Sabtu, 25 Juli 2009

Kebutuhan Hidup


Setelah lulus SMP di sebuah kota kecil, aku melanjutkan sekolah di salah satu SMU di kota yang lebih besar yang berjarak 100 km dari kota kelahiranku. Aku tinggal di rumah Pamanku, Dr Hendra, seorang dokter umum. Pamanku mempunyai seorang isteri, 3 orang anak. 2 putranya yang sudah menyelesaikan SMU mereka dan melanjutkan sekolah di SMU dan Perguruan Tinggi di kota lain. Anak yang bungsu, Titin, seorang putri yang masih duduk di bangku kelas 5 SD.

Pamanku sudah memasuki masa pensiunnya dari Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kesehatan. Meskipun sudah pensiun Pamanku masih tetap melakukan praktek swasta pada pagi dan sore hari di bagian samping rumah. Pagi dan sore hari Pamanku sibuk menggeluti profesinya sebagai dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan. Kadang-kadang ada keluarga pasien yang memanggil Paman untuk memeriksa salah satu anggota keluarganya yang sakit di rumahnya.

Keluarga Pamanku mempunyai seorang supir, Pak Toto. Seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahunan yang sudah bekerja sejak sebelum aku tinggal di rumah Paman. Pak Toto sikapnya cukup sopan dan ramah kepada anggota keluarga Pamanku. Ia pernah bercerita bahwa ia harus menanggung biaya hidup keluarganya yang lima orang, termasuk ia sendiri, isterinya dan ketiga putra-putrinya yang masih duduk di SD. Mempunyai seorang Supir berarti mempunyai tanggung jawab kepada sebuah keluarga. Tugas Pak Toto selain membersihkan mobil sedan Paman, juga mengantar Ibu belanja, mengantar dan menjemput Titin sekolah.

“To, mobil sudah dibersihkan?” tanya Pamanku kepada Pak Toto, suatu pagi hari.
“Sudah Pak.” Jawabnya.
“Sebelum menjemput Titin di sekolah, antarkan Ibu. Ibu akan mengunjungi salah seorang temannya yang sedang sakit.”
“Baik Pak, tapi…”
“Tapi apa ..To” kata Paman.
“ Kalau boleh saya mau pinjam uang ” kata Pak Toto.

“ Untuk apa uang itu dan berapa?” sahut Pamanku.
“Lima puluh ribu, untuk memperbaiki atap rumah kami yang bocor,” kata Pak Toto.

Aku mendengar pamanku berbisik kepada Bibiku “ Hutangnya yang tiga ratus ribu belum lunas, sekarang mau pinjam lima pulu ribu lagi.”
Meskipun demikian Pak Toto masih dapat menerima pinjamannya tadi yang akan dipotong secara mencicil setiap bulan kepada Paman.

Beberapa bulan kemudian menjelang ujian akhir, suatu malam ketika aku melintas ruang keluarga Paman, aku mendengar Paman berkata kepada Bibiku “Hutang Toto sudah mencapai tujuh ratus ribu. Setiap bulan ketika aku mau memotong uang gajinya, ia selalu berkata, bulan ini jangan dipotong Pak. Kami memerlukan untuk biaya berobat anaknya lah, untuk beli buku sekolah anak-anaknya lah dan lain-lain.
“Apa Bapak sudah memperingatinya?” sahut Bibiku.
“Sudah sih sudah, tapi sepertinya Toto tidak mau mengerti tuh”, sahut Paman dengan sengit.
“Apa lebih baik kita berhentikan saja supir kita itu? kata Paman.
“Kalau diberhentikan bagaimana denganku Pak. Aku kan tidak bisa mengemudikan mobil.” Bibiku menjawab dengan lemah.
“Begini saja, besok Ibu ikut Kursus Mengemudi selama 1 bulan. Setelah mahir mengendarai dan mempunyai Surat Ijin Mengemudi, Toto kita berhentikan dari tugasnya. Dengan demikian pengeluaran bulanan kita menjadi lebih irit. Biaya sekolah si Nanang dan Nono di SMU dan Universitas juga makin membesar, karena uang sekolah dan kuliah mereka makin naik.
“Kalau begitu aku setuju” jawab Bibi.

Dalam bulan berikutnya aku tidak begitu memperhatikan perkembangan di dalam rumah Pamanku, maklumlah karena aku sibuk dengan persiapan ujian akhirku.
Suatu siang Paman tampak marah besar.
“Bu coba pikir, apa aku yang salah atau si Toto yang bikin gara-gara” kata Pamanku kepada Bibi.
“Ada apa sih Pak, kok marah-marah begitu “ Bibiku bertanya kepadanya.
“Tadi pagi, aku dapat panggilan dari pasienku. Setelah selesai memeriksa pasien di rumahnya dan ketika baru saja aku duduk di jok belakang mobil, Toto berkata “Bagian saya mana Pak?”
“Bagian apa, To” Paman balik bertanya.
“Bapak kan baru saja mendapat uang setelah memeriksa pasien tadi, saya yang antar Bapak ke rumah pasien itu. Jadi saya harus kebagian dong. “
Paman mejawab “Pak Toto kan sudah mendapat gaji dari saya setiap bulan. Saya pergi kemana, pergi ke rumah pasien atau lainnya, saya pikir itu hak saya dan pak Toto sudah saya bayar dan tidak perlu menuntut uang apa-apa lagi dari saya.”

Entah dari siapa bisikan yang meracuni pikiran Pak Toto itu, sehingga ia menagih uang ketika majikannya mendapat bayaran dari pasiennya.
Paman berpikir hutangnya sudah banyak dan enggan membayar cicilan setiap bulan, sekarang mau bikin gara-gara lagi.

Bibiku turut emosi juga dan merasa ia sudah dapat mengemudikan mobil dan sudah mempunyai SIM, lalu memihak suaminya “Pak, saya kira pak Toto tidak perlu kita pelihara lagi. Lebih baik diberhentikan saja.”

Akhir bulan saat gajian supir Pamanku dipanggil menghadap dan terjadilah pembicaraan “To, ini gaji bulan sekarang dan mulai besok, artinya bulan berikutnya Pak Toto tidak usah bekerja pada kami lagi.”
“Kalau Bapak sudah tidak membutuhkan tenaga saya lagi, baik. Saya bisa cari kerja di orang lain” kata Pak Toto.
“Silahkan cari kerja di tempat lain, tetapi bagaimana hutang Pak Toto yang tujuh ratus ribu yang belum lunas?” tanya Pamanku.
“Saya akan bayar hutang saya, kalau saya sudah punya uang” jawab pak Toto dengan entengnya. 
Mungkin ia sudah ancang-ancang kalau ia diberhentikan, ia sudah ada tempat yang akan menampungnya dan ia bikin gara-gara agar ia diberhentikan yaitu dengan meminta uang setiap Pamanku mendapat panggilan dari pasiennya.

Hutang tinggal hutang. Sampai aku meninggalkan rumah Paman untuk melanjutkan sekolahku di Perguruan Tinggi di kota lain dan pada saat aku berkunjung ke rumah Paman, satu tahun kemudian, kata Bibi hutang Pak Toto masih belum dilunasi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar