Bila kita menghadiri Pesta Ulang Tahun, maka akan terdengar nyanyian yang bertema “Selamat Ulang Tahun dan Semoga Panjang Umur.” Benarkah kita ingin panjang umur? Bagaimana kalau diberi panjang umur tetapi badan kita sakit-sakitan? Sebaiknya tema itu diubah menjadi “Semoga Awet Muda.” Siapa sih yang tidak ingin tetap muda?
Banyak Dokter yang telah mengadakan penelitian agar manusia tidak menjadi tua. Misalnya dengan membuat HCG, Human Growth Hormone yang konon dapat menghambat proses ketuaan. Sampai sekarang masih terjadi pro dan kontra atas hasil penemuan hormon ini.
Bulan yang lalu aku mengunjungi rumah sahabatku si Asikin. Sahabatku ini sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang putra dan putri. Ayah Asikin meninggal tiga tahun yang lalu akibat usia lanjut. Ibundanya yang sudah manula tinggal bersama keluarga Asikin. Ibunda Asikin bernama Juarti dan berumur sekitar 67 tahun.
“Selamat pagi Bu” aku menyapa Ibu Juarti.
Beliau acuh tak acuh ketika aku berkata seperti itu.
“Agus, pendengaran Ibuku sudah berkurang. Kalau ingin berbicara dengannya, kita harus berbicara di samping telinganya.” Kata Asikin.
“Selamat pagi Bu” aku menyapa Ibu Juarti.
Beliau acuh tak acuh ketika aku berkata seperti itu.
“Agus, pendengaran Ibuku sudah berkurang. Kalau ingin berbicara dengannya, kita harus berbicara di samping telinganya.” Kata Asikin.
Meskipun penglihatan Ibu Juarti masih cukup bagus, tetapi pendengarannya sudah banyak berkurang.
Aku mendekati Ibu Juarti dan bicara di samping telinga kanannya “Selamat pagi, Bu.”
Ibu Juarti menoleh ke arah aku berdiri dan tampak ia tersenyum.
Aku mendekati Ibu Juarti dan bicara di samping telinga kanannya “Selamat pagi, Bu.”
Ibu Juarti menoleh ke arah aku berdiri dan tampak ia tersenyum.
“Apakah Ibu sudah sarapan?” aku melanjutkan bertanya.
“Belum, aku belum sarapan” sahutnya. Tampak giginya tinggal dua.
Semula aku heran, katanya belum sarapan tetapi di sampingnya tampak sebuah piring yang masih tersisa sedikit Bubur dan Ibu Juarti masih memegang sebuah sendok.
Asikin berkata “Ibuku baru saja sarapan, tetapi Ibu sudah melupakannya.”
“Belum, aku belum sarapan” sahutnya. Tampak giginya tinggal dua.
Semula aku heran, katanya belum sarapan tetapi di sampingnya tampak sebuah piring yang masih tersisa sedikit Bubur dan Ibu Juarti masih memegang sebuah sendok.
Asikin berkata “Ibuku baru saja sarapan, tetapi Ibu sudah melupakannya.”
Aku pernah membaca sebuah artikel di sebuah harian nasional tentang penyakit Pikun atau Dementia senilis suatu keadaan kemunduran ingatan akibat proses umur lanjut. Rupanya benar kalau sudah manula, maka ingatan jangka pendeknya menjadi buruk, tetapi ingatan jangka panjangnya masih bagus. Kejadian masa kecil, ketika mereka duduk di SD atau ketika ia belajar naik sepeda masih diingatnya dengan baik. Mereka dapat bercerita panjang lebar tentang masa kecil mereka dengan lancar. Sedangkan kejadian yang masih baru atau baru saja dilakukannya sudah tidak ingat lagi. Suatu saat aku juga akan mengalami kedaan Dementia senilis, bila aku diberi umur panjang oleh Yang Maha Kuasa.
---
---
Sejak 2 hari yang lalu aku sedikit demam dan sakit menelan. Aku sudah mengurangi merokok, tetapi keluhanku masih belum membaik. Aku tak mau penyakitku ini berlarut-larut dan sore hari aku mengunjungi Dokter Umum langganan keluarga kami, Dokter Wisnubrata.
Aku menjadi pasien pertamanya.
Aku menjadi pasien pertamanya.
“Siapa nama anda dan dimana alamatnya?” Dokter Wisnu bertanya untuk dicatat di dalam lembar Kartu Pasienku.
“Nama saya Agus Abidin, tinggal di Jalan Ampere nomer tujuh, Dok” aku menjawab pertanyaannya.
“Apa keluhan saudara dan sudah berapa lama?”
“Saya merasa demam dan kalau menelan terasa sakit sejak dua hari, Dok. Saya belum minum obat apapun” aku menjawab lagi.
“Baik, silahkan berbaring” kata Dokter Wisnu sambil menunjuk ke arah bed pemeriksaan pasien.
“Nama saya Agus Abidin, tinggal di Jalan Ampere nomer tujuh, Dok” aku menjawab pertanyaannya.
“Apa keluhan saudara dan sudah berapa lama?”
“Saya merasa demam dan kalau menelan terasa sakit sejak dua hari, Dok. Saya belum minum obat apapun” aku menjawab lagi.
“Baik, silahkan berbaring” kata Dokter Wisnu sambil menunjuk ke arah bed pemeriksaan pasien.
Setelah memeriksa Tekanan darahku, meraba dahiku menyinari tenggorokanku dengan lampu senter, mendengarkan bunji jantung dan paru-paruku, Dokter Wisnu berkata “Sudah. Silahkan duduk kembali.”
Ketika Dokter Wisnu menulis hasil pemeriksaan kesehatanku, aku bertanya “Berapa biaya pemeriksaannya, Dok”
“Biaya periksa dua puluh ribu rupiah” jawabnya.
Aku memberikan uang selembar lima puluh ribuan baru kepadanya.
Ketika Dokter Wisnu menulis hasil pemeriksaan kesehatanku, aku bertanya “Berapa biaya pemeriksaannya, Dok”
“Biaya periksa dua puluh ribu rupiah” jawabnya.
Aku memberikan uang selembar lima puluh ribuan baru kepadanya.
Dokter Wisnu menerimanya dan dari laci mejanya, ia mengambil dan menyerahkannya kepadaku uang tiga lembar puluhan ribu.
Setelah selesai menulis selembar resep, Dokter Wisnu menyerahkannya kepadaku sambil berkata “Ambillah obat ini di Apotik terdekat.”
“Terima kasih, Dok”
Aku berdiri dan ketika aku hendak menuju ke pintu keluar, Dokter Wisnu berkata “Anda belum membayar biaya pemeriksaannya.”
Setelah selesai menulis selembar resep, Dokter Wisnu menyerahkannya kepadaku sambil berkata “Ambillah obat ini di Apotik terdekat.”
“Terima kasih, Dok”
Aku berdiri dan ketika aku hendak menuju ke pintu keluar, Dokter Wisnu berkata “Anda belum membayar biaya pemeriksaannya.”
Aku tersentak kaget. Rasanya aku sudah memberikan biaya pemeriksaan dan Dokter sudah memberikan uang kembaliannya kepadaku. Mengapa Dokter masih menagihnya.
Dengan tenang karena tidak merasa bersalah aku berkata “Dok, tadi saya sudah memberikan uang lembaran lima puluh ribuan yang berwarna biru dan Dokter sudah mengembalikan uang tiga lembar sepuluh ribuan. Ini uang kembaliannya” aku menjawab sambil memperlihatkan uang kembaliannya.
Dengan tenang karena tidak merasa bersalah aku berkata “Dok, tadi saya sudah memberikan uang lembaran lima puluh ribuan yang berwarna biru dan Dokter sudah mengembalikan uang tiga lembar sepuluh ribuan. Ini uang kembaliannya” aku menjawab sambil memperlihatkan uang kembaliannya.
Dokter Wisnu membuka laci mejanya untuk memeriksa benarkah tadi ia sudah memasukkan uang lima puluh ribuan berwarna biru? Beruntung aku menjadi pasien pertamanya, sehingga laci Dokter belum banyak terisi uang.
Akhirnya ia menyadari bahwa memang aku sudah membayar biaya pemeriksaan.
Akhirnya ia menyadari bahwa memang aku sudah membayar biaya pemeriksaan.
Dokter Wisnu berkata kepadaku sambil tersenyum “Sorry Gus, aku lupa.”
Dokter bisa lupa akan kejadian yang baru saja terjadi tetapi masih ingat akan gejala penyakit-penyakit, nama obat-obat, cara pemeriksaan yang dulu pernah dipelajari ketika ia masih muda saat mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran. Rupanya siapapun akan mengalami dementia senilis, bila diberi panjang umur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar