Selasa, 28 Juli 2009

Telepon Genggam



Di banyak tempat aku melihat banyak orang telah menggunakan telepon genggam. Sambil melintas jalan raya pun mereka berhalo-halo dengan lawan bicaranya. Berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu dimana harga telepon genggam masih mahal bagi kebanyakan orang di negara kita.
Saat ini sudah beredar bermacam-macam merk dan tipe telepon genggam. Setiap enam bulan sekali muncul tipe yang lebih baru. Dengan demikian harga bekas tipe yang lama makin turun.
Ketika aku berkumpul di kantin kantor tempat aku bekerja, aku sering mendapat guyonan teman-temanku.
“Hasan, teleponmu sudah ketinggalan jaman tuh. Gantilah telepon tukang ojek itu dengan yang baru seperti aku punya.”
Enak saja mereka mengatakan hal itu. Entah dari mana mereka mendapatkan telepon tipe baru mereka, padahal gajia bulanan mereka tak jauh berbeda dengan gajiku. Aku enggan mengganti telepon Nokia 8310 yang sudah menemaniku selama bertahun-tahun. Telepon itu masih bagus kwalitas suaranya, mudah di gunakan dan dapat menangkap siaran radio FM terdekat.
Temanku Abidin, seorang pensiunan dari suatu Departemen, juga menggunakan telepon genggam yang sama dengan milikku. Ia juga membanggakan teleponnya.
Pernah suatu hari berkata kepadaku “San, teleponku ini sudah jatuh beberapa kali tetapi tidak rusak. Telepon itu bandel dan aku menyukainya.”
Aku menjawab “Betul Din, teleponku juga bandel. Aku memiliknya sejak 4 tahun yang lalu, ketika harganya masih diatas dua juta rupiah. Sekarang yang bekasnya hanya dihargai sekitar lima ratus ribuan saja. Kalau mau dijual atau tukar tambah, kita mesti menambah uang cukup banyak untuk membeli tipe yang lebih baru.”
Suatu hari Abidin berkata kepadaku “San, menantu perempuanku kemarin dari Jakarta datang dan membelikan telepon genggam Nokia terbaru.”
Aku berkata “Wah, bagus lah, tentu Nokia terbaru mempunyai lebih banyak fasilitas.”
“Iya sih, tetapi aku kan tidak bisa kirim dan terima SMS sejak dulu. Aku hanya menggunakan telepon genggam hanya untuk bicara saja.”
“Gampanglah Din, belajar sebentar akan bisa kirim SMS. Kau mintalah kepada mantumu untuk diajari kirim SMS.”
 
Minggu depan kami bertemu lagi di suatu toko buku di kotaku.
“Hai San. Apa kabar?” seseorang menyapaku. Ternyata Abidin temanku.
“Baik Din. Bagaimana kabar telepon Nokian terbarumu. Apa sudah bisa kirim SMS?” aku menjawab sapaannya.
“Aku diajari mantuku kirim dan terima SMS. Kami saling kirim SMS dengan telepon genggamnya.”
“Wah baguslah kalau sudah bisa kirim SMS. Nanti kita bisa berkomunikasi melalui SMS yang biayanya lebih mudah dari pada kalau bicara langsung melalui telepon genggam” kataku.
Abidin diam dan menunduk.
Kemudian ia berkata “Itulah San, sekarang aku tidak bisa kirim SMS lagi.”
“Emangnya kenapa dengan teleponmu itu. Apakah rusak?”
“Bukan, San.”
“Lalu apa masalahnya?” aku bertanya dengan penasaran. Nokia model baru, lalu sudah diajari SMS, kok sekarang ia tidak bisa kirim SMS.Apa yang tidak beres?
“Begitu menantuku pulang ke Jakarta, aku lupa tombol mana yang harus aku pencet. Itulah masalahnya San.” Kata Abidin dengan wajah sedih.
“Iya sudah kalau begitu tukarlah Nokia barumu dengan Nokia aku punya, nanti aku ajari kau kirm SMS. Mau enggak?” aku menggoda Abidin.
“Aku tidak mau San.” Kata Abidin.
“Mengapa tidak mau.”
“Nokia baruku itu kan hadiah kenang-kenangan dari mantuku. Aku tak mau tukar dengan model lama lagi. San, tolong ajari aku kirim SMS ya. Nanti aku traktir kau makan di Rumah Makan Padang. Kau makanlah sepuas-puasnya. Engkau mau kan, San?” Abidin merayu aku.
Tawaran itu aku sanggupi. Apa susahnya mengajari Abidin, untuk kirim dan terima SMS? Siang itu sudah waktunya makan siang dan saat itu sedang tanggung bulan. Ada rejeki nomplok nih. Gayung bersambutlah. Terjadilah transaksi ajar- mengajari SMS. Aku puas dan Abidin puas, bisa kirim dan terima SMS. Win win solution-pun terjadilah.
Ketika aku pindah ke kota lain beberapa beluan kemudian, bila aku teringat temanku Abidin, aku tertawa dalam hati. Kok ada ya orang yang susah belajar SMS dengan telepon genggam yang sejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dipegangnya. Aku masih setia dengan Nokia 8310. Aku tidak membutuhkan banyak fasilitas yang belum tentu aku pergunakan. Aku ingin agar telepon genggam kembali kepada fungsinya yaitu menerima dan mengirim pesan suara dimana saja, kapan saja, siapa saja seperti slogan Coca-cola. Aku masih setia dengan “telepon tukang ojek”ku ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar