Sabtu, 25 Juli 2009

Manula

Hari ini 29 November 2005, genap 1 tahun aku memberikan pelayanan kesehatan bagi warga Panti Wreda Kasih GKI Pengampon Cirebon yang terletak di daerah Perumnas Cirebon.

Aku mendapat Surat Penugasan dari Majelis Jemaat GKI Pengampon untuk melaksanakan pelayanan kesehatan disana. Teman Sejawat Dr. Y. tidak dapat melayani di tempat ini lagi, karena mendapat tugas di suatu Instansi Kesehatan di Kabupaten Cirebon. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan Tenaga Medis, aku mendapat tugas tsb. Selain aku masih ada Teman Sejawat Dr. K. yang secara bergantian kami memberikan pelayanan pada setiap hari Sabtu pukul 11.00 - 12.00.

Semasa lokasi Panti Wreda ini di daerah Kejawanan, aku juga pernah memberikan pelayanan kesehatan, setelah Teman Sejawat seniorku yaitu Dr. A. B. dipanggil Tuhan. Untuk mendapatkan daya tampung yang lebih besar maka lokasi Gedung Panti dialihkan ke daerah Perumnas. Lokasi yang tenang dan udara yang bersih maka tempat ini lebih nyaman untuk ditempati.

Tidak adanya Catatan Kesehatan ( Medical Record ) yang memadai mendorong aku membuat Kartu Medrec yang ditempeli Pasfoto masing-masing warga Panti, sehingga lebih mudah mengenali pemiliknya. Hobi fotografiku banyak bermanfaat dalam pengambilan pasfoto tsb.

Setiap hari Sabtu tertentu, supir Gereja dengan rajin menjemputku dan mengantarkan pulang dari rumahku ke Gedung Panti. Sepulang dari Panti aku hampir selalu membeli buah-buhan Nangka, Pepaya atau lainnya di kios buah di depan Pasar Perumnas. Bila kami pergi bersamaa dengan Ibu Kun, uangku tidak laku untuk membayar harga buah yang aku beli karena sudah dibayar oleh beliau. Terkadang aku malu dibuatnya.

Di masa pensiunku dari Departemen Kesehatan aku masih buka praktek swasta di rumahku pada pagi dan sore hari. Uang gaji pertama sebagai PNS dan pensiun yang aku terima setiap tanggal 2 selalu aku berikan kepada Ibuku untuk membiayai segala kebutuhan rumah orang tuaku. Sudah sewajarnya bila aku mengembalikan uang orang tuaku yang sudah dipakai untuk membesarkan, menyekolahkan aku, dikembalikan lagi kepada beliau. Kami masih diberi rejeki oleh Tuhan dari hasil parktek swasta. 

Umur Ibuku sudah mencapai 78 tahun. Ayahku sudah dipanggil Tuhan 13 tahun yang lalu setelah sakit Stroke dan mengalami koma selama 3 hari. Seperti lazimnya Manula, Ibuku sering mengeluh sakit seluruh badan yang merupakan gejala Osteoporosis ( keropos tulang ), penglihatan tidak jelas akibat penyakit Katarak. Beberapa tahun yang lalu kedua Lensa matanya sudah dioperasi dan diganti Lensa buatan. Keluhan Telinga mendesing ( Tinitus ) juga kadang kala dikeluhkan Ibuku. Dengan pengobatan yang kuberikan kepada Ibuku, keluhannya tidak banyak lagi. Aku membayangkan kalau aku diberi umur panjang oleh Tuhan, maka aku juga akan mengalami keluhan-keluhan seperti itu.

Ketika aku memberikan pelayanan kesehatan bagi warga Manula di Panti Wreda. Keluhan-keluhan yang dilontarkan mereka sudah sangat hafal aku bagiku, mirip dengan keluhan Ibuku. Rata-rata umur warga Panti Wreda diatas 60 tahun. Sudah mempunyai KTP seumur hidup. Sering kali umur panjang tidak diikuti dengan tingkat kesehatan yang memadai, bahkan menurun banyak sesuai dengan meningkatkan umur.

Sering kali aku bertanya kepada masing-masing warga Panti. 
“Tadi pagi apakah sarapannya dihabiskan?”
Kalau jawabanya “ Habis, dok”. Aku senang karena orang yang masih mau makan maka ia masih punya keinginan dan harapan untuk hidup.
Harapan? Ya harapan. Kita perlu berharap agar Tuhan masih memberikan kehidupan agar hidup kita masih ada gunanya bagi orang lain. Berbahagialah mereka yang masih mau makan, karena mereka masih berharap diberi kehidupan oleh Tuhan. Bila seseorang yang sakit khronis sudah tidak mau makan selama 2-3 hari, ia mempunyai Prognosa ad malam ( harapan sembuh yang jelek ). Umurnya tidak akan lama lagi.

 Sering kali aku dipanggil keluarga pasien untuk memeriksa kesehatan salah satu anggota keluarganya. Biasanya sakit Stroke yang sudah bertahun-tahun, Kanker stadium lanjut, atau penyakit khronis lainnya. Begitu melihat tubuhnya yang sudah kurus, kulit membalut tulang saja, aku trenyuh melihatnya. 
Timbul pertanyaan di dalam hatiku “Mengapa Tuhan membiarkan mereka hidup menderita seperti itu selama bertahun-tahun?” Adakah rencana Tuhan yang kita tidak ketahui? Apakah tidak lebih baik bila Tuhan segera memanggil mereka segera agar penderitaanya segera berakhir dan biaya hidup kelurganya tidak dibebani biaya obat, rumah sakit dll yang sangat besar? Hanya Tuhan yang tahu.

---
 Sabtu siang itu terasa hangat menjengat, maklum udara kotaku tergolong panas seperti layaknya daerah di Pantura Jawa. Entah mengapa aku ingin minum air teh hangat sambil memeriksa kesehatan warga Panti Wreda. Tak lama kemudian pesananku tiba dan terletak diatas mejaku. Segera tanganku secara refleks kutarik dari gelas teh tsb. Panas sekali. Mana bisa aku minum air sepanas itu? Harapanku meminum air teh hangat tidak terkabul. Sejak saat itu aku usahakan agar di dalam tasku, aku membawa sebotol plastik air minum. Rasanya lebih enak bila aku tidak usah merepotkan orang lain hanya untuk minum.

 Pekerjaanku masih belum selesai, masih ada 3 orang yang belum kuperiksa. Udara kamar pemeriksaan yang sempit membuat aku merasa tidak nyaman. O.. rupanya pesawat AC tidak bekerja lagi. Hanya udara hangat yang berhembus karena Fan outdoor tidak berputar karena aliran strom listrik terganggu.

“Yong, Ayong…..” aku memanggil Ayong, salah satu warga Panti.

“Ada apa, Dok?”

“Tolong pinjam Kipan angin yang di ruang makan dibawa kemari. Disini udara panas sekali.”

Hembusan udara terasa sedikit menyejukkan badanku. Aku sudah melaporkan kepada Pak S. dan Ibu R. sedikitnya sudah empat kali, tetapi setelah diperbaiki AC tidak berfungsi lagi ketika akau melakukan tugas pelayanan di Panti. Aku harus puas dengan keadaan di ruang pemeriksaan kesehatan itu. Keadaan yang tidak nyaman menyebabkan aku tidak dapat berkonsentrasi memeriksa kesehatan pasien. Keadaan berubah setelah di dalam Rapat Pleno Majelis Jemaat dibahas tentang kerusakan AC ini. AC dapat menghembuskan udara yang sejuk, meskipun tidak sesejuk udara di Gunung Guci, tapi lebih baik dari pada hembusan Kipas angin. Aku berterima kasih kepada petugas yang telah menghidupkan AC ini dari keadaan koma selama beberapa minggu.

---

Ema S, 71 tahun dengan berat badan 30 Kg, mengeluh sering batuk dan sesak nafas. Dari Foto yang pernah dibuat ternyata ia menderita Bronchitis khronis ( radang paru menahun ) dan Cardiomegalia ( pembesaran jantung ). Kami memberikan pengobatan antibiotika, anti sesak nafas, tablet penguat Jantung dan macam-macam Vitamin & Mineral. Keadaan kesehatannya tidak membaik bahkan berat badan makin menurun. Dalam 3 bulan menjadi 27 Kg. Selera makan menurun banyak, makan 2 suap lalu berhenti. Sesak nafas tidak berkurang, susah tidur. Aku mempunyai firasat mungkin sebentar lagi akan dipanggil Tuhan. Semua obat tetap diberikan.

Siang itu aku didaulat oleh Ibu P. untuk mewakili Pengurus Panti Wreda dalam acara perpisahan kerja praktek para mahasiswa STIKES dari Kabupaten Cirebon. Semula aku menolak sebab kapasitasku bukan sebagai Pengurus Panti tetapi hanya sekedar pelayan kesehatan. Aku melihat roman muka Ibu P. yang sudah putus asa sebab panggilan melalui telepon kepada semua para Pengurus, tidak satupun yang dapat hadir ketika mereka dibutuhkan. Sedikitnya ada 5 orang yang termasuk Pengurus tetapi tidak ada satupun yang dapat hadir ketika diperlukan.

Akhirnya aku berprinsip “Tiada rotan, akarpun jadi.” 
Aku menyatakan kepada Ibu P. “ Kalau tidak ada Pengurus Panti, biarlah aku yang mewakili dalam acara penting ini.” 
Acara perpisahan berjalan mulus, bahkan kami dapat mengambil foto bersama. Para mahasiswa memberikan 2 bungkusan besar sebagai kenang-kenangan untuk Panti Wreda. Salah satu bungkusan itu konon sebuah Rice cooker, untuk memasak Nasi.

“Dok, Ema S. saat ini makin parah dan tidak mau bangun” begitu laporan salah satu Suster Panti. Aku sempatkan masuk ke kamar Ema S. Keadaannya makin parah, pernafasan sudah makin lambat dan denyut Jantung melemah. Rupanya waktu jemputan makin mendekat. Tak banyak yang dapat kami lakukan selain meminta datang keluarganya yang berdomisili di Jatiwangi (?) dan berdoa.

Keesokan harinya ada telepon yang mengatakan bahwa Ema S. sudah dipanggil Tuhan. Dengan mobil Gereja aku, Bapak & Ibu Pdt T. dan Ibu K. pergi ke Panti Wreda. Setelah meyakinkan ketiadaan Ema S. , aku membuat Surat Keterangan Kematian yang dibutuhkan untuk proses pemakamannya. Selamat jalan Ema S….

Berkali-kali aku melihat seseorang rekan atau pasien masih sehat dan berkali-kali pula aku melihat mereka sudah meninggalkanku dengan cepat. Tadi pagi aku masih bersalaman degan Pak R. tetapi selang 8 jam kemudian aku mendengar ia telah tiada karena mobilnya ditabrak kereta api. Yang lain menderita bertahun-tahun, tetapi ada juga hanya dalam bilangan menit sudah dipanggil Tuhan. Siapapun, apapun pangkatnya, dan berapapun banyak hartanya, tetapi kalau sudah saatnya tiba, tidak akan ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalangiNya.

Sebelum ajal tiba, aku ingin berbuat baik dan menolong orang lain, seperti kalimat:

Bila ingin bahagia beberapa jam, pergilah memancing.

Bila ingin bahagia sebulan, menikahlah.
Bila ingin bahagia selamanya, tolonglah orang lain.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar