Minggu, 26 Juli 2009

Pak Mamad

 Suatu sore terdengar dering bel Ruang periksa saya. Setelah pintu terbuka, aku melihat seorang Bapak yang sudah kukenal sebagai pasien lama dan sangat akrab denganku.
“Selamat sore, Dok,” katanya.
“O... Pak Mamad, jangan panggil Dokter, panggil saja namaku, Pak . Mari masuk.” Aku mempersilahkannya masuk Ruang Periksa.
“Ada keluhan apa Pak?” aku bertanya.
“Biasalah, pusingnya kumat lagi.”

 Segera aku memeriksa pasienku ini. Tekanan darahnya 160/90 mmHg, denyut jantung lebih cepat dari normal, berat badan 80 Kg, lain-lain normal. Dibandingkan 10 tahun yang lalu, tekanan darahnya normal 120/80 mmHg, berat badan 60 kg, tidak teralu jelek untuk tinggi badan 167 Cm. Makin bertambah umur manusia cenderung akan mengalami kenaikan tekanan darah dan berat badan bila pola hidup dan pola makan tidak dijaga ketat. Sosial ekonomi Pak Mamad biasa-biasa saja. Mungkin ada faktor genetik sehingga badannya sekarang menjadi gemuk. Ia dan isterinya satu rumah dengan putra / anak sulungnya yang bekerja di sebuah toko telepon genggam. Dua orang putrinya lainnya sudah berkeluarga dan mengikuti suaminya yang tinggal satu kota.

“Tekanan darahnya sedikit tinggi, Pak. Apa ada masalah keluarga?” saya bertanya kepada Pak Mamad.
“Masalah sih tidak ada, tetapi semalam saya kurang tidur.”
“Mengapa susah tidur?” aku bertanya.
“Gigi geraham saya berlubang. Saya sudah berobat ke Puskesmas di dekat rumah tetapi sakit. Hari ini saya mau ke Puskesmas lagi. Mungkin perlu ditambal.”

 Sebuah gigi yang ukurannya relatip kecil bila dibandingkan dengan organ tubuh lainnya dapat menyebabkan seseorang menderita. Bila tidak segera diobati, akan menyebabkan gangguan emosi seperti mudah tersinggung, susah tidur, marah-marah, tidak selera makan dsb.

“Pak Mamad, ini resepnya.” Saya memberikan resep untuknya berupa anti pusing dan sedikit penenang generik .
“Belilah di apotik terdekat.” Sambil menyerahkan resep obat dan 2 lembaran uang dua puluh ribuan kepadanya.
“Wah terima kasih nih. Sudah diberi resep obat, bahkan diberi uang lagi. Semoga hari ini banyak pasiennya, Bud.” Kata Pak Mamad sambil tersenyum meninggalkan Ruang Perikaku.
“Amin.” Aku mengamininya.
“Hati-hati di jalan, ya Pak.” Kataku.

-----

 Tahun 1954 memasuki kelas 1 SD Zending school ( SD Kristen, Jl. Kromong Cirebon ), saya masuk sekolah sore hari mulai pukul 13.00 – 17.00. Jarak rumah kami dengan sekolahku cukup jauh, sekitar 3 km. Ayahku bekerja sebagai petugas pembukuan di sebuah toko kelontong. Ibuku menerima jahitan pakaian wanita dan dibantu seorang tukang jahit. Orang tuaku praktis tidak dapat mengantar dan menjemputku pulang dari sekolah setiap hari. Tugas antar-jemput ini diserahkan kepada Pak Mamad. Sekarang istilahnya Tukang ojek sepeda. Aku dudak dibelakang sepeda ayahku yang dikayuh oleh Pak Mamad. Saat itu sepeda motor dan mobil masih sangat sedikit jumlahnya.

 Pekerjaan Pak Mamad sebenarnya adalah Montir truk. Pamanku dan ayahku mempunyai 2 buah truk angkutan barang Cirebon – Jakarta. Umur truk yang sudah tua, jarak tempuh yang cukup jauh dan kondisi jalan Pantura yang seperti kubangan kerbau menyebabkan Truk itu hampir selalu harus diperbaiki setelah mengantar barang ke Jakarta dan kembali ke Cirebon. Truk tersebut disimpan di sebuah garasi dengan halaman yang cukup luas diseberang rumah kami ( sekarang telah menjadi T.K. Kristen, Jl. Merdeka ). Paman menyewa tanah itu dari seorang Bapak Haji, tetangga kami.

Suatu sore setelah jam pelajaran selesai, aku mencari-cari Pak Mamad yang biasanya sudah menunggu di halaman SD. Sampai semua murid SD pulang, Pak Mamad masih belum muncul juga. Hari makin gelap karena awan hitam menutupi sinar sang Surya. Aku ingin naik becak, tetapi aku takut dimarahi Ibuku dan takut diculik karena aku belum paham benar jalan-jalan di kotaku saat itu.

Di depan SD aku menangis, takut, marah karena jemputan tak kunjung tiba. Tak seorangpun lagi berada di depan SDku. Rupanya Ibuku saat itu juga merasa ada yang aneh, mengapa sudah sore begini aku masih belum pulang dari sekolah dan belum berada di rumah.
“Pak Mamad, mengapa Budi belum dijemput? Sekarang sudah lewat waktu jemputan.” tegur Ibuku kepada pak Mamad.
“Pasang ban Truk ini masih belum selesai dan malam ini truk akan berangkat ke Jakarta, Bu.” Jawab Pak Mamad.
“Iya sekarang saya, akan jemput Budi di sekolah.”
Aku menggerutu selama waktu yang ditempuh sepeda Pak Mamad menuju SDku. Apa jadinya nanti bila aku benar-benar tidak dijemput?

“Sudah jangan menangis lagi, Bud. Saya lupa menjemput. Mari kita pulang.” bujuk Pak Mamad kepadaku.
Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali, tetapi kali yang kedua dan seterusnya aku tidak menangis lagi. Aku sudah menghafalkan route jalan dari SD ke rumahku dan sebaliknya. Bila jemputan terlambat lagi aku akan pulang jalan kaki saja. Aku malu diledek tukang nangis oleh Pak Mamad. Saat itu ia tidak menyangka bahwa anak tukang menangis ini kelak menjadi seorang Dokter dan dimasa tuanya anak ini bisa mengobati penyakit tuanya.

-----

 
Waktu berjalan dengan cepat, aku lulus menjadi Dokter, menikah dan mempunyai 2 orang putra dan putri. Saat ini aku sudah pensiun dari Departemen Kesehatan R.I. Umurku sudah 58 tahun, putra kami sudah lulus juga sebagai Dokter Umum dan tahun depan adiknya akan diwisuda juga. Aku merasa sudah S2 ( Sudah Sepuh ). Sudah waktunya alih generasi.

Bila bertemu dengan Pak Mamad, saya bersyukur bahwa ia masih diberi umur yang panjang, sepanjang umur Ibuku saat ini, 78 tahun. Mereka diberi umur yang panjang. Sayang ayahku sudah dipanggil Tuhan 13 tahun yang lalu akibat serangan Stroke, tidak bisa lagi ngobrol dengan Pak Mamad montir pamanku. Hari-hari tertentu atau menjelang Hari Raya Idul Fitri, Pak Mamad mampir ke tempatku hanya untuk ngobrol-ngobrol atau berkonsultasi tentang kesehatannya. Tak lupa saya memberikan uang transport yang ia terima dengan senang hati. Lumayan katanya untuk beli beras, teh kesukaannya dan makanan burung Perkututnya.

Kring…….aku terkejut mendengar bel pintu Ruang Periksa ditekan oleh pasien berikutnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar