Ketika ia melamarku untuk menjadi isterinya, ia bukanlah seorang perokok. Setelah menikah dan ia dipromosikan jabatan yang lebih tinggi di kantornya. Ia menjadi seorang perokok. Aku perhatikan hampir semua teman yang berkunjung ke rumah kami adalah perokok. Ruang tamu penuh dengan asap rokok kalau mereka datang ke rumah kami. Aku benci asap rokok.
“Bu, besok sore kau antarlah aku pergi ke Dokter Herman.” pinta suamiku suatu malam kepadaku. Dokter itu langganan kami untuk berobat.
“Aku kok merasa sedikit sesak nafas” ia berkata kemudian.
“Apa kataku, hentikan merokok. Rokok itu mengganggu kesehatan”
“Ah..sok tahu kau. Bisa engga kau antar aku ke dokter?” kata suamiku lagi.
“Bisa. Bisa. Bapak sediakan saja waktu besok sore. Jangan terima tamu besok sore ya” aku menjanjikan.
“Ada keluhan apa Pak Simon? Sudah lama tidak kontrol kesehatan.” Kata Dokter Herman menyambut kami di ruang prakteknya.
“Maklumlah dok, saya sibuk akhir-akhir ini.” suamiku menjawab asal-asalan.
“Sibuk atau sibuk?” kata dokter Herman yang suka humor itu.
Geli aku mendengar dialog mereka. Ah… tak usah pakai basa-basi segala. To the pont sajalah. Aku mulai jengkel melihat percakapan itu.
Aku memotong percakapan mereka “Dokter, suamiku yang perokok ini, mengeluh sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Akhirnya ia memintaku untuk mengantarnya datang kesini. Tolong Dok, periksalah suamiku ini.”
“Baik, Pak Simon, silahkan berbaring di bed.” Kata dokter Herman sambil menunjuk bed pemeriksaan.
Setelah melakukan pemeriksaan, Dokter Herman mempersilahkan suamiku duduk kembali di kursi di samping aku.
“Pak Simon anda terserang Bronchitis menahun. Kemungkinan besar akibat rokok yang Bapak hisap setiap hari. Berapa pak rokok yang Bapak hisap setiap hari?” tanya dokter Herman kepada suamiku.
Dokter Herman berkata lagi sambil menghitung “Tiga pak kali enam ribu sama dengan delapan belas ribu rupiah. Dengan uang sebanyak itu Bapak bisa membeli 1kg beras terbaik, 1 kilogran telur ayam, 1 liter susu sapi dan 1 sisir pisang untuk keluarga Bapak.”
“Pak Simon, berhentilah merokok, agar penyakit Bapak sembuh.” pinta Dokter Simon kepada suamiku.
“Kalau Pak Simon tidak menghentikan rokok, percuma saya beri resep obat. Yang utama adalah tidak ada asap rokok di dalam saluran nafas. Kalau Bapak tidak mau berjanji akan berhenti merokok, saya tidak akan memberi resep obat. Percuma saja” ancam Dokter Herman.
Aku memihak Dokter dan berkata “Pak, dengarlah advis Dokter. Percuma Bapak pergi ke Dokter, kalau Bapak tak mau berhenti merokok.”
Melihat ada dua lawan satu, suamiku makin bertahan dengan berkata “Percuma Dok, merokok atau tidak merokok akan mati juga.”
“Berdasarkan statistik kedokteran orang perokok akan lebih dulu meninggal dunia dari pada orang bukan perokok. Artinya bapak akan meninggal lebih dulu dari pada orang lain. Bapak pilih yang mana?” perkataan Dokter Herman memojokkan suamiku.
Suamiku diam saja. Aku kasihan melihatnya, lalu berkata “Iya dok, lebih baik berhenti merokok, agar sehat. Masalah mati dan hidup kita serahkan kepada Tuhan dan kita berusaha hidup yang sehat. Betul kan Dok?”
Rupanya perdebatan kecil di ruang praktek itu, menyadarkan suamiku, lalu suamiku berkata “Baiklah Dok, saya berjanji akan berhenti merokok, tetapi tolonglah kali ini saya diberi resep obatnya agar batuk saya reda agar saya dapat tidur.”
“Baiklah, kalau begitu akan saya tuliskan resep untuk pak Simon. Banyak minum ya Pak agar dahaknya encer dan mudah dibatukkan” Dokter Herman menasehati suamiku yang sudah menyerah untuk berhenti merokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar