juga membutuhkan biaya berobat selain untuk makan. Kami sudah tua dan sakit-sakitan. Sepertinya anakku itu tidak punya perasaan” Pak Haryono mengeluh.
“Iya sudah Pak, sabar saja. Barangkali ada bandar becak yang lain yang mau membeli becak Bapak dengan harga yang bagus atau Tuhan memberikan pemecahan masalah bapak” aku menghiburnya.
----
Bulan berikutnya aku ngobrol lagi dengan Pak Haryono.
“Bagaimana Pak ada perkembangan baru dengan penjualan becak Bapak?”
“Wah, Gus… Pak Bandono, bandar becak yang mau membeli becakku sekarang dirawat di rumah sakit. Kata keluarganya, ia sakit Tipes dan itu membutuhkan biaya. Ia membatalkan pembelian becak-becakku” Pak Haryono menjawab pertanyaanku.
“Lalu bagaimana Pak dengan kedatangan Suyono yang akan pulang meminta uang 8 juta itu?”
“Entahlah Gus, aku belum punya uangnya” Kata Pak Haryono lemes.
------
Siang itu terjadi keributan di rumah Pak Haryono. Rupanya Suyono datang dan marah-marah kepada Bapaknya ketika uang yang dimintanya belum tersedia. Ia memecahkan semua kaca jendela rumah mereka dan membanting piring yang ada di meja makan. Pak Haryono tidak kalah sengitnya dan memaki-maki putranya.
“Anak tidak tahu diri. Sudah disekolahkan dengan biaya besar. Sekarang minta beli sepeda motor. Aku tak punya uang. Carilah uang sendiri agar kau bisa membeli sepeda motormu” bentaknya kepada Suyono, putranya.
“Aku malu Pak. Malu kepada teman-temanku. Mereka naik sepeda motor kalau ke Kampus. Apa Bapak tidak mengerti perasaanku?’ balas Suyono.
Praaang…… terdengar kaca jendela dilempar sebuah piring oleh Suyono.
Para tetangga berdatangan, ingin tahu apa yang telah terjadi di rumah bandar becak tetangga kami itu.
Tiba-tiba Pak Haryono pergi meninggalkan rumahnya, meninggalkan isteri dan putranya. Mukanya merah menahan amarahnya. Stres berat menimpa dirinya. Aku berharap agar tidak terjadi apa-apa yang lebih memberatkan penyakit Darah Tingginya.
Suyono masih marah-marah. Kemarahannya beralih kepada Ibunya. Ibunya hanya dapat menangis. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Ibu Yati tetanggaku mempunyai ide. Idenya minta bantuan Dokter. Ia mempunyai Dokter langganan. Ia menelepon Dokternya dari sebuah Wartel di RT kami. Tak lama kemudian Ibu Yati datang dan memberitahu kami bahwa Dokternya tidak mau datang untuk urusan keluarga Pak Haryono.
Aku bertanya” Ibu Yati, apa alasan Pak Dokter tidak mau datang?”
Ibu Yati menjawab “Meskipun aku sudah memohon Pak Dokter untuk dapat datang tetapi ia menjawab katanya itu bukan wewenang dokter untuk menyelesaikan masalah keluarga. Kalau terjadi keributan sampai merusak rumah, panggillah Polisi.”

Tiba-tiba aku teringat akan Pak Dedi. Ia seorang Polisi yang bertugas dibagian Intel Kantor Polisi. Kami mendatangi rumah beliau. Pak Dedi yang saat itu baru kembali dari tugasnya, mau membantu kami. Akhirnya Suyono dibawa ke Kantor Sektor Kepolisian terdekat. Ia diinterogasi semalaman dan keesokan harinya, Suyono diperbolehkan pulang setelah berjanji tidak akan berbuat keributan atau menganiaya orang tuanya.
Rupa ia sadar akan perbuatannya. Tanpa pamit kepada orang tuanya, ia kembali ke Jakarta.
Aku membatin “ Kualat kau Yono. Anak tak tahu diri.”



Korban Narkoba



Masa yang paling indah adalah masa ketika duduk di SMU, begitu kata orang. Ada benarnya kalimat tadi. Aku mempunyai banyak teman antara lain Lisa. Rumah Lisa dekat dengan rumahku. Lisa seorang gadis yangcantik, periang, enak diajak bicara, sehingga tidak heran bila ia mempunyai banyak teman baik laki-laki maupun perempuan.
Lisa hidup dan dibesarkan oleh keadaan keluarga yang berkecukupan. Ayahnya seorang businessman yang sering bepergian keluar kota. Ibu nya seorang ibu rumah tangga yang aktip bergaul, membuat arisan bulanan untuk mengisi waktu sehari-hari. Tidak heran bila Lisa kurang mendapat perhatian orang tuanya.
“Nita, kau ikutlah denganku malam minggu besok.” Lisa berkata kepadaku sepulang dari sekolah. Kami menuntut ilmu di salah satu SMU di kota kami.
“Kemana Lis?” aku bertanya.
“Ke pesta si Lulu” jawan Lisa.
“Aku tak mau, malam Minggu keluargaku akan kedatangan Pamanku dari Solo. Aku harus membantu Ibuku di rumah” aku menolaknya.
“Iya dah, lain kali aku ajak ya, anak manis” Lisa meledekku.
Malam Mingu berganti malam Minggu, Lisa temanku selalu berpesta entah dimana tempatnya. Aku tidak memperdulikan keaktipannya. Sekali waktu aku pernah melihat Lisa turun dari mobil pemberian ayahnya, sambil memegang sebatang rokok. Dari mulutnya keluar asap rokok yang dihisapnya sambil mengemudikan mobilnya. Baunya tidak seperti rokok biasa yang sering aku hirup sebagai perokok pasip di dalam mobil angkutan kota. Aku curiga apakah Lisa mengisap rokok Ganja?
Kehidupan sosial Lisa yang tidak pernah diawasi orang tuanya makin tidak terkendalikan. Lisa sering berada di sebuah rumah teman lelakiku, Hasan yang sudah drop out dari SMU. Rumah Hasan dijadikan tempat berkumpul anak-anak muda. Kegiatan mereka tidak jelas selain membuat rumahnya penuh dengan asap rokok dan deru mesin sepeda motor.
Malam itu ada sepuluh orang laki-laki dan perempuan berada di rumah Hasan. Pada mulanya mereka mengisap rokok Ganja. Selanjutnya ada salah seorang teman Hasan, mengeluarkan alat suntik dan bubuk putih ( Putaw, Heroin ).
Toto mulai mempersiapkan alat suntik dan bubuk putih itu. Lalu ia menyunik dirinya sendiri di lengan kirinya, jarum menembus pembuluh darah baliknya. Teman-teman Toto secara bergantian dengan mempergunakan jarum yang sama menyuntik dirinya masing-masing.
 Lisa ditawari suntikan oleh Toto. Lisa menolaknya. Toto terus menerus memaksa Lisa mau disuntik bubuk putih tadi.
“Lisa, bila kau tak mau di suntik, maka kau bukan anggota geng kami. Semua teman-teman mau disuntik. Tidak apa-apa. Tidak ada bahaya apapun, Lisa.” Toto merayu Lisa
 Diledek begitu semangat Lisa bangkit dan akhirnya Lisa mau disuntik bubuk putih tadi. Sepuluh orang menjadi serasa terbang ( fly ). Tubuh-tubuh mereka bergelimpangan, tumpang tindih satu dengan yang lainnya.
 Keesokan harinya aku melihat Lisa di sekolah dengan wajah yang tidak rapih, seolah belum mandi. Padahal Lisa adalah seorang perempuan yang cantik. Tidak ada konsentrasi untuk belajar. Matanya selalu menutup kalau tidak diajak bicara. Efek Puthaw, bubuk Putih sudah mempengaruhi kehidupannya.
 Malam Minggu berikutnya, geng anak muda tadi berkumpul lagi di rumah Toto. Kali ini Lisa langsung meminta suntikan dari Toto. 
Toto yang bandar Narkoba berkata “Lisa, minggu yang lalu, saya beri gratis, tetapi kali ini kau harus membayarnya.”
Lisa menjawab “Aku tak bawa uang, To.”
“Tidak apa-apa kau berikan cincinmu itru kepadaku dan engkau akan mendapatkan suntikan dariku” Toto memaksa Lisa untuk menyerahkan cincin emas pemberian Ibunya kepada Toto.
Toto tertawa sambil melucuti cincin di jari manis Lisa.
Kebiasaan menyuntik bubuk putih tadi telah membuat semua anggota geng itu ketagihan. Bila Toto tidak berada di rumah, mereka menjadi gelisah. Badan mereka kesakitan ( sakaw ) dan mereka akan berbuat apa saja demi satu suntikan Putaw.
Perhiasan Lisa sudah habis dilucuti Toto untuk membayar harga Putaw. Sudah tiga bulan uang sekolah Lisa tidak dilunasi, uangnya dipakai untuk membeli Putaw. Suatu malam Minggu Lisa mengunjungi rumah Toto. Dengan badan yang loyo Lisa berkata kepada Toto untuk meminta satu suntikan Putaw. Disana sudah ada seorang laki-laki yang tidak dikenal oleh Lisa. Ia menyangka itu adalah salah satu anggota keluarga Toto.
“To, beri aku satu suntikan.” Lisa meminta kepada Toto.
“Boleh. Apa yang akan kauberikan kepadaku. Mana uangnya?”
“Aku tidak bawa uang. Uangku sudah habis,To” Lisa menjkawab dengan lesu.
“Begini saja Lis, Kau temani sahabatku ini Jaenal di kamarku. Mau kan?” Toto merayu Lisa.
Lisa yang sudah kepepet dengan keinginan menjadi Fly, hanya menganggukan kepalanya saja.
Jaenal dan Lisa berada di dalam kamar Toto. Lisa mau menyerahkan kegadisannya kepada Jaenal demi satu suntikan Putaw. Efek Narkoba sudah menjerat Lisa. Lisa tidak kuasa menolak orang lain untuk berbuat apa saja terhadap tubuhnya.
 Bulan depan Lisa sudah tidak sekolah lagi. Ayahnya kawin lagi dengan perempuan lain di kota Jakarta. Ibunya bangkrut akibat arisan yang dibuatnya dan temannya menipu Ibunya dengan membawa kabur uang ratusan juta rupiah. Suatu keluarga yang broken home.
Lisa akhirnya dirawat di salah satu Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta. Biayanya yang mahal itu ditanggung Pamannya yang tinggal di Jakarta. Masa depan Lisa yang cantik sudah hancur akibat jeratan narkoba. Lisa menyesal, suatu penyesalan yang terlambat.
Aku bersyukur kalau aku selalu menolak ajakan Lisa untuk pergi ke pesta teman-temannya. Setelah kejadian itu aku lebih menekuni kegiatan kerohanianku.





Karet KB


“Sudah siap berangkat Sri? aku bertanya kepada Bidan Sri Mulyati.
“Sudah, Dok” Bidan Sri menjawab pertanyaanku.
“Ajaklah Seksi PKM ( Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ) ikut, aku tunggu di mobil Pusling ( Puskesmas Kililing )”
Hari itu akhir tahun 1982, kami dari Puskesmas akan mengadakan Penyuluhan Kesehatan dalam rangka penyuluhan KB ( Keluarga Berencana ) di sebuah Desa yang termasuk di dalam wilayah kerja Puskesmas kami.
Pemerintah sedang berusaha agar seluruh penduduk mengikuti program KB. Laju pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan jumlah penduduk secara nasional melonjak drastis. Kecepatan pertambahan penduduk belum dapat diimbangi dengan kecepatan pertambahan hasil pertanian.
Untuk urusan KB, Puskesmas kami diwajibkan agar target KB di Kecamatan kami berhasil. Bahkan seluruh PNS ( Pegawai Negeri Sipil ) hanya diperbolehkan memunyai 2 orang anak saja. Bila mempunyai lebih dari 2 orang, maka anak ke 3 tidak akan mendapat tunjangan anak sebesar 5 % dari gaji bulanan. Selain itu akan sulit mendapat promosi jabatan yang lebih baik.
Setelah acara diawali dengan Kata Sambutan oleh Kepala Desa setempat mulailah Bidan Sri melakukan tugasnya melakukan Penyuluhan KB kepada warga Desa yang sebagian besar terdiri dari kaum Ibu karena kaum Bapaknya sedang bekerja di sawah maupun di kota terdekat sebagi buruh harian.
Macam-macam alat KB yang dijelaskan pemakaiannya. Agar warga desa lebih jelas dan mengetahui alat-alat KB maka Bidan Sri melakukan peragaan alat-alat yang telah disediakan oleh BKKBN ( Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ). Alat peraga itu berupa sebuah plakat yang di permukaannya di rekatkan: Spiral ( IUD ), Strip Pil KB, Botol Obat Suntik KB, dan Karet KB ( Kondom ).
Setelah berbicara panjang lebar tentang cara penggunaan semua cara KB, Bidan Sri mulai berbicara tentang cara pemakaian Karet KB.
“Bapak dan Ibu sekalian, yang terakhir akan saya peragakan bagaimana caranya menggunakan Karet KB. Meskipun cara Karet KB ini tidak seefektip cara KB lain, tetapi lebih baik menggunakan salah satu cara KB dari pada tidak memakai sama sekali” kata Bidan Sri.
“Bagaimana sih cara menggunakannya?” seorang bapak yang duduk dibelakang bertanya.
“Rupanya Bapak sudah tidak sabar. Sebentar ya pak, saya akan membuka dulu bungkusnya, agar semua yang hadir dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuknya Karet KB ini” Bidan Sri dengan tangkas menjawab.
Bidan Sri melanjutkan ceramahnya “Karet KB ini harus dipasang oleh Bapak, sebelum Bapak dan ibu hendak melakukan hubungan suami-isteri.”
“Caranya begini, pasangkanlah karet KB seperti ini ( sambil memasukkan Karet KB ke dalam jari telunjuk tangan kirinya ). Setelah terpasang maka Bapak dan Ibu boleh melakukan hubungan. Setelah selesai maka Karet ini dapat dibuang di tempat yang aman. Karet KB bersifat sekali pakai saja.”
“Berapa Karet KB yang dapat kami terima, Bu?” bapak tadi bertanya lagi.
“Setiap pasangan akan kami beri jatah 3 buah karet KB. Bila membutuhkan lagi silahkan Bapak atau Ibu peserta KB dapat menghubungi kami di Puskesmas” Bidan Sri menjawab.
----
3 bulan kemudian datanglah sebuah pasangan suami-isteri peserta KB ke Puskesmas. Bapak Amin marah-marah kepada Bidan Sri.
“Bagaimana ini Ibu Bidan, kami telah ikut KB, tetapi kok perut isteri saya membesar lagi?”
Bidan Sri bertanya “”Bapak atau Ibu ikut cara KB apa?”
“Saya pakai Karet KB dan sudah mengikuti penjelasan ketika Ibu Bidan menerangkan kepada kami di desa kami” kata Pak Amin ini.
“Apakah Bapak yakin bahwa isteri Bapak hamil lagi?”
“Yakinlah. Isteriku sudah 3 bulan tidak datang bulan. Bagaimana ini Bu, ikut KB kok gagal” Pak Amin makin marah.
“Baik. Apa bapak sudah benar menggunakan Karet KB? Coba bagimana cara memakainya” Bidan Sri menguji Pak Amin.
“Saya sudah mengikuti cara yng dijelaskan Ibu Bidan yaitu memasangkan Karet KB di jari telunjuk tangan kiri saya, lalu kami melakukan hubungan” Pak Amin menjawab dengan bersemangat.
“Itu salah Pak” kata Bidan Sri
“Kok salah sih”.
“Bapak harus memasangnya di alat Bapak, bukan di jari telunjuk” Bidan Sri melanjutkan.
“Tapi Ibu Bidan memperagakan memasang Karet KB di jari telunjuk” Kata Pak Amin.
“Itu karena sopan santun Pak dan lagi pula alat siapa yang mau dipakai sebagai alat peraga di depan umum?” kata Bidan Sri dengan sewotnya.
“Lain kali Bapak memasangnya di alat Bapak yang sudah tegang, bukan di jari telunjuk tangan” kata Bidan Sri.


Selasa, 28 Juli 2009

Dokter pikun

Bila kita menghadiri Pesta Ulang Tahun, maka akan terdengar nyanyian yang bertema “Selamat Ulang Tahun dan Semoga Panjang Umur.” Benarkah kita ingin panjang umur? Bagaimana kalau diberi panjang umur tetapi badan kita sakit-sakitan? Sebaiknya tema itu diubah menjadi “Semoga Awet Muda.” Siapa sih yang tidak ingin tetap muda?
Banyak Dokter yang telah mengadakan penelitian agar manusia tidak menjadi tua. Misalnya dengan membuat HCG, Human Growth Hormone yang konon dapat menghambat proses ketuaan. Sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra atas hasil penemuan hormon ini.
Bulan yang lalu aku mengunjungi rumah sahabatku si Asikin. Sahabatku ini sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang putra dan putri. Ayah Asikin meninggal tiga tahun yang lalu akibat usia lanjut. Ibundanya yang sudah manula tinggal bersama keluarga Asikin. Ibunda Asikin bernama Juarti dan berumur sekitar 67 tahun.
“Selamat pagi Bu” aku menyapa Ibu Juarti.
Beliau acuh tak acuh ketika aku berkata seperti itu.
“Agus, pendengaran Ibuku sudah berkurang. Kalau ingin berbicara dengannya, kita harus berbicara di samping telinganya.” Kata Asikin.
Meskipun penglihatan Ibu Juarti masih cukup bagus, tetapi pendengarannya sudah banyak berkurang.
Aku mendekati Ibu Juarti dan bicara di samping telinga kanannya “Selamat pagi, Bu.”
Ibu Juarti menoleh ke arah aku berdiri dan tampak ia tersenyum.
“Apakah Ibu sudah sarapan?” aku melanjutkan bertanya.
“Belum, aku belum sarapan” sahutnya. Tampak giginya tinggal dua.
Semula aku heran, katanya belum sarapan tetapi di sampingnya tampak sebuah piring yang masih tersisa sedikit Bubur dan Ibu Juarti masih memegang sebuah sendok.
Asikin berkata “Ibuku baru saja sarapan, tetapi Ibu sudah melupakannya.”
Aku pernah membaca sebuah artikel di sebuah harian nasional tentang penyakit Pikun atau Dementia senilis suatu keadaan kemunduran ingatan akibat proses umur lanjut. Rupanya benar kalau sudah manula, maka ingatan jangka pendeknya menjadi buruk, tetapi ingatan jangka panjangnya masih bagus. Kejadian masa kecil, ketika mereka duduk di SD atau ketika ia belajar naik sepeda masih diingatnya dengan baik. Mereka dapat bercerita panjang lebar tentang masa kecil mereka dengan lancar. Sedangkan kejadian yang masih baru atau baru saja dilakukannya sudah tidak ingat lagi. Suatu saat aku juga akan mengalami kedaan Dementia senilis, bila aku diberi umur panjang oleh Yang Maha Kuasa.

---
Sejak 2 hari yang lalu aku sedikit demam dan sakit menelan. Aku sudah mengurangi merokok, tetapi keluhanku masih belum membaik. Aku tak mau penyakitku ini berlarut-larut dan sore hari aku mengunjungi Dokter Umum langganan keluarga kami, Dokter Wisnubrata.
Aku menjadi pasien pertamanya.
“Siapa nama anda dan dimana alamatnya?” Dokter Wisnu bertanya untuk dicatat di dalam lembar Kartu Pasienku.
“Nama saya Agus Abidin, tinggal di Jalan Ampere nomer tujuh, Dok” aku menjawab pertanyaannya.
“Apa keluhan saudara dan sudah berapa lama?”
“Saya merasa demam dan kalau menelan terasa sakit sejak dua hari, Dok. Saya belum minum obat apapun” aku menjawab lagi.
“Baik, silahkan berbaring” kata Dokter Wisnu sambil menunjuk ke arah bed pemeriksaan pasien.
 
Setelah memeriksa Tekanan darahku, meraba dahiku menyinari tenggorokanku dengan lampu senter, mendengarkan bunji jantung dan paru-paruku, Dokter Wisnu berkata “Sudah. Silahkan duduk kembali.”
Ketika Dokter Wisnu menulis hasil pemeriksaan kesehatanku, aku bertanya “Berapa biaya pemeriksaannya, Dok”
“Biaya periksa dua puluh ribu rupiah” jawabnya.
Aku memberikan uang selembar lima puluh ribuan baru kepadanya.
Dokter Wisnu menerimanya dan dari laci mejanya, ia mengambil dan menyerahkannya kepadaku uang tiga lembar puluhan ribu.
Setelah selesai menulis selembar resep, Dokter Wisnu menyerahkannya kepadaku sambil berkata “Ambillah obat ini di Apotik terdekat.”
“Terima kasih, Dok”
Aku berdiri dan ketika aku hendak menuju ke pintu keluar, Dokter Wisnu berkata “Anda belum membayar biaya pemeriksaannya.”
Aku tersentak kaget. Rasanya aku sudah memberikan biaya pemeriksaan dan Dokter sudah memberikan uang kembaliannya kepadaku. Mengapa Dokter masih menagihnya.
Dengan tenang karena tidak merasa bersalah aku berkata “Dok, tadi saya sudah memberikan uang lembaran lima puluh ribuan yang berwarna biru dan Dokter sudah mengembalikan uang tiga lembar sepuluh ribuan. Ini uang kembaliannya” aku menjawab sambil memperlihatkan uang kembaliannya.
Dokter Wisnu membuka laci mejanya untuk memeriksa benarkah tadi ia sudah memasukkan uang lima puluh ribuan berwarna biru? Beruntung aku menjadi pasien pertamanya, sehingga laci Dokter belum banyak terisi uang.
Akhirnya ia menyadari bahwa memang aku sudah membayar biaya pemeriksaan.
Dokter Wisnu berkata kepadaku sambil tersenyum “Sorry Gus, aku lupa.”
 
Dokter bisa lupa akan kejadian yang baru saja terjadi tetapi masih ingat akan gejala penyakit-penyakit, nama obat-obat, cara pemeriksaan yang dulu pernah dipelajari ketika ia masih muda saat mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran. Rupanya siapapun akan mengalami dementia senilis, bila diberi panjang umur.
 




Bosan hidup

Aku merasa beruntung mempunyai seorang teman, Karta. Begitu teman-temanku memanggilnya, kepanjangan dari Kartanegara. Aku menggangap Karta sebagai teman dekat, kami berteman dan menuntut ilmu di sekolah yang sama sejak kami duduk di salah satu SMP dan SMU di kota kami. Aku menyenangi kepribadian Karta yang low profile. Prestasi di SMP dan SMU jauh melebihi prestasi belajarku yang rata-rata saja.
Meskipun nilai Rapor semua mata pelajaran diatas rata-rata, Karta tidak sombong dan mau membantu kami teman-temannya yang memerlukan bantuan ilmu pengetahuan. Karta mempunyai filosofi Ilmu Padi, makin berisi makin menunduk. Filosofi ini bertentangan dengan si Badu. Badu seperti tong kosong berbunyi nyaring. Bicara banyak tetapi hasilnya tidak ada. Orang Amrik bilang sebagai NATO, No Action, Talk Only.
Dua puluh lima tahun kami tidak berjumpa dengan Karta setelah kami lulus SMU. Aku melanjutkan di Perguruan Tinggi yang ada di kota kami, belajar Ilmu Sosial Politik. Karta melanjutkan study di kota Bandung, sekolah Dokter. Selesai pendidikan Dokternya, Karta kembali ke kota kami untuk bertugas sebagai Dokter Umum di salah saru Rumah Sakit. Nasib baik selalu menyertai orang yang baik. Isteri Karta seorang Ibu Rumah Tangga yang enak diajak bicara, ramah dengan lingkungannya. Mereka dikarunia seorang putra dan seorang putri yang saat ini mereka sedang sekolah Dokter juga di Amrik. Tahun depan putra sulungnya akan menyelesaikan sekolah dokternya pula.
Meskipun sebagai seorang Dokter Umum, Dokter Karta tidak rendah diri, ramah kepada para pasiennya dan bertangan dingin. Hampir semua pasien yang berobat kepadanya sembuh. Tidak heran bila Dokter Karta mempunyai banyak pasien. Banyak pasien dan keluarganya datang mencari Dokter Karta untuk berobat. Ada beberapa keluarga yang menjadi pasiennya mulai dari orang tuanya, anak-anaknya dan cucunya, kalau sakit selalu berobat kepada Dokter Karta. Aku kagum kepada temanku ini.
Saat ini kami sudah pensiun dari Pegawai Negeri Sipil dari masing –masing Departemen. Kami sering berjumpa di saat kami belanja di Departemen Store atau di Toko Buku yang ada di kota kami.
“Hai Nus, apa kabar?” seseorang menyapaku di sebuah Toko Buku. Aku menengok kepadanya, ternyata ia adalah temanku Dokter Karta. Rupanya ia sedang melihat-lihat buku-buku pula di Toko itu.
“Met siang, Dok.” aku membalas sapaannya.
“Ah tak usah panggil aku Dokter di tempat ini. Panggil namaku saja, Karta.” Begitu jawabnya. Suatu jawaban yang low profile. Sifat merendahnya tidak berubah sejak aku berteman dengannya.
“Sedang mencari buku apa Nus?” Karta bertanya.
“Aku dititipi untuk membeli buku barunya J.K. Rowling, Harry Potter oleh anakku yang bungsu” aku menjawab.
“Yunus, bisakah kita ngobrol sejenak?” Karta bertanya. Suatu pertanyaan yang biasa bila teman lama bertemu. Ngobrol.
“Bisa. Dimana?” aku mengiyakan.
“Kita ngobrol di lantai 3 yuk. Kita ngobrol sambil minum.” kata Karta kemudian.
“Kau yang traktir aku ya. Aku lagi tongpes ini.”
Dokter Karta berkata “Beres.”
Setelah menyedot jus Alpukatnya, Karta berkata kepadaku yang menyedot jus Meljer ( melon-jeruk ), “Nus, aku mau cerita tentang pasienku.”
“Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang baik. Bagaimana ceritanya?’ aku ingin sekali mendengarkan cerita Pak Dokter Karta ini. Apa sih masalahnya sehingga ia sengaja mencari teman untuk ngobrol soal pasiennya?
“Begini Nus” Karta mulai menceritakan kisahnya kepadaku. Udara yang sejuk oleh AC sentral, perut terisi juice, ngobrol dengan teman lama ah…. nikmatnya.
----
Dokter Karta berkisah. Aku mempunyai seorang kenalan, namanya Pak Alimin. yang akhirnya menjadi pasienku. Aku mengenal seluruh anggota keluarganya. Umurnya 3 tahun diatas aku. Ia penderita Darah Tinggi.
Pak Alimin dan isteri memunyai 6 orang anak. Dua laki-laki dan empat perempuan. Yang bungsu masih sekolah di SD. Anak yang sulung, Yono sudah menikah dan menempati rumah Mertuanya. Kerjanya serabutan dan tidak betah kerja lama di suatu tempat atau toko. Akhir-akhir ini Yono sering datang kerumah Pak Alimin untuk minta uang. Pak Alimin tidak memberi uang karena ia sudah berumah tangga dan sudah dapat mencari nafkah sendiri. Seharusnya Yono sebagai anak yang sudah bekerja, yang memberi uang kepada orang tuanya. Ibunya secara diam-diam memberi Yono uang ala kadarnya. Yono tidak puas diberi sedikit uang oleh Ibunya. Yono marah-marah dan teriakannya terdengar oleh Pak Alimin. Terjadilah perang mulut di dalam keluarga pasienku itu. Seringnya perang mulut ini mengakibatkan penyakit Darah Tinggi Pak Alimin sulit disembuhkan. Stres masalah keluarga yang menjadi faktor pencetus kumatnya penyakit Darah Tinggi.

Suatu saat pukul 20.00 aku mendapat panggilan per telepon dari Ibu Alimin. Katanya suaminya tidak bangun-bangun dari tidurnya sejak 2 jam yang lalu. Aku datang dan memeriksa Tekanan Darah Pak Alimin, 180/100. Tinggi. Tidak biasanya. Biasanya sekitar 160/90 mm Hg. Reflex anak mata negatif, anak mata melebar. Tak ada reaksi apapun ketika kulit kakinya dicubit. Pak Alimin mengalami Koma. Aku memberi advis untuk segera membawa Pak Alimin ke Rumah sakit terdekat. Isterinya menolak dengan alasan tidak punya uang. Seluruh anggota keluarganya, memanjatkan doa-doa agar Pak Alimin ini segera sadar dari Komanya. Aku bingung juga. Aku berdiskusi dengan isteri Pak Alimin di ruang tengah.
Kemudian terdengar suara anak perempuannya berteriak memanggil Ibunya.
“Bu, ibu…. bapak sudah bangun!”
Aku dan Ibu Alimin segera masuk kamar tidur Pak Alimin.
Aku menyalami Pak Alimin dan ia bertanya “Kok ada Pak Dokter disini. Ada apa Dok?” tampaknya Pak Alimin bingung melihat kehadiranku di kamar tidurnya.
“Aku kebetulan lewat rumah Bapak, lalu aku mampir.” Aku menjawab sekenanya.
Aku bertanya “Pak Alimin, tadi Bapak pergi dari mana? Kok lama perginya.”
Setelah melihat langit-langit kamar tidurnya Pak Alimin menjawab “Saya sudah pergi jauh, masuk suatu terowongan yang berputar-putar, badan saya seperti ada yang menyedot ke depan. Saya melihat di ujung terowongan itu suatu sinar putih yang menyilaukan mata. Entah mengapa badanku tersedot lagi ke belakang dan akhirnya ke luar dari terowongan itu.”
“O… begitu, baiklah Pak Alimin, silahkan minum air teh hangat ini “ kataku yang sebelumnya aku minta disediakan air teh hangat manis kepada salah satu putrinya.
Pak Alimin segra minum air itu dengan lahapnya seperti orang ynag sedang kehausan.
Kejadiaan itu terulang 1 kali lagi selang beberapa bulan kemudian. Ia koma 1 jam dan sadar dengan sendirinya. Sepertinya ia mempunyai nyawa cadangan.
Suatu saat Pak Alimin ketika bertemu denganku berkata demikian “Dokter, nanti kalau menjumpai saya dalam keadaan tidak sadar lagi, saya minta saya disuntik mati saja” Pak Alimin memohon kepadaku.
“Tak mau aku menyuntik mati pasienku.” Aku segera mejawab permohonannya yang konyol itu.
“Wah kalau begitu, Dokter bukan sahabatku lagi” kata Pak Alimin yang seperti sudah kehilangan akal.
“Pak Alimin, mengapa mengajukan keinginan seperti itu”
“Dok, saya mempunyai Darah Tinggi, kalau nanti saya sadar dari pingsan suatu saat, saya mungkin akan mejadi lumpuh. Saya akan mati sebelah badan dan saya tidak bisa bekerja lagi. Untuk makan kami harus menjual rumah karena kami sudah tidak punya apa-apa lagi selain rumah yang kami tinggali. Nanti keluarga saya akan tinggal di kolong jembatan. Saya tidak mau itu terjadi” kata Pak Alimin dengan sedihnya.
Ya Tuhan, kok pikiran Pak Alimin seperti itu jauhnya. Aku sukar memahami jalan pikirannya.
Aku menjawab ”Aku tak mau menyuntik mati pasienku sendiri. Itu melanggar hukum. Aku sekolah dokter untuk menyembuhkan orang, bukan untuk membunuh orang.”
Pak Alimin termenung, kecewa dengan penolakanku tadi.
Bagaimana ya, aku dapat menyadarkan pikirannya yang sedang kacau itu. Akhirnya aku mempunyai ide jawaban yang mungkin sekali dapat menyadarkan Pak Alimin yang sedang putus asa ini.
“Pak Alimin, seandainya aku telah membuat Bapak meninggal dunia. Kemana perginya roh Bapak?” aku bertanya kepadanya.
“Roh saya akan berada di ahirat.”
“Iya benar, lalu Malaikat Penjaga akan bertanya kepada Bapak “Siapa namamu?”
Bapak akan menjawab “Nama saya Alimin.”
“Alimin bin siapa?”
“Alimin Bin Samsudin.”
Malaikat akan membuka Buku Kehidupan dan mencari nama itu pada tanggal itu.
Lalu Malaikat berkata “Akimin Bin Samsudin belum waktunya mengadap kesini. Pulanglah kembali.”
Aku melanjutkan “Roh Pak Alimin akan turun kembali ke dunia. Di dunia Bapak akan mencari rumah ( badan ) nya sendiri, tetapi rumahnya sudah tidak ada lagi karena jenasahnya sudah dikuburkan. Lalu Roh Bapak akan mencari-cari rumah dan jadilah Roh gentayangan. Apa Pak Alimin mau seperti itu?”
Pak Alimin diam seribu bahasa mendengar ucapanku.
Pak Alimin sekarang sudah meninggal akibat Koma yang ketiga kalinya. Meskipun dibawa ke Rumah Sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Sekarang Pak Alimin sudah terbebas dari segala penderitaannya di dunia yang fana ini.
Demikianlah kisah Pak Alimin, Nus. Itulah yang telah kuceritakan kepadamu.
Karta melanjutkan dengan sebuah pertanyaan kepadaku “Nus, bagaimana komentarmu tentang kisah itu?”
Aku menjawab “Argumentasi kamu itu dari mana dapatnya sehingga Pak Alimin mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya?”
Karta menjawab “Aku pernah melihat sebuah film yang menceritakan tentang kematian, persis yang kuceritakan kepada Pak Alimin tadi. Rupanya argumentasiku untuk menolak mengakhiri hidupnya itu masuk di akal Pak Alimin.”
“Nus….. aku bersyukur bahwa aku tidak melakukan permintaan Pak Alimin tadi” kata Dokter Karta sambil menyedot sisa jus Alpukatnya.-





Uang dan teman.


 Saat itu aku duduk di kelas III SMU. Mesin sepeda motorku mesti diperbaiki, tenaganya sudah berkurang. Maklum sepeda motor tua. Aku menabung hari demi hari dengan menyisihkan uang saku. Sudah terkumpul sebanyak Rp. 30.000,- cukup untuk biaya perbaikan sepeda motorku atau setara dengan harga beras setengah kwintal saat itu.

 Sore ini teman sekampugku datang kerumahku. Setelah berbasa-basi ujung-ujungnya temanku ini bermaksud ingin meminjam uang kepadaku. Alasannya uang itu untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit.

“Aku tak punya uang sebanyak itu”, kataku kepadanya.
“Tolonglah Bud, lusa ayahku gajian, uangmu akan kukembalikan, jawab Jaedi.
“Aku akan memperbaiki mesin sepeda motorku di bengkel.” aku ngotot tak mau meminjamkan uangku kepadanya.
“Uang itu kami butuhkan untuk biaya berobat Ibuku, sakit Ashmanya kambuh lagi, semalaman ia tak bisa tidur,” Jaedi merengek.

Aku tak tega kalau Ibu temanku itu meninggal dunia seperti salah satu keluargku yang meninggal bulan lalu akibat penyakit Ashma berkomplikasi Radang paru-paru. Saat itu aku juga perlu uang untuk sepeda motorku, aku tak mau kalau aku naik sepeda lagi ke sekolah.

“Budi, pinjami aku uang. Lusa ayahku gajian, akan kukembalikan uangmu.” Sekali lagi Jaedi merengek.
Lusa kan 2 hari lagi, tidak lama. Biarlah aku pinjamkan uangku kepadanya. Aku mengalah.

“Berapa sih uang yang kauperlukan?” aku bertanya kepadanya.
“Hanya tiga puluh ribu rupiah saja”, kata Jaedi.
“Kau ambillah TV 14 inchi kami, kalau kau tak percaya.” Jaedi melanjutkan rayuannya.

Aku takut itu barang curian dan nanti aku dituduh sebagai penadah barang curian. Aku menolak mengambil TV nya.

“Baiklah aku pinjamkan uang sebanyak itu tetapi segeralah kau kembalikan lusa. Kalau tidak, awas kau,” aku mengancamnya.
“Baik Bud, engkau temanku yang baik sekali.” 
Aku benci mendengar rayuan gombalnya.

2 hari kemudian aku naik sepeda untuk sampai di sekolah.
Hari yang dijanjikan tiba. Aku menunggu di rumah kedatangan Jaedi yang akan mengembalikan pinjamannya kepadaku. Sampai malam hari, aku tidak melihat batang hidungnya.

“Puih..., sialan benar itu orang. Penipu. Penipu,” aku marah besar.
Sudah ditolong lupa mengembalikannya.
Aku tunggu lusa-lusa berikutnya, tetapi Jaedi tidak kunjung datang kerumahku. Dengan nekat aku datangi rumahnya di kampungku. Ternyata Ibunya sehat-sehat saja, tidak pernah menderita sakit Ashma. Ibunya mengatakan bahwa Jaedi pergi ke Jakarta tepat sehari setelah ia menerima uang dariku. Penipu kau Jaedi.

 Aku pulang dengan kecewa dan marah. Kok bisa-bisanya Jaedi temanku menipuku dengan alasan yang dibuat-buat, Ibunya sakit. Wah kualat tuh orang…..kualat kau.
Aku pernah membaca sebuah nasihat di sebuah majalah yang berbunyi: “Kalau engkau meminjamkan uang kepada temanmu, maka engkau akan kehilangan kedua-duanya.”

 Benar sekali. Aku kehilangan uangku dan temanku, aku kehilangan kedua-duanya. Sampai saat ini aku tidak pernah bertemu lagi dengan Jaedi, temanku itu. Jangan pernah meminjamkan uang kepada teman. Kalau ada uang, berilah dengan ikhlas sebanyak yang kita mampu. Tak usah dikembalikan. Tak usah pura-pura meminjam, yang akibatnya kita akan selalu menunggu-nunggu pengembalian uang kita. Lebih baik beri dan lupakanlah. Tidak ada Stres berkepanjangan dan tidak ada kemarahan. Hal-hal seperti itulah yang bisa menjadi faktor pencetus penyakit Darah Tinggi.-








Telepon Genggam



Di banyak tempat aku melihat banyak orang telah menggunakan telepon genggam. Sambil melintas jalan raya pun mereka berhalo-halo dengan lawan bicaranya. Berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu dimana harga telepon genggam masih mahal bagi kebanyakan orang di negara kita.
Saat ini sudah beredar bermacam-macam merk dan tipe telepon genggam. Setiap enam bulan sekali muncul tipe yang lebih baru. Dengan demikian harga bekas tipe yang lama makin turun.
Ketika aku berkumpul di kantin kantor tempat aku bekerja, aku sering mendapat guyonan teman-temanku.
“Hasan, teleponmu sudah ketinggalan jaman tuh. Gantilah telepon tukang ojek itu dengan yang baru seperti aku punya.”
Enak saja mereka mengatakan hal itu. Entah dari mana mereka mendapatkan telepon tipe baru mereka, padahal gajia bulanan mereka tak jauh berbeda dengan gajiku. Aku enggan mengganti telepon Nokia 8310 yang sudah menemaniku selama bertahun-tahun. Telepon itu masih bagus kwalitas suaranya, mudah di gunakan dan dapat menangkap siaran radio FM terdekat.
Temanku Abidin, seorang pensiunan dari suatu Departemen, juga menggunakan telepon genggam yang sama dengan milikku. Ia juga membanggakan teleponnya.
Pernah suatu hari berkata kepadaku “San, teleponku ini sudah jatuh beberapa kali tetapi tidak rusak. Telepon itu bandel dan aku menyukainya.”
Aku menjawab “Betul Din, teleponku juga bandel. Aku memiliknya sejak 4 tahun yang lalu, ketika harganya masih diatas dua juta rupiah. Sekarang yang bekasnya hanya dihargai sekitar lima ratus ribuan saja. Kalau mau dijual atau tukar tambah, kita mesti menambah uang cukup banyak untuk membeli tipe yang lebih baru.”
Suatu hari Abidin berkata kepadaku “San, menantu perempuanku kemarin dari Jakarta datang dan membelikan telepon genggam Nokia terbaru.”
Aku berkata “Wah, bagus lah, tentu Nokia terbaru mempunyai lebih banyak fasilitas.”
“Iya sih, tetapi aku kan tidak bisa kirim dan terima SMS sejak dulu. Aku hanya menggunakan telepon genggam hanya untuk bicara saja.”
“Gampanglah Din, belajar sebentar akan bisa kirim SMS. Kau mintalah kepada mantumu untuk diajari kirim SMS.”
 
Minggu depan kami bertemu lagi di suatu toko buku di kotaku.
“Hai San. Apa kabar?” seseorang menyapaku. Ternyata Abidin temanku.
“Baik Din. Bagaimana kabar telepon Nokian terbarumu. Apa sudah bisa kirim SMS?” aku menjawab sapaannya.
“Aku diajari mantuku kirim dan terima SMS. Kami saling kirim SMS dengan telepon genggamnya.”
“Wah baguslah kalau sudah bisa kirim SMS. Nanti kita bisa berkomunikasi melalui SMS yang biayanya lebih mudah dari pada kalau bicara langsung melalui telepon genggam” kataku.
Abidin diam dan menunduk.
Kemudian ia berkata “Itulah San, sekarang aku tidak bisa kirim SMS lagi.”
“Emangnya kenapa dengan teleponmu itu. Apakah rusak?”
“Bukan, San.”
“Lalu apa masalahnya?” aku bertanya dengan penasaran. Nokia model baru, lalu sudah diajari SMS, kok sekarang ia tidak bisa kirim SMS.Apa yang tidak beres?
“Begitu menantuku pulang ke Jakarta, aku lupa tombol mana yang harus aku pencet. Itulah masalahnya San.” Kata Abidin dengan wajah sedih.
“Iya sudah kalau begitu tukarlah Nokia barumu dengan Nokia aku punya, nanti aku ajari kau kirm SMS. Mau enggak?” aku menggoda Abidin.
“Aku tidak mau San.” Kata Abidin.
“Mengapa tidak mau.”
“Nokia baruku itu kan hadiah kenang-kenangan dari mantuku. Aku tak mau tukar dengan model lama lagi. San, tolong ajari aku kirim SMS ya. Nanti aku traktir kau makan di Rumah Makan Padang. Kau makanlah sepuas-puasnya. Engkau mau kan, San?” Abidin merayu aku.
Tawaran itu aku sanggupi. Apa susahnya mengajari Abidin, untuk kirim dan terima SMS? Siang itu sudah waktunya makan siang dan saat itu sedang tanggung bulan. Ada rejeki nomplok nih. Gayung bersambutlah. Terjadilah transaksi ajar- mengajari SMS. Aku puas dan Abidin puas, bisa kirim dan terima SMS. Win win solution-pun terjadilah.
Ketika aku pindah ke kota lain beberapa beluan kemudian, bila aku teringat temanku Abidin, aku tertawa dalam hati. Kok ada ya orang yang susah belajar SMS dengan telepon genggam yang sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dipegangnya. Aku masih setia dengan Nokia 8310. Aku tidak membutuhkan banyak fasilitas yang belum tentu aku pergunakan. Aku ingin agar telepon genggam kembali kepada fungsinya yaitu menerima dan mengirim pesan suara dimana saja, kapan saja, siapa saja seperti slogan Coca-cola. Aku masih setia dengan “telepon tukang ojek”ku ini.




Senin, 27 Juli 2009

Si Dora

Sejak anjing Labardor kami si Bona meninggal akibat usia lanjut, keluarga kami memelihara seekor anjing betina jenis Rottweiler, namanya si Dora. Umur si Dora sudah 3 tahun, umur yang sulit untuk dilatih kebiasaan sehari-hari. Kami mendapatkan si Dora dari adik ipar kami di Jakarta. Ia memelihara 6 ekor anjing ras yang berasal dari Jerman ini. 

Karena usianya yang sudah 3 tahun kami mendapat kesulitan untuk melatih bila si Dora ingin buang air besar atau kecil. Sering kali kami membiarkan ia berangin-angin di halaman depan rumah, sambil menjaga kalau-kalau ada tamu yang datang ke rumah kami, ia tentu akan menyalak ketika ia melihat ada orang asing yang masuk ke halaman rumah. Kami tidak pernah merantai anjing peliharaan kami kecuali kalau sedang dimandikan, sehingga anjing-anjing peliharaan kami tidak galak kalau melihat tamu datang.

Sudah lima bulan si Dora berada di rumah kami. Dora agak bandel kalau di panggil untuk pergi ke halaman belakang rumah, ketika ada tamu di rumah kami. Rupanya ia lebih senang dekat dengan kami. Sekali waktu saya kedatangan tamu, dan mereka takut ada anjing hitam yang berbadan besar ini. Aku panggil Dora agar mau pergi ke halaman belakang rumah kami, tetapi ia lebih senang berbaring di lantai ruang keluarga kami. Aku mencoba mengangkatnya agar ia mau pindah ke halaman belakang, tetapi ia bahkan menolak berdiri atau bangun dari tempatnya. Ah… berat sekali badannya, mungkin beratnya sekitar 45 kg. Akhirnya aku pancing ia dengan sepotong telur rebus. Pancinganku berhasil, ia segera mendekati tanganku dan mau dibimbing pindah ke halaman belakang rumah. Aku geli, rupanya anjing juga masih bisa diakalin dengan makanan yang ia sukai.

Karena usianya yang sudah cukup untuk dikawinkan kami membawanya ke rumah salah seorang yang mempunyai anjing Rottweiler. Ia bernama Charles, suatu nama yang keren juga. Mirip nama seorang pangeran Inggris. Sering kali aku mendengar nama seekor anjing diberi nama yang mirip dengan nama seorang manusia. Dora kami tingalkan di rumah pemilik Charles selama 3 hari agar mereka mau berkenalan dan mau kawin selama alami. 3 hari kemudian aku dan isteriku mengunjungi rumah relasi kami. Tuan dan Nyonya rumah sedang keluar rumah sehingga kami hanya dapat bertemu dengan 2 orang pembantu mereka. Kami bertanya kepada mereka apakah si Dora dan si Charles mau kawin dalam waktu 3 hari ini. Mereka menjawab, rasanya mereka hanya bermain-main saja dan mereka tidak pernah mereka melihat anjing-anjing itu kawin. Akhirnya kami membawa pulang kembali si Dora ke rumah kami tanpa ada hasil perkawinan dengan si Charles. Kemungkinan besar si Dora belum saat subur yang ditandai dengan keluarnya darah dari alat kelaminnya.

Anjing jenis Rottweiler jarang menyalak, tetapi bila ia menyalak pasti ada sesuatu yang tidak beres. Sesekali si Dora juga menyalak ketika mendengar suara tukang Baso melewati rumah kami dengan membunyikan pikulannya. Bila ada tamu dan kami membukakan pintu, Dora juga acuh saja. Mungkin ia menganggap tuan rumah sudah mengetahui kedatangan seseorang masuk ke dalam rumah. Dora berbaring di lantai dan hal ini menyebabkan tamu kami tidak berani masuk ke dalam ruang tamu, karena katanya ia takut ada anjing yang besar. Kami mengatakan jangan takut. Selama anda tidak bermaksud jelek, anjing kami tidak akan menyerang anda. Padahal si Dora itu acuh tak acuh bila ada tamu datang. Sifatnya ini agak tidak biasanya seperti anjing-anjing lain yang kami pelihara. Kalau kami memeliharanya sejak ia berumur 3 bulan, mungkin kami dapat melatihnya dengan baik. Kalau sudah 3 tahun sulit melatihnya, karena ia juga mempunyai sifat bandel, tidak menuruti kehendak tuan rumah, kecuali dipancing dengan sedikit makanan.

Suatu pagi setelah isteriku meninggalkan rumah menuju tempat kerjanya, aku melepaskan si Dora di halaman depan rumah. Pintu pagar diselot bagian atasnya saja sehingga tamu masih dapat membuka pintu itu dari arah luar rumah. Tiba-tiba aku mendengar suara bel pintu berdering yang berarti ada seseorang yang berdiri di depan rumah kami. Aku segera menghampiri pintu rumah yang mempunyai pintu lain yaitu pintu besi yang dianyam jarang-jarang untuk ventilasi udara. Aku melihat seroarng relasi berdiri di depan pintu tadi dan di sebelah kanannya duduk seekor anjing warna hitam dengan manisnya.

Aku bertanya kepada relasiku “ Apakah anda datang dengan membawa anjing ini?”
Relasiku, Pak Saelan berkata “ Tidak. Ini kan anjing anda sendiri.”
“Astaga.” Aku berseru, kok si Dora tidak menyalak ketika ada orang asing masuk ke halaman rumah? Apa ia disuap dengan makanan oleh tamuku ini? Ternyata tamuku ini semula ragu-ragu ketika melihat ada seekor anjing hitam besar, tetapi ketika pintu halaman terbuka dan anjing tadi tidak menyalak, ia berani memasuki halaman rumah kami.
Ia berkata “Anjing anda baik ya. Tidak menggigit saya.”
Dalam hati aku berkata “Wah anjing ini tidak bisa jaga rumah sama sekali. Ada orangpun ia diam saja, padahal ia tidak bisu. Ia bisa menyalak tetapi tetapi kali ini kok diam membisu.”

Aku mengatakan kejadian ini kepada isteriku setelah tamuku pulang. Isteriku malah terbahak-bahak ketika mendengar kisah si Dora ini. Anjing ini kok diam saja ketika ada orang asing masuk ke rumah. Seminggu kemudian si Dora kami antarkan kembali ke Jakarta. Disana ia dihamili oleh Rottweiler jantan yang ada di kennel adik iparku. Dora hamil dan mempunyai 5 ekor puppies yang sehat-sehat. Kami memelihara sepasang anjing ras Cow-cow, yang kami terima dari saudara kami yang lain. Mereka banyak menyalak bila ada tamu yang datang. Ini baru anjing namanya.