Selasa, 28 Juli 2009

Bosan hidup

Aku merasa beruntung mempunyai seorang teman, Karta. Begitu teman-temanku memanggilnya, kepanjangan dari Kartanegara. Aku menggangap Karta sebagai teman dekat, kami berteman dan menuntut ilmu di sekolah yang sama sejak kami duduk di salah satu SMP dan SMU di kota kami. Aku menyenangi kepribadian Karta yang low profile. Prestasi di SMP dan SMU jauh melebihi prestasi belajarku yang rata-rata saja.
Meskipun nilai Rapor semua mata pelajaran diatas rata-rata, Karta tidak sombong dan mau membantu kami teman-temannya yang memerlukan bantuan ilmu pengetahuan. Karta mempunyai filosofi Ilmu Padi, makin berisi makin menunduk. Filosofi ini bertentangan dengan si Badu. Badu seperti tong kosong berbunyi nyaring. Bicara banyak tetapi hasilnya tidak ada. Orang Amrik bilang sebagai NATO, No Action, Talk Only.
Dua puluh lima tahun kami tidak berjumpa dengan Karta setelah kami lulus SMU. Aku melanjutkan di Perguruan Tinggi yang ada di kota kami, belajar Ilmu Sosial Politik. Karta melanjutkan study di kota Bandung, sekolah Dokter. Selesai pendidikan Dokternya, Karta kembali ke kota kami untuk bertugas sebagai Dokter Umum di salah saru Rumah Sakit. Nasib baik selalu menyertai orang yang baik. Isteri Karta seorang Ibu Rumah Tangga yang enak diajak bicara, ramah dengan lingkungannya. Mereka dikarunia seorang putra dan seorang putri yang saat ini mereka sedang sekolah Dokter juga di Amrik. Tahun depan putra sulungnya akan menyelesaikan sekolah dokternya pula.
Meskipun sebagai seorang Dokter Umum, Dokter Karta tidak rendah diri, ramah kepada para pasiennya dan bertangan dingin. Hampir semua pasien yang berobat kepadanya sembuh. Tidak heran bila Dokter Karta mempunyai banyak pasien. Banyak pasien dan keluarganya datang mencari Dokter Karta untuk berobat. Ada beberapa keluarga yang menjadi pasiennya mulai dari orang tuanya, anak-anaknya dan cucunya, kalau sakit selalu berobat kepada Dokter Karta. Aku kagum kepada temanku ini.
Saat ini kami sudah pensiun dari Pegawai Negeri Sipil dari masing –masing Departemen. Kami sering berjumpa di saat kami belanja di Departemen Store atau di Toko Buku yang ada di kota kami.
“Hai Nus, apa kabar?” seseorang menyapaku di sebuah Toko Buku. Aku menengok kepadanya, ternyata ia adalah temanku Dokter Karta. Rupanya ia sedang melihat-lihat buku-buku pula di Toko itu.
“Met siang, Dok.” aku membalas sapaannya.
“Ah tak usah panggil aku Dokter di tempat ini. Panggil namaku saja, Karta.” Begitu jawabnya. Suatu jawaban yang low profile. Sifat merendahnya tidak berubah sejak aku berteman dengannya.
“Sedang mencari buku apa Nus?” Karta bertanya.
“Aku dititipi untuk membeli buku barunya J.K. Rowling, Harry Potter oleh anakku yang bungsu” aku menjawab.
“Yunus, bisakah kita ngobrol sejenak?” Karta bertanya. Suatu pertanyaan yang biasa bila teman lama bertemu. Ngobrol.
“Bisa. Dimana?” aku mengiyakan.
“Kita ngobrol di lantai 3 yuk. Kita ngobrol sambil minum.” kata Karta kemudian.
“Kau yang traktir aku ya. Aku lagi tongpes ini.”
Dokter Karta berkata “Beres.”
Setelah menyedot jus Alpukatnya, Karta berkata kepadaku yang menyedot jus Meljer ( melon-jeruk ), “Nus, aku mau cerita tentang pasienku.”
“Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang baik. Bagaimana ceritanya?’ aku ingin sekali mendengarkan cerita Pak Dokter Karta ini. Apa sih masalahnya sehingga ia sengaja mencari teman untuk ngobrol soal pasiennya?
“Begini Nus” Karta mulai menceritakan kisahnya kepadaku. Udara yang sejuk oleh AC sentral, perut terisi juice, ngobrol dengan teman lama ah…. nikmatnya.
----
Dokter Karta berkisah. Aku mempunyai seorang kenalan, namanya Pak Alimin. yang akhirnya menjadi pasienku. Aku mengenal seluruh anggota keluarganya. Umurnya 3 tahun diatas aku. Ia penderita Darah Tinggi.
Pak Alimin dan isteri memunyai 6 orang anak. Dua laki-laki dan empat perempuan. Yang bungsu masih sekolah di SD. Anak yang sulung, Yono sudah menikah dan menempati rumah Mertuanya. Kerjanya serabutan dan tidak betah kerja lama di suatu tempat atau toko. Akhir-akhir ini Yono sering datang kerumah Pak Alimin untuk minta uang. Pak Alimin tidak memberi uang karena ia sudah berumah tangga dan sudah dapat mencari nafkah sendiri. Seharusnya Yono sebagai anak yang sudah bekerja, yang memberi uang kepada orang tuanya. Ibunya secara diam-diam memberi Yono uang ala kadarnya. Yono tidak puas diberi sedikit uang oleh Ibunya. Yono marah-marah dan teriakannya terdengar oleh Pak Alimin. Terjadilah perang mulut di dalam keluarga pasienku itu. Seringnya perang mulut ini mengakibatkan penyakit Darah Tinggi Pak Alimin sulit disembuhkan. Stres masalah keluarga yang menjadi faktor pencetus kumatnya penyakit Darah Tinggi.

Suatu saat pukul 20.00 aku mendapat panggilan per telepon dari Ibu Alimin. Katanya suaminya tidak bangun-bangun dari tidurnya sejak 2 jam yang lalu. Aku datang dan memeriksa Tekanan Darah Pak Alimin, 180/100. Tinggi. Tidak biasanya. Biasanya sekitar 160/90 mm Hg. Reflex anak mata negatif, anak mata melebar. Tak ada reaksi apapun ketika kulit kakinya dicubit. Pak Alimin mengalami Koma. Aku memberi advis untuk segera membawa Pak Alimin ke Rumah sakit terdekat. Isterinya menolak dengan alasan tidak punya uang. Seluruh anggota keluarganya, memanjatkan doa-doa agar Pak Alimin ini segera sadar dari Komanya. Aku bingung juga. Aku berdiskusi dengan isteri Pak Alimin di ruang tengah.
Kemudian terdengar suara anak perempuannya berteriak memanggil Ibunya.
“Bu, ibu…. bapak sudah bangun!”
Aku dan Ibu Alimin segera masuk kamar tidur Pak Alimin.
Aku menyalami Pak Alimin dan ia bertanya “Kok ada Pak Dokter disini. Ada apa Dok?” tampaknya Pak Alimin bingung melihat kehadiranku di kamar tidurnya.
“Aku kebetulan lewat rumah Bapak, lalu aku mampir.” Aku menjawab sekenanya.
Aku bertanya “Pak Alimin, tadi Bapak pergi dari mana? Kok lama perginya.”
Setelah melihat langit-langit kamar tidurnya Pak Alimin menjawab “Saya sudah pergi jauh, masuk suatu terowongan yang berputar-putar, badan saya seperti ada yang menyedot ke depan. Saya melihat di ujung terowongan itu suatu sinar putih yang menyilaukan mata. Entah mengapa badanku tersedot lagi ke belakang dan akhirnya ke luar dari terowongan itu.”
“O… begitu, baiklah Pak Alimin, silahkan minum air teh hangat ini “ kataku yang sebelumnya aku minta disediakan air teh hangat manis kepada salah satu putrinya.
Pak Alimin segra minum air itu dengan lahapnya seperti orang ynag sedang kehausan.
Kejadiaan itu terulang 1 kali lagi selang beberapa bulan kemudian. Ia koma 1 jam dan sadar dengan sendirinya. Sepertinya ia mempunyai nyawa cadangan.
Suatu saat Pak Alimin ketika bertemu denganku berkata demikian “Dokter, nanti kalau menjumpai saya dalam keadaan tidak sadar lagi, saya minta saya disuntik mati saja” Pak Alimin memohon kepadaku.
“Tak mau aku menyuntik mati pasienku.” Aku segera mejawab permohonannya yang konyol itu.
“Wah kalau begitu, Dokter bukan sahabatku lagi” kata Pak Alimin yang seperti sudah kehilangan akal.
“Pak Alimin, mengapa mengajukan keinginan seperti itu”
“Dok, saya mempunyai Darah Tinggi, kalau nanti saya sadar dari pingsan suatu saat, saya mungkin akan mejadi lumpuh. Saya akan mati sebelah badan dan saya tidak bisa bekerja lagi. Untuk makan kami harus menjual rumah karena kami sudah tidak punya apa-apa lagi selain rumah yang kami tinggali. Nanti keluarga saya akan tinggal di kolong jembatan. Saya tidak mau itu terjadi” kata Pak Alimin dengan sedihnya.
Ya Tuhan, kok pikiran Pak Alimin seperti itu jauhnya. Aku sukar memahami jalan pikirannya.
Aku menjawab ”Aku tak mau menyuntik mati pasienku sendiri. Itu melanggar hukum. Aku sekolah dokter untuk menyembuhkan orang, bukan untuk membunuh orang.”
Pak Alimin termenung, kecewa dengan penolakanku tadi.
Bagaimana ya, aku dapat menyadarkan pikirannya yang sedang kacau itu. Akhirnya aku mempunyai ide jawaban yang mungkin sekali dapat menyadarkan Pak Alimin yang sedang putus asa ini.
“Pak Alimin, seandainya aku telah membuat Bapak meninggal dunia. Kemana perginya roh Bapak?” aku bertanya kepadanya.
“Roh saya akan berada di ahirat.”
“Iya benar, lalu Malaikat Penjaga akan bertanya kepada Bapak “Siapa namamu?”
Bapak akan menjawab “Nama saya Alimin.”
“Alimin bin siapa?”
“Alimin Bin Samsudin.”
Malaikat akan membuka Buku Kehidupan dan mencari nama itu pada tanggal itu.
Lalu Malaikat berkata “Akimin Bin Samsudin belum waktunya mengadap kesini. Pulanglah kembali.”
Aku melanjutkan “Roh Pak Alimin akan turun kembali ke dunia. Di dunia Bapak akan mencari rumah ( badan ) nya sendiri, tetapi rumahnya sudah tidak ada lagi karena jenasahnya sudah dikuburkan. Lalu Roh Bapak akan mencari-cari rumah dan jadilah Roh gentayangan. Apa Pak Alimin mau seperti itu?”
Pak Alimin diam seribu bahasa mendengar ucapanku.
Pak Alimin sekarang sudah meninggal akibat Koma yang ketiga kalinya. Meskipun dibawa ke Rumah Sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong lagi. Sekarang Pak Alimin sudah terbebas dari segala penderitaannya di dunia yang fana ini.
Demikianlah kisah Pak Alimin, Nus. Itulah yang telah kuceritakan kepadamu.
Karta melanjutkan dengan sebuah pertanyaan kepadaku “Nus, bagaimana komentarmu tentang kisah itu?”
Aku menjawab “Argumentasi kamu itu dari mana dapatnya sehingga Pak Alimin mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya?”
Karta menjawab “Aku pernah melihat sebuah film yang menceritakan tentang kematian, persis yang kuceritakan kepada Pak Alimin tadi. Rupanya argumentasiku untuk menolak mengakhiri hidupnya itu masuk di akal Pak Alimin.”
“Nus….. aku bersyukur bahwa aku tidak melakukan permintaan Pak Alimin tadi” kata Dokter Karta sambil menyedot sisa jus Alpukatnya.-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar