Jumat, 31 Juli 2009

Penipuan canggih

Sebagai seorang supir, aku bekerja di keluarga Pak Amir sejak 2 tahun yang lalu. Pak Amir berjualan barang kelontong disebuah pasar tradisionil di kota kami. Pak Amir dengan dibantu isterinya, Ibu Aminah setiap hari sibuk dengan urusan dagang. Mereka mempunyai putra satu-satunya, Umar yang sekarang ingin melanjutkan ke salah satu Perguruan Tinggi di kota Jakarta.
Biaya pendidikan di Perguruan Tinggi, apalagi di Jakarta memerlukan biaya yang cukup besar. Sebagai seorang supir, aku tidak mungkin menyekolahkan putra kami di Jakarta.
Suatu hari Pak Amir berkata kepadaku “Udin, kau antarlah Ibu ke Agent pemasangan iklan di jalan Asia. Kami ingin menjual mobil Kijang untuk membiayai sekolah si Umar. Biar nanti kami membeli mobil yang lebih murah harganya.”
Selesai mengantar Ibu Aminah memasang iklan di koran lokal, aku bertanya kepada Ibu Aminah “Bu, setelah Kijang ini laku terjual, bagaimana tugas saya. Apakah saya berhenti sebagai supir Ibu?”
“Jangan takut Din, sebelum kami mendapatkan mobil yang lain Paman si Umar akan memberi pinjaman mobil Kijang yang lain. Kamu tetap menjadi supir kami” jawab Ibu Aminah.
Seminggu kemudian datanglah 3 orang laki-laki ke rumah pak Amir. Mereka bermaksud membeli mobil Kijang yang diklankan pada koran lokal. Rupanya setelah tawar menawar harga mobil, memeriksa keadaan mobil dan surat-surat mobil, transaksi penjualanpun terjadi. Harga yang disepakati sebesar 60 juta rupiah. Mereka berjanji akan datang kembali keesokan harinya.
Dengan mengendarai mobil sedan warna putih bernomer polisi D, ketiga laki-laki itu mendatangi rumah Pak Amir. Setelah terjadi pembicaraan, tak lama kemudian Pak Amir meminta aku untuk mengantarkan Ibu Aminah bersama ketiga laki-laki itu ke salah satu Bank swasta papan atas di jalan Mawar. Aku melihat Ibu memasukkan Buku Tabungan Banknya ke dalam tasnya. Pak Amir tidak mengantar isterinya karena harus segera ke toko kelontongnya.
Rupanya Pak Amir dan Ibu Aminah menghendaki agar uang 60 juta hasil penjualan Kijangnya disetorkan langsung ke Rekening Tabungan Ibu Aminah. Permintaan Ibu Aminah ini telah disetujui oleh laki-laki berkumis, salah satu dari ketiga laki-laki itu. Mereka semuanya berperilaku sopan kepada Ibu Aminah.
Saat itu Bank banyak dikunjungi para nasabahnya. Memang Bank tersebut paling laris di kota kami. Laki-laki berkumis itu berkata kepada Ibu Aminah “Ibu tunggu saja, duduk di kursi, kami akan menyetorkan uangnya ke dalam Tabungan Ibu. Mari Bu, Buku Tabungannya.”
Ibu Aminah tanpa curiga sedikitpun menyerahkan Buku Tabungannya.
 Laki-laki berkumis itu segera mengambil antrian yang cukup panjang. Kawannya tak lama kemudian mendatangi laki-laki berkumis itu, mengadakan pembicaraan singkat, kemudian pergi meniggalkan ruangan Bank. Kawannya yang satu lagi tidak ikut masuk ke dalam Bank, rupanya menunggu di dalam sedan mereka. Sekitar sepuluh menit kemudian salah seorang kawanan ini mendatangi laki-laki berkumis yang sedang antri. Mereka berbicara sebentar dan tampak ada sesuatu yang diberikan kepada laki-laki berkumis tadi.
 Hampir satu jam kemudian, setelah mendapat gilirannya laki-laki berkumis itu mendatangi Ibu Aminah dan aku yang duduk di deretan kursi tunggu.
“Ini Bu, Buku Tabungannya. Sudah saya setorkan 60 juta atas nama Ibu.” sambil menyerahkan Buku tadi ke tangan Ibu Aminah.
Segera Ibu Aminah membuka helai demi helai dan mencari tanda cetakan Bank pada Buku Tabungannya.
“Benar sudah masuk 60 juta. Jadi saldo saya ada 64 juta rupiah” kata Ibu Aminah gembira.
“Mana surat-surat dan kunci mobil Kijangnya Bu. Kami akan kembali ke Bandung” kata laki-laki berkumis tadi.
Aku melihat Ibu Aminah menyerahkan semua apa yang diminta laki-laki berkumis itu. Aku sedih, mulai saat itu aku tidak dapat membawa mobil Kijang Ibu Aminah yang sudah terjual yang sudah aku rawat selama 2 tahun.
 Keesokan harinya Ibu Aminah dan aku kembali mendatangi Bak tersebut dengan maksud untuk mentranser uang sebanyak 10 juta untuk pembayaran uang masuk Perguruan Tinggi di Jakarta bagi putra, Umar. Setelah mengisi slip transver uang, Ibu Aminah mengikuti antrian yang pada saat itu tidak terlalu banyak nasabah. Sepuluh menit kemudian aku terkejut, ada teriakan dari arah loket penyetoran uang.
“Ya Tuhan. Aku tertipu. Aku tertipu.” teriak Ibu Aminah dengan histeris. Ibu Aminah terjatuh tak sadarkan diri. Ramailah suasana di ruangan Bank tadi. Beberapa Satpam segera menolong Ibu Aminah dan membaringkan Ibu Aminah di deretan kursi tunggu. Lima menit kemudian Ibu Aminah sadar dan minta diantar olehku menuju Loket transver uang.
Ibu Aminah bertanya kepada petugas Loket “Bagaimana ini bisa terjadi. Kemarin saya menjual Kijang dan uangnya sudah masuk ke Rekening Tabungan saya. Sekarang kok dikatakan uangnya tidak cukup?”
“Ibu ingin mentransver sejumlah sepuluh juta rupiah, tetapi Saldo Ibu yang terakhir di komputer kami hanya tinggal empat juta rupiah. Jadi tidak cukup untuk dana transver Ibu yang sepuluh juta rupiah ” kata petugas Bank.
“Tetapi menurut cetakan Buku Tabunghan saya Saldo saya ada enam puluh empat juta rupiah.”
“Cetakan ini dapat dari mana Bu, kok kodenya berbeda dengan kode Bank kami”.
“Kemarin saya menyerahkan kepada pembeli mobil Kijang kami untuk dicetakkan hasil setoran mereka sebesar enam puluh juta rupiah.”
“Wah Ibu sudah kena tipu. Rupanya mereka mencetak setoran itu dengan mesin cetak yang bukan milik Bank kami.”
Aku teringat kemarin salah satu laki-laki kawanan itu bolak-balik menghampiri laki-laki berkumis. Mungkin ia mengambil Buku Tabungan Ibu Aminah, mencetak hasil setoran 60 juta dan saldo terakhir 64 juta rupiah di dalam sedan putih mereka dan segera mengembalikan kepada laki-laki berkumis itu. Dilihat sepintas lalu, sepertinya laki-laki berkumis itu benar telah menyetorkan uang itu ke dalam Rekening Tabungan Ibu Aminah.
“Jadi bagaimana ini urusannya” kata Ibu Aminah kepada petugas loket
“Sebaiknya Ibu melaporkan kejadian ini kepada Polisi.”
 Kami pulang dengan lemes. Ibu Aminah lemes akibat tertipu, mobil hilang dan uang hasil penjualan mobil tidak ada. Aku lemes karena Ibu Aminah tidak dapat membeli mobil lain yang akan aku rawat. Aku akan menjadi pengangguran lagi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar