Selasa, 28 Juli 2009

Uang dan teman.


 Saat itu aku duduk di kelas III SMU. Mesin sepeda motorku mesti diperbaiki, tenaganya sudah berkurang. Maklum sepeda motor tua. Aku menabung hari demi hari dengan menyisihkan uang saku. Sudah terkumpul sebanyak Rp. 30.000,- cukup untuk biaya perbaikan sepeda motorku atau setara dengan harga beras setengah kwintal saat itu.

 Sore ini teman sekampugku datang kerumahku. Setelah berbasa-basi ujung-ujungnya temanku ini bermaksud ingin meminjam uang kepadaku. Alasannya uang itu untuk biaya berobat ibunya yang sedang sakit.

“Aku tak punya uang sebanyak itu”, kataku kepadanya.
“Tolonglah Bud, lusa ayahku gajian, uangmu akan kukembalikan, jawab Jaedi.
“Aku akan memperbaiki mesin sepeda motorku di bengkel.” aku ngotot tak mau meminjamkan uangku kepadanya.
“Uang itu kami butuhkan untuk biaya berobat Ibuku, sakit Ashmanya kambuh lagi, semalaman ia tak bisa tidur,” Jaedi merengek.

Aku tak tega kalau Ibu temanku itu meninggal dunia seperti salah satu keluargku yang meninggal bulan lalu akibat penyakit Ashma berkomplikasi Radang paru-paru. Saat itu aku juga perlu uang untuk sepeda motorku, aku tak mau kalau aku naik sepeda lagi ke sekolah.

“Budi, pinjami aku uang. Lusa ayahku gajian, akan kukembalikan uangmu.” Sekali lagi Jaedi merengek.
Lusa kan 2 hari lagi, tidak lama. Biarlah aku pinjamkan uangku kepadanya. Aku mengalah.

“Berapa sih uang yang kauperlukan?” aku bertanya kepadanya.
“Hanya tiga puluh ribu rupiah saja”, kata Jaedi.
“Kau ambillah TV 14 inchi kami, kalau kau tak percaya.” Jaedi melanjutkan rayuannya.

Aku takut itu barang curian dan nanti aku dituduh sebagai penadah barang curian. Aku menolak mengambil TV nya.

“Baiklah aku pinjamkan uang sebanyak itu tetapi segeralah kau kembalikan lusa. Kalau tidak, awas kau,” aku mengancamnya.
“Baik Bud, engkau temanku yang baik sekali.” 
Aku benci mendengar rayuan gombalnya.

2 hari kemudian aku naik sepeda untuk sampai di sekolah.
Hari yang dijanjikan tiba. Aku menunggu di rumah kedatangan Jaedi yang akan mengembalikan pinjamannya kepadaku. Sampai malam hari, aku tidak melihat batang hidungnya.

“Puih..., sialan benar itu orang. Penipu. Penipu,” aku marah besar.
Sudah ditolong lupa mengembalikannya.
Aku tunggu lusa-lusa berikutnya, tetapi Jaedi tidak kunjung datang kerumahku. Dengan nekat aku datangi rumahnya di kampungku. Ternyata Ibunya sehat-sehat saja, tidak pernah menderita sakit Ashma. Ibunya mengatakan bahwa Jaedi pergi ke Jakarta tepat sehari setelah ia menerima uang dariku. Penipu kau Jaedi.

 Aku pulang dengan kecewa dan marah. Kok bisa-bisanya Jaedi temanku menipuku dengan alasan yang dibuat-buat, Ibunya sakit. Wah kualat tuh orang…..kualat kau.
Aku pernah membaca sebuah nasihat di sebuah majalah yang berbunyi: “Kalau engkau meminjamkan uang kepada temanmu, maka engkau akan kehilangan kedua-duanya.”

 Benar sekali. Aku kehilangan uangku dan temanku, aku kehilangan kedua-duanya. Sampai saat ini aku tidak pernah bertemu lagi dengan Jaedi, temanku itu. Jangan pernah meminjamkan uang kepada teman. Kalau ada uang, berilah dengan ikhlas sebanyak yang kita mampu. Tak usah dikembalikan. Tak usah pura-pura meminjam, yang akibatnya kita akan selalu menunggu-nunggu pengembalian uang kita. Lebih baik beri dan lupakanlah. Tidak ada Stres berkepanjangan dan tidak ada kemarahan. Hal-hal seperti itulah yang bisa menjadi faktor pencetus penyakit Darah Tinggi.-








Tidak ada komentar:

Posting Komentar