Rabu, 29 Juli 2009

Minta Sepeda motor


Kehidupan kami di suatu RT, Rukun Tetangga di kotaku tampak tenang. Kehidupan bertetangga dapat dikatakan baik. Tidak heran bila kami saling mengenal satu sama lainnya.
Tetangga di sebelah rumah kami adalah Pak Haryono. Bapak yang sudah setengah baya ini hidup dengan isterinya dan 2 orang anaknya. Anaknya yang sulung seorang putri, Nani telah menikah dan tinggal bersama dengan suaminya yang pegawai disalah satu kantor swasta. Anaknya yang bungsu, Suyono baru saja menyelesaikan pendidikan di salah satu SMU di kota kami dan saat ini melanjutkan di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta.
Pak Haryono mempunyai 20 becak yang disewakan kepada para tukang becak. Ia menerima Rp. 2.000,- utk setiap becaknya setiap 24 jam. Segala kerusakan becak ditanggung oleh si penyewa. Tidak semua becaknya itu dapat dipergunakan. Setiap hari ada saja becak yang diperbaiki. Hari ini ada 2 becak yang bannya kempes, hari lain ada 1 becak yang rantainya mesti diperbaiki dan lain lain kerusakan. Pak Haryono membantu para penyewa memperbaiki becak-becaknya. Kesibukan Pak Haryono setiap hari adalah mengurusi semua becaknya. Sebagai bandar becak Pak Haryono, hidupnya cukup tenang. Biaya hidup sehari-hari dipenuhi dari hasil menyewakan becak-becaknya. Biaya pendidikan Suyono di tanggung oleh kakaknya dan suaminya.
Dalam kehidupan bertetangga Pak Haryono cukup supel dan mau membantu tetangga yang minta bantuannya. Setiap hari ada saja tetangga yang meminjam pompa secara gratis untuk mengisi angin sepeda mereka terutama pada saat-saat berangkat ke sekolah.
Aku yang bekerja di salah satu Kantor Pemerintah, pada malam hari sering mengunjungi rumah Pak Haryono untuk sekedar ngobrol di rumah. Rumahku persis disebelah rumahnya. Suatu malam Pak Haryono berkata “Agus, aku ingin curhat kepadamu.”
“Ada masalah apa Pak?” aku bertanya.
“Beberapa hari yang lalu Suyono, anakku mengirim surat dari Jakarta.”
“Apa isi suratnya, Pak?” aku bertanya lagi.
“Ia minta disediakan uang sebanyak Rp. 8.000.000,- untuk membeli sepeda motor bekas” Pak Haryono melanjutkan.
“Sepeda motor Pak?” aku bertanya lagi.
“Betul sepeda motor. Padahal jarak rumah kos ke sekolahnya hanya 10 menit berjalan kaki. Katanya ia malu kalau setiap hari ia berjalan kaki ke sekolahnya. Hampir semua temannya naik sepeda motor atau mobil pemberian orang tuanya.”
“Sudah bisa sekolah saja sudah bagus ya Pak. Lagi pula jarak ke sekolahnya tidak terlalu jauh dan anggap saja berolah raga setiap hari.” Aku memberi alasan yang membesarkan hati Pak Haryono.
“Itulah Gus, masalahku sekarang ini.”
“Lalu apa Bapak sudah ada uangnya?” aku bertanya lagi
“Belum, aku bermaksud menjual 4 Becak. Kalau masing-masing 2 juta rupiah maka pas menjadi 8 juta rupiah, tetapi aku perlu waktu untuk mencari pembelinya. Tak ada tukang beca yang mau membelinya, mereka cukup sewa 2 ribu rupiah setiap hari, mereka sudah dapat menghidupi keluarganya. Aku harus mencari bandar becak yang lain, tetapi kalau borongan becakku hanya ditawar 6 juta untuk 4 becakku. Aku bingung, Gus.” Kata Pak Haryono

Aku merasa iba kepada tetanggaku ini.
“Lalu apa jawab Bapak kepada Suyono?”
“Aku bilang coba tunggu sampai bulan depan. Kalau tak ada pilihan lain maka 6 becakku akan kujual kepada bandar becak yang menawar becakku. Ini berarti penghasilanku setiap hari akan berkurang banyak. Kami juga membutuhkan biaya berobat selain untuk makan. Kami sudah tua dan sakit-sakitan. Sepertinya anakku itu tidak punya perasaan” Pak Haryono mengeluh.
“Iya sudah Pak, sabar saja. Barangkali ada bandar becak yang lain yang mau membeli becak Bapak dengan harga yang bagus atau Tuhan memberikan pemecahan masalah bapak” aku menghiburnya.
----
Bulan berikutnya aku ngobrol lagi dengan Pak Haryono.
“Bagaimana Pak ada perkembangan baru dengan penjualan becak Bapak?”
“Wah, Gus… Pak Bandono, bandar becak yang mau membeli becakku sekarang dirawat di rumah sakit. Kata keluarganya, ia sakit Tipes dan itu membutuhkan biaya. Ia membatalkan pembelian becak-becakku” Pak Haryono menjawab pertanyaanku.
“Lalu bagaimana Pak dengan kedatangan Suyono yang akan pulang meminta uang 8 juta itu?”
“Entahlah Gus, aku belum punya uangnya” Kata Pak Haryono lemes.
------
Siang itu terjadi keributan di rumah Pak Haryono. Rupanya Suyono datang dan marah-marah kepada Bapaknya ketika uang yang dimintanya belum tersedia. Ia memecahkan semua kaca jendela rumah mereka dan membanting piring yang ada di meja makan. Pak Haryono tidak kalah sengitnya dan memaki-maki putranya.
“Anak tidak tahu diri. Sudah disekolahkan dengan biaya besar. Sekarang minta beli sepeda motor. Aku tak punya uang. Carilah uang sendiri agar kau bisa membeli sepeda motormu” bentaknya kepada Suyono, putranya.
“Aku malu Pak. Malu kepada teman-temanku. Mereka naik sepeda motor kalau ke Kampus. Apa Bapak tidak mengerti perasaanku?’ balas Suyono.
Praaang…… terdengar kaca jendela dilempar sebuah piring oleh Suyono.
Para tetangga berdatangan, ingin tahu apa yang telah terjadi di rumah bandar becak tetangga kami itu.
Tiba-tiba Pak Haryono pergi meninggalkan rumahnya, meninggalkan isteri dan putranya. Mukanya merah menahan amarahnya. Stres berat menimpa dirinya. Aku berharap agar tidak terjadi apa-apa yang lebih memberatkan penyakit Darah Tingginya.
Suyono masih marah-marah. Kemarahannya beralih kepada Ibunya. Ibunya hanya dapat menangis. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Ibu Yati tetanggaku mempunyai ide. Idenya minta bantuan Dokter. Ia mempunyai Dokter langganan. Ia menelepon Dokternya dari sebuah Wartel di RT kami. Tak lama kemudian Ibu Yati datang dan memberitahu kami bahwa Dokternya tidak mau datang untuk urusan keluarga Pak Haryono.
Aku bertanya” Ibu Yati, apa alasan Pak Dokter tidak mau datang?”
Ibu Yati menjawab “Meskipun aku sudah memohon Pak Dokter untuk dapat datang tetapi ia menjawab katanya itu bukan wewenang dokter untuk menyelesaikan masalah keluarga. Kalau terjadi keributan sampai merusak rumah, panggillah Polisi.”

Tiba-tiba aku teringat akan Pak Dedi. Ia seorang Polisi yang bertugas dibagian Intel Kantor Polisi. Kami mendatangi rumah beliau. Pak Dedi yang saat itu baru kembali dari tugasnya, mau membantu kami. Akhirnya Suyono dibawa ke Kantor Sektor Kepolisian terdekat. Ia diinterogasi semalaman dan keesokan harinya, Suyono diperbolehkan pulang setelah berjanji tidak akan berbuat keributan atau menganiaya orang tuanya.
Rupa ia sadar akan perbuatannya. Tanpa pamit kepada orang tuanya, ia kembali ke Jakarta.
Aku membatin “ Kualat kau Yono. Anak tak tahu diri.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar