Kamis, 20 Agustus 2009

Isteri kedua


Aku berteman dengan Ibu Elisa yang sehari-hari dipanggil dengan nama Lisa. Aku mengenalnya di sebuah arisan di rumah Ibu Siti yang sekarang sudah ditutup. Lisa tergolong wanita yang cukup cantik, dalam skala nol sampai sepuluh, Lisa mendapat nilai delapan setengah.

Ibu Lisa seorang wanita berumur sekitar 37 tahun. Ia pernah menikah dengan seorang lelaki yang dicintainya dan sudah mempunyai 2 putri yang sudah bekerja dan menikah. Suaminya meninggal 3 tahun yang lalu akibat Penyakit Darah Tingginya kumat. Ibu Lisa tinggal di sebuah rumah dan ditemani oleh seorang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja sejak suaminya masih hidup.

Saat ini Ibu Lisa mempunyai sebuah Toko Kelontong dekat pasar di kota kami. Toko yang peninggalan suaminya ini cukup laris. Di tokonya Ibu Lisa dibantu oleh beberapa karyawannya. Untuk membiayai hidupnya Ibu Lisa berkecukupan, karena kedua putrinya sudah menikah dan menjadi tanggungan suami mereka masing-masing.

Suatu hari Minggu aku berjumpa dengan Ibu Lisa di suatu Mall di kota kami.
“Eh.. Ibu Lisa, sedang memborong nih” aku menyapanya ketika kami berpapasan di depan sebuah Counter handphone.
“Ah tidak, Ibu Nur bisa aja. Saya hanya sekedar melihat-lihat. Saya bermaksud membeli hadiah ulang tahun putriku ynag bungsu” sahut Ibu Lisa.
“Ibu Nur, kita ngobrol-ngobrol yuk” ajak Ibu Lisa kepadaku.

Kami memasuki salah satu counter minuman. Kami memesan Es Kelapa muda.
“Nur, setelah dua tahun suamiku meninggal, aku berkenalan dengan salah seorang laki-laki. Ia menyenangiku dan aku juga. Anton sering berkunjung ke rumahku. Hubungan kami makin akrab. Menurut pengakuannya Anton mencintaiku.
Aku berkata kepada Mas Anton “Tapi Mas kan sudah berkeluarga. Masa mau sama aku?”
“Sungguh Lis, aku cinta padamu” begitulah Mas Anton mulai merayuku.
“Betul , Mas” aku tidak tercaya.
“Betul, Lis” kata Mas Anton sambil menunduk.
“Betul atau betul nih” aku menggodanya.

“Singkat cerita kami saling mencintai. Kami tidak menikah secara resmi” kata Ibu Lisa.
“Mas Anton memelihara Ayam jago aduan, ayam Bangkok. Karena isterinya tidak suka pelihara ayam, maka Mas Anton membawa ayam itu ke rumahku. Aku menaruh kurungan ayam di halaman belakang. Semula seekor, makin lama makin banyak, sampai sepuluh ekor ayam jago. Mula-mula aku yang memberi makan. Apa susahnya memberi makan ayam. Tetapi kadang-kadang aku lupa memberi makan ayam-ayam itu. Aku telepon dari Toko kepada pembantuku agar ayam-ayam mas Anton diberi makan. Akhirnya yang memberi makan ayam-ayam itu adalah pembantu rumah tanggaku. Ketika Mas Anton mengetahui hal ini, ia marah dan menampar pipiku” Ibu Lisa berkisah.

“Kalau kamu tidak memberi makan ayam-ayamku, berarti kamu tidak sayang kepadaku lagi” Mas Anton marah kepadaku.
“Setiap hari ayam-ayam itu tidak kelaparan, pembantuku selalu memberi makan, meskipun Mas tidak memberi uang pembeli makanan ayam-ayam itu. Aku kurang apa?” aku menjawab dengan marah pula.
“Mas Anton makin marah dan berkata kubunuh kau kalau besok ayam-ayamku tidak engkau sendiri yang memberi makan.”

Aku memotong kisah Lisa itu “Apakah Ibu Lisa tidak mengadukan perlakuan Anton kepada Kakak atau adik Ibu Lisa?”
“Nur, aku di kota ini tidak punya saudara, aku anak tunggal dari orang tuaku yang sekarang sudah almarhum. Aku takut kalau benar Mas Anton itu akan membunuhku” sahut Ibu Lisa.

Wah gawat nih. Laki-laki macam apa dia itu, Ibu Lisa sudah memberikan segalanya kepada dia, tetapi apa balasannya kepada Ibu Lisa. Ibu Lisa sudah memberikan cintanya, tubuhnya, uangnya, waktunya dan yang diterima hanyalah tamparan, ancaman dan kedengkian. Kualat kau Anton. Aku tak habis pikir mengapa Ibu Lisa ini mau dengan laki-laki macam itu. Oh….kasihan Ibu Lisa. Aku membatin.

“Lalu bagaimana selanjutnya?” kau bertanya kepada Ibu Lisa.
“Nur, suatu saat aku ingin pergi ke Gereja seperti ketika suamiku yang pertama masih hidup. Lalu aku minta agar Mas Anton mau mengantar aku pergi ke Gereja. Ia tidak mau dan katanya tidak usah kau pergi ke Gereja, nanti disana engkau melihat laki-laki lain” kata Ibu Lisa sambil menitikkan air matanya.

“Beribadah kan hak azasi manusia. Masak aku tidak boleh beribadah? “ kata Ibu Lisa.
Ibu Lisa melanjutkan kisahnya “Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan, agar Mas Anton disadarkan dari segala perbuatannya. Mata hatinya yang tertutup agar terbuka dan mau menerima Firman Tuhan”

“Hubungan kami makin lama makin merosot. Sudah jarang Mas Anton mengunjungiku lagi. Suatu hari ayam-ayamnya diambil orang suruhannya. Kata orang itu pula, Mas Anton kalah taruhan. Semua ayamnya dijadikan taruhannya.”

“Kehidupanku kembali seperti semula. Hidup sendirian dan hanya ditemani oleh pembantuku yang masih setia, Bibi Iyem” kata Ibu Lisa kepada ku.
“Selanjutnya bagaimana dengan Mas Antonmu itu? Aku bertanya.
“Beberapa minggu kemudian, aku mendengar ia mendapat kecelakaan. Mobil yang dikemudikannya menabrak mobil lain. Mas Anton mati seketika” jawab Ibu Lisa dengan sedihnya.-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar