Jumat, 31 Juli 2009

Pantai Jimbaran



Don’t die, before see Bali Island. Jangan mati, sebelum melihat Pulau Bali.
Begitu slogan orang Barat yang berbau promosi. Bahkan bagi sebagian orang Australia, Bali adalah tanah air nereka yang kedua. Bali dan Australia masing-masing mempunyai pantai yang indah, tetapi mengapa orang Australia saat liburan lebih suka pergi ke Bali yang dapat dijangkau selama 5 jam penerbangan pesawat? 
Bali mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak heran bila ada kesempatan, orang akan berusaha pergi melihat Pulau Bali, Pulau Kayangan. Wisman mancanegara menganggap pesiar di Bali lebih murah dari pada di negaranya sendiri. Shooping di Bali dirasa lebih murah bila memakai dolar ( USA / Australia ) untuk membeli produk dengan harga IDR ( Indonesian Rupiah ). Hal ini bertentangan denagn kemampuan wisman dalam negeri yang membeli produk disana dengan IDR mereka sebab kebanyakan produk telah dihargai dengan Dolar. Saya pernah melihat harga sepasang sandal jepit biasa US$8.0, di salah satu counter di Ngurah-Rai Airport, Denpasar pada tahun 2000. Kurs saat itu sekitar Rp. 7.000,- an. Dengan uang sebanyak itu berapa pasang sandal jepit kalau kita membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta? Bagi mereka US$8.0, no problem.
Sayang promosi yang gencar dilakukan oleh banyak pihak, tidak berdampak positip akibat ulah para teroris yang telah melakukan pemboman di Bali sampai dua kali. Hancurlah dunia pariwisata Bali, jumlah kunjungan yang merosot tajam, hotel-hotel menjadi sepi, bisnis para pedagang sekitar pantai menurun tajam, makin sulit penduduk lokal mencari nafkah. Pendapatan daerah asli pulau ini sebagian besar mengharapkan dari sektor pariwisata. Lebih parah lagi adanya travel warning oleh pemerintah USA dan Australia bagi warganegaranya untuk lebih berhati-hati bila ingin bepergian ke Bali.
Masih ada masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri yang tetap mengunjungi Bali, meskipun situasinya dianggap kurang aman. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan, kalau kita berbuat baik, kenapa mesti takut. Begitu alasan mereka.
------
Aku mengikuti rombongan mantan siswa SMA Negeri angkatan tahun 1966 di kota kami. Sejak 3 bulan sebelum keberangkatan rombongan yang berjumlah 44 orang ini telah mengadakan persiapan yang matang. Rombongan ini terdiri dari dari Ibu dan Bapak yang berusia diatas 55 tahun. Rombongan menggunakan sebuah Bus Pariwisata dari kota Bandung. Bus yang mewah ini berangkat dari depan Mesjid At Taqwa kota Cirebon pada pukul 05.00 WIB tanggal 21 September 2005. Direncanakan kami akan kembali di kota kami kembali pada tanggal 26 Desember 2005 sebelum bulan Ramadhan yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 2005.
 Bus melintasi Pantai Utara Pulau Jawa, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan tiba di Surabaya sekitar pukul 01.30 dini hari akibat padatnya lalu lintas di Pantura, kami datang lebih lama dari perkiraan waktu tiba. Kami beristirahat di rumah Ibu Yati, isteri seorang mantan seorang Kapolres di daerah Surabaya.
Ketua rombonga kami, Pak Wihara mengadakan kontak melalui telepon genggam bahwa kami akan tiba di rumah Ibu Yati pada tengah malam, meskipun kami berjanji akan tiba sekitar pukul 19.00 untuk menghadiri resepsi pernikahan salah seorang putrinya.
“Selamat datang teman-temanku” Ibu Yati menyambut kedatangan kami.
“Sudah tiga puluh sembilan tahun kita tidak berjumpa sejak tahun 1966, tetapi teman-teman masih ingat kepadaku. Mari masuk, makan, minum sepuasnya dan beristirahatlah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Denpasar” Ibu Yati menerima kami dengan ramahnya. Maklum teman lama. Kami saling melepas kangen dan mengambil beberapa foto bersama.
 
Satu jam kemudian kami pamit kepada keluarga Ibu Yati dan bus menuju Pasir Putih dan tiba pagi hari sekitar jam 07.30 WIB. Bus kami berjalan sepanjang hari dan sepanjang malam. Hanya berhenti bila mengisi Solar atau tiba di suatu tempat untuk makan atau buang air kecil yang biasanya salah satu pompa bensin. Dengan 2 orang Supir yang bertugas secara bergantian dan 3 orang awak bus Bus kami berjalan nonstop. Di salah satu Rumah Makan kami memanfaatkan fasilitas mandi dan toilet dengan bayaran Rp.2.000,-/orang. 
“Wah segernya mandi disini” aku berkata kepada Marku temanku.
“Betul Bud, airnya segar dan kita sudah 1 hari tidak mandi.he..he..” Marku menjawab.
 
Setelah sarapan rombongan menuju arah Timur menuju kota Ketapang, Banyuwangi, tempat yang paling Timur dari Pulau Jawa. Bus kami menyebrang dari Ketapang dengan menggunakan kapal feri melintas Selat Bali menuju kota Gilimanuk. Setiba di Gilimanuk, P. Bali, bus meluncur kearah utara P. Bali menuju Lovina Beach. Tengah hari kami tiba di pantai ini. Disini sebenarnya banyak ikan Lumba-lumba yang dapat kita lihat bila kita naik perahu motor ke tengah laut. Tidak seorangpun yang mau pergi ke tengah laut di tengah hari yang sangat panas. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Tengah, mengunjungi Danau Bedugul. Kami melanjutkan perjalanan ke Bali Selatan menuju Sanur. Kami bermalam dua malam di Hotel Abian Srama (*) untuk melepaskan lelah dan mandi sepuasnya.
 
Kesokan hari sebelum kami ramai-ramai berjalan kaki ke Pantai Sanur, setelah kami sarapan pagi di Hotel.
Marku temanku memesan secangkir kopi. Ketika ia akan membayar Kopinya ia terkejut karena disodori bon sebesar Rp. 10.000,- ( sekitar US$1.0 ).
“Kok mahal amat, harga Kopi di hotel ini. Di Pasar Sukowati ( pasar trdisionil diluar kota Denpasar), harganya hanya Rp.1.500,-”.
Aku menggodanya “Masih untung, kamu tidak ditagih US$4.0 harga normal secangkir Kopi di hotel ini. Mungkin itu sudah harga paket karena kita ini rombongan 44 orang yang nginap disini.”
Tampak kekesalan di wajah Marku, temanku.
 Kami mengambil beberapa foto bersama di pantai Sanur ini. Keadaan berawan sehingga kami tidak dapat melihat Sunrise matahari terbit dan matahari tenggelam, Sunset di pantai Sanur yang indah ini. Sepanjang hari banyak para wisman dalam negeri dan luar negeri berjemur di pantai sanur ini.
 Rombongan mengunjungi objek-objek pariwisata lain seperti Benoa Beach. Di pantai ini kami tiba tengah hari. Ada 2 rombongan masing-masing 10 orang yang menyewa perahu motor dengan bayaran Rp. 10.000,- per orang untuk menuju ke suatu tempat penangkaran Penyu Bali. Di tengah perjalanan perahu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan para wisman ini melihat dasar laut yang dangkal melalui alas perahu yang terbuat dari fiber glass yang transparan sehingga kami dapat melihat rumput laut yang hijau bergoyang-goyang oleh arus air laut, ikan-ikan berwarna-warni. Tiba di tempat penangkaran Penyu Bali, kami melihat banyak Tukik ( anak Penyu ) dan kami berfoto bersama. Ada beberapa Ibu yang ingin berfoto ketika mereka dalam posisi menduduki salah satu Penyu yang terbesar. Wah kocaknya, karena sang Penyu ogah diduduki manusia. Ia bergerak-gerak dan penumpangnya berjatuhan. Wah heboh….Geerrr. tertawa semua. Udara panas dan disana ada penjual Kelapa muda. Kami minum masing-masing sebuah Kelapa muda yang dihargai Rp. 10.000,-/buah yang tidak dapat ditawar. 
“Lima ribu aja ya.” Nur menawar
“Tidak bisa Bu, kami juga membeli dari tempat lain dengan harga yang mahal” Ibu penjual Kelapa itu menolak tawaran Nur.
Ketika air Kelapa habis tersedot, kami minta Kelapa dibelah dengan golok besar dan tajam. Kami menikmati daging buah Kelapa muda yang kenyal dan nikmat itu.
Kami kembali ke Pantai dan banyak para turis yang bermain ski air yang ditarik kapal motor dengan kecepatan tinggi. Ada juga yang naik Parasut yang di tarik kapal motor sehingga parasut yang membawa seorang penumpang itu naik dan terbang tinggi di udara. Yang lain menaiki perahu karet, bertiga mereka ( dua penumpang dan satu instruktur pendamping ) yang ditarik oleh kapal motor dengan kecepatan sangat tinggi sehingga akhirnya perahu karet ini dapat naik ke udara, seperti ikan terbang, flying fish. Terdengar teriakan-terikan para penumpangnya yang kaget karena tiba-tiba perahu karet yang mereka tumpangi terbang diatas permukaan air laut Benoa beach.
Keesokan harinya kami pindah Hotel, kami menginap semalam di Hotel Ratna (*) di daerah Kuta. Setelah check-in kami ada acara bebas. Kesempatan ini aku dan beberapa teman berjalan kaki menuju Monoment Bom Bali I di daerah Legian, Kuta. Kami sempat mengambil foto-foto yang diambil secara bergantian. Kamera digital Nikon Coolpix7900-ku sangat bermanfaat untuk mengabadikan moment ini. Kami merasa sedih dan mengutuk keras para teroris yang telah melakukan pemboman di daerah ini. Banyak korban yang meninggal dan luka-luka, Bali makin sepi dikunjungi wisman. Nama-nama para korban diabadikan di di dinding Monomen ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Di dekat Hotel Ratna, ada sebuah Toko “Jogger” yang menjual pakaian, T-Shirt, gantungan kunci dan lain-lain produk. Mutu yang lebih bagus dari pada toko-toko lain, Jogger memasang tarif harga yang lebih mahal. Banyak kalimat-kalimat yang menggelitik yang melekat pada T-Shirt, gantungan kunci dll. Yang unik adalah jam buka toko yang semaunya saja. Toko seharusnya dibuka pada pukul 10.00, calon pembali sudah berkumpul banyak di depan pintu masuk. Eh….para petugas toko malah membiarkan mereka menunggu lama dan pada pukul 12.00 tengah hari barulah toko dibuka dan para calon pembeli saling berebut masuk. Mungkin mereka senang melihat para pengunjung berdesak-desakan berebut masuk ke toko mereka.
“Sialan bener nih toko. Kami disuruh menunggu berjam-jam untuk masuk” kata seorang Bapak sambil menuntun putra dan putrinya masuk ke toko Jogger.
“Siapa suruh mau datang ke toko ini”, seorang gadis di belakangnya berbisik kepada temannya. Mereka ketawa cekikian, mentertawai orang lain, padahal mereka sendiri pun sudah antri berjam-jam untuk sekedar membeli T-Shirt atau Jean yang ketat, kesukaan anak-anak muda.
Juga ada ketentuan membeli produk mereka yang di beri label Jogger: setiap pembeli hanya diperbolehkan membeli sebanyak 6 buah untuk T-Shirt, 3 buah untuk produk lain, dll dengan tujuan agar pengunjung yang lain pun dapat membelinya. Jadi tidak diperkenankan memborong semua barang. Pembayaran dengan Kartu Kreditpun tidak ditolak. Ada Loket pembayaran yang khusus untuk pembayaran dengan Kartu Kredit ini. 
Makin dipermainkan, makin banyak pengunjung Toko Jogger ini. Inilah uniknya. Antri? Siapa takut! Aku yang masuk paling akhir hanya geleng-geleng kepala saja. Penasaran tidak kebagian T-shirt, aku membeli 2 buah untuk putriku, masing-masing seharga Rp. 59.900,-. Kalau di toko lain mungkin setengah harganya. Kalau di Pasar Sukowati tentu harganya paling murah, hanya sekitar Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- dengan keterampilan pandai menawar seperti kaum Ibu belanja. Disini pembeli boleh memborong barang yang diinginkan asal cukup uang untuk membayarnya. Keunikan Pasar Sukowati adalah lokasinya yang dipinggir jalan keluar dari kota Denpasar menuju Negara dan Gilimanuk, tempat untuk menyebrang ke P. Jawa. Mau tidak mau setiap mobil / bus harus melewati pasar Sukowati. Pasar ini mirip pasar Tegalgubug, di daerah Arjawinangun, Kabupaten Cirebon yang konon pasar pakaian murah terbesar se Asean (?).
Kami mengunjungi GWK ( Garuda Wisnu Kencana ) di daerah Uluwatu. Tiba di tempat sekitar pukul 15.00 WITA ( WIB + 1jam ). Puluhan Bus pariwisata diparkir di pelataran parkir yang luas. Ketika kami tiba sudah banyak rombongan dari tempat lain antara lain dari suatu pabrik elektronik di Surabaya. Peserta rombongan puluhan Bus mereka disambut dengan Tari Barong dan lain-lain atraksi dan kamipun larut dengan iring-iringan mereka  
Kami menuju suatu bukit dimana terletak GWK. Suatu patung Dewa Wisnu yang terbuat dari lempengan logam. Konon dibuat oleh para seniman di Bandung. Patung ini masih perlu disempurnakan, karena masih belum selesai dan masih menunggu sponsor. Di bukit lain tampak patung seekor Burung Garuda. Disana dipamerkan suatu maket / contoh GWK dalam skala ukuran yang lebih kecil setinggi 1,5 meter. Meskipun belum selesai tetapi aku melihat tinggi patung Dewa Wisnu ini puluhan meter dari permukaan tanah. Dari bukit yang tinggi ini kami dapat melihat pemandangan yang indah disekitarnya. Pemilihan lokasi GWK ini rupanya sudah diteliti matang-matang oleh si pembuatnya.
Puas mengambil foto-foto, kami menuruni bukit untuk b.a.k, di toilet yang terjaga bersih, cukup air mengalir, berbau harum, free of charge alias gratis. Keluar dari toilet aku melihat banyak orang berkerumun di satu tempat. Ternyata itu adalah penjual Es Cendol kesukaanku.
“Berapa harganya segelas, pak?” aku bertanya.
“Opat ribu wae” jawab seorang pemuda sekitar 25 tahunan.
Kok pakai bahasa Sunda sih. Ternyata ia dan kawan-lawannya berasal dari kota Tasikmalaya.
Merasa bisa berbahasa Sunda, aku berkata “Nyuhunkeun deui esna sakedik.” ( minta esnya sedikit lagi ) kepada salah satu penjual.
Tanpa ragu sedikitpun ia memberikan es batu sebanyak yang aku mau, tanpa harga ekstra. Bila satu bahasa maka semuanya bisa diatur. KKN nih!
 
Kami juga mengujungi Tanah Lot, dimana ada Pura yang lokasinya ditepi Pantai. Semua objek pariwisata banyak pengunjuingnya. Banyak anak-anak muda seusia delapan - sepuluh tahunan mereka menjajakan Foto-foto Tanah Lot dan lain-lain dengan harga Rp. 15.000,- / untuk sepuluh foto ukuran Post card dan dengan mutu cetak yang bagus. Aku membelinya untuk kenang-kenangan. Kami tidak pernah melihat seorang pengemispun di Pulau Bali ini.
Nina, seorang guide tour lokal dari sebuah event organizer yang bekerja sama dengan pemilik Bus Pariwisata yang kami pergunakan, membawa kami ke sebuah rumah tempat menyewakan pakaian adat Bali dan berfoto secara perseorangan atau berkelompok. Rumah ini berada di suatu Gang di suatu jalan raya di kota Denpasar. Aku difoto ketika berpakaian adat Bali dari seorang Raja ( kata petugas yang membantuku berpakaian ). Foto-foto yang dibuat sudah tiba di Hotel kami tempat bermalam pada sore harinya. Suatu service cetakan yang baik.
 Sepanjang perjalanan di Pulau Bali, rombongan kami banyak menemui upacara Odalan ( ulang tahun desa / keluarga ). Upacara bakar mayat ( Ngaben ) kami tidak menjumpai, kerena diadakan pada waktu tertentu mengingat biayanya sangat mahal. Begitu kata pak Wayan Wisnu, guide tour kami yang berdomisili di kota Denpasar.
 
Kami juga mengunjungi suatu tempat bernama Celuk, di daerah Sukowati. Kota ini terkenal dengan perhiasan Emas dan Perak murni. Di Toko Bali Gold, kami melihat-lihat. Saya sempat membeli sepasang Cincin Perak untuk isteriku dan aku sendiri dengan huruf initial name masing-masing di cincin Perak itu. Untuk hadiah ulang tahun putriku pada bulan Desember 2005 aku membeli sebuah Cincin mas 23 K yang bermata Mutiara sebesar butiran buah Jagung yang konon hasil produksi Mutiara di P. Lombok. Untuk putraku, aku sudah menyiapkan sebuah cincin bermata Batu Blue Safire yang aku beli dalam kunjungan kami setahun yang lalu ke P. Lombok. Semuanya itu kubayar dengan Kartu Kredit Visa. Cincin itu akan aku bawa dalam kunjungan kami ke Sydney, Australia, pada medio Desember 2005, ketika kami akan menghadiri Wisuda putra kami yang lulus sebagai Dokter di salah satu Universitas di kota Sydney.
 Istana Presiden Tampak Siring juga kami kunjungi. Ketika kami tiba disana sekitar pukul 16.00 WITA. Kami tidak diperkenankan masuk ke dalam halaman dalam Istana, hanya diperbolehkan masuk sampai di halaman depan. Kami sempat berfoto bersama dua orang Petugas Keamanan Istana. Dari kejauhan kami melihat banyak Rusa yang sedang merumput di halaman di depan bangunan Istana.
Suatu malam hari menjelang kepulangan kami kembali ke P. Jawa, kami makan malam bersama di Jimbaran Beach ( Pantai Jimbaran ). Dinner ini merupakan paket Pariwisata yang kami dapatkan dari trip kami ke P. Bali. Kami memasuki halaman belakang dari suatu Rumah Makan. Halaman ini langsung berada di tepi pantai Jimbaran. Ada banyak Rumah Makan sepanjang pantai ini. Ratusan bus dan mobil pribadi di parkir di halaman parkir. Jalan raya yang hanya dapat dilalui oleh 2 mobil kecil sehingga sukar bila 2 bus saling berpapasan. Salah satu Bus mesti mengalah memberi jalan bagi Bus lainnya.
Ketika kami datang sekitar pukul 18.15 WITA, suasana pantai belum beguitu ramai. Setengah jam kemudian seluruh kursi di seluruh Rumah makan sudah terisi. Sepertinya kami harus pesan tempat, bila ingin Dinner di pantai Jimbaran.
Kami mengharapkan sekali agar malam terakhir ini kami dapat menikmati Sunset di panatai Jimbaran. Lagi-lagi kami kecewa, karena awan hitam mendung banyak menghalangi sinar matahari yang akan masuk keperaduannya. Kami berfoto bersama ketika hidangan sudah berada di meja masing-masing. Satu meja untuk delapan orang. Nyala lilin-lilin menambah semaraknya suasana di pantai Jimbaran ini. Baru sekali itu aku menikmati Dinner di pantai Jimbaran. Sayang isteriku tidak berada disampingku, karena urusan kantornya tidak mengijinkan mengikuti Trip kami ini.
Hidangan yang kami nikmati malam itu berupa: sebakul Nasi putih hangat, Ikan-ikan bakar ukuran kecil, Kangkung Pelecing ( ca kangkung yang sedikit pedas yang konon sayur Kangkung ini di datangkan dari P. Lombok ), Tahu, Tempe goreng, Sambel Terasi dan segelas Es Sirop. Nikmat juga Dinner ini. Angin berhembus lembut di pantai Jimbaran. Gelak tertawa saling bersahutan. Terasa aman dan damai. Kami menikmati sekali moment itu.
“Kita belum tentu bisa Dinner bersama lagi dalam kondisi yang sama seperti malam ini, Wi” aku berkata kepada Wihara yang duduk di sampingku.
“Betul Bud, mungkin kita hanya sekali ini bisa makan bersama. Lain kali mungkin jumlah teman tidak selengkap malam ini” jawabnya.
 
Keesokan harinya kami setelah chec-out hotel Ratna menuju Pasar Sukowati. Semua teman Ibu dan Bapak turun dari Bus. Turun hujan cukup besar tidak menghalangi mereka masuk ke dalam Gedung Pasar yang besar ini. Banyak yang memborong pakaian atau sekedar gantungan kunci. Padahal di kota kami ada banyak barang yang dijual dengan mutu yang sama. Mereka rela bersusah payah untuk belanja, katanya untuk oleh-oleh bagi yang di rumah.
Marku, temanku yang pecandu Kopi, memesan segelas Kopi di salah satu warung dan menikmati Kopi dengan harga yang jauh lebih murah dari pada harga secangkir Kopi di Hotel berbintang satu. Wajahnya cerah, secerah sinar matahari yang muncul kemudian setelah hujan reda di Pasar Sukowati. Aku memesan Mie instan kuah hangat ditambah sebutir Telur Ayam yang dilahap nikmat pada saat udara dingin akibat turun hujan di daerah Sukowati ini.
Bus meluncur ke Gilimanuk untuk menyebrangi Selat Bali dan kembali ke P. Jawa setelah melewati Ketapang di ujung Timur P. Jawa. Kami berjalan melewati pantai Selatan P. Jawa. Kami menuju Jember, Lumajang dan Blitar. Di kota Blitar mobil kami di parkir di suatu tempat khusus parkir Bus. Kami mandi di rumah-rumah penduduk yang menyewakan kamar mandinya bagi para pejiarah makam Bung Karno. Dengan Tarif Rp.2.000,- kami dapat mandi sepuasnya. Makan pagi sekitar pukul 10.00 WIB berupa nasi Pecel, Rempeyek Kacang dan segelar air Teh hangat seharga Rp. 3.000,- sungguh nikmat. Badan segar sehabis mandi, perut kenyang, harga cukup terjangkau, kami bersiap-siap naik becak menuju Museum Bung Karno dan Makam Bung Karno.
Aku naik becak berdua dengan Marku, becak lain diisi isteri Marku dan anak gadisnya. Dengan tarif Rp. 10.000,- pulang pergi ke tempat asal, pelataran parkir Bus, kami mengunjungi Museum Bung Karno.
Musium Bung Karno sebagai Proklamator negera kita terletak di dalam sebuah rumah yang besar. Bangunan yang kuno ini mempunyai halaman yang luas dan dihuni oleh kerabat dekat Bung Karno. Semua ruangan bangunan diisi dengan perabot rumah tangga, lukisan dll barang. Kami dimintakan berfoto instan Polaroid dimana saja dengan membayar Rp. 10.000,- dan kami diperbolehkan untuk melihat-lihat musium Bung Karno sepuasnya.
Di halamanan belakang samping bangunan, diparkir sebuah mobil Mercedes warna hitam keluaran puluhan tahun yang lalu. Tampaknya mobil ini sudah tidak pernah dipergunakan lagi. Mobil yang mempunyai makna bersejarah ini tampak anggun dan aku sempat berfoto di samping Mercy hitam ini.
Kami menuju Makam Bung Karno dengan naik becak yang dengan setia menunggu kami. Kompleks Makam yang sedang dipugar ini cukup bagus. Di halaman depan tampak berdiri beberapa bangunan bergaya modern dan ada kolam air mancur yang belum selesai. Dibelakang bagunan ini tampak sebuah halaman yang luas. Ditengah halaman ini berdiri sebuah bangunan beratap gaya Jawa. Tampak ada 3 makam. Di tengah adalah Makam Bung Karno dan di sisi kiri dan kanan adalah Makam Ibunda dan Ayahanda Bung Karno. Makam ini terbuat dari bahan yang bagus, lantai makam berupa keramik yang licin mengkilap.
Setelah semua peserta berkumpul di dalam Bus, kami lenjutkan perjalanan pulang. Bus menuju kota Yogya kemudian kami tiba di kota kecil Wates pada pukul 18.30 WIB. Bus berhenti di Rumah Makan Ambarketawang, satu Rumah Makan yang besar. Kami sempat mandi dan Dinner makanan khas Jawa Tengah. Sistim pembayaran yang khas pula. Rp. 10.000,- makan prasmanan sepuasnya. Selesai Dinner, kami masuk ke Toko yang menjual bermacam-macam Snack di sebelah Rumah Makan ini. Beban Bus kami bertambah berat karena hampir semua penumpang memborong makanan / Snack yang dijual disini.
Bus melanjutkan perjalanan ke kota Gombong, Puwokerto, Prupuk, Ketanggungan, Losari dan masuk kota Cirebon. Jalan raya di daerah Selatan Jawa tidak sebaik jalan raya berhotmix di Pantai Utara Jawa. Kami tiba kembali di depan Mesjid At Taqwa Cirebon pada tanggal 26 September 2005 pukul 02.30 dini hari, tempat Start dan Finish Trip kami ke P. Bali. Seperti ketika Start, kami saat Finish bersama-sama memanjatkan doa dan bersyukur bahwa kami dapat selamat diperjalanan dan tiba kembali di kota kami dengan selamat pula, baik para penumpang, krew Bus dan Busnya sendiri yang tidak pernah mogok, meskipun selama perjalanan lebih banyak mesinnya hidup dari pada berhenti.
5 hari setelah kami tiba di Cirebon, kami mendengar melalui siaran TV bahwa pada tanggal 1 Oktober 2005 malam hari, terjadi ledakan Bom di Pantai Jimbaran dan Pantai Kuta ( Raja’s Bar & Restaurant, Kafe Menage dan Kafe Nyoman ). 22 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Kami telah dilindungiNya dan terhindari dari bencana maut itu. Kami baru saja meninggalkan Pantai Jimbaran. Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kepada Tuhan. Para peserta Trip ini saling berkirim SMS menyatakan puji syukur kepada Tuhan yang telah melindungi kami dari ledakan Bom Bali II dan mengutuk keras para pelakunya.-



1 komentar: